Pemandangan pasar pagi ini sama seperti biasanya. Di pinggir jalan terlihat ada tukang becak, penjual makanan, kuli angkut, tukang parkir. Hanya, bedanya, pengunjung yang terlihat semakin sedikit.
Pandanganku tertuju pada seorang kakek padagang somay, dengan sepeda tuanya yang sudah reyot, seperti seirama dengan kondisi fisiknya yang terlihat ringkih.
Kuhampiri dagangannya. Baru saja turun melangkahkan kaki ke arahnya, si kakek penjual somay langsung tersenyum seperti menyambut kedatanganku. Rasanya hati terenyuh melihat sikap si kakek penjual yang begitu ramah.
“Dari pagi ndak ada yang beli, Mas. Alhamdulillah, Mas yang pertama beli,” tutur si kakek sambil membungkus pesananku.
Aku cuma mengangguk melas, lalu kakek berujar lagi. “Lha gimana, kalau ndak dagang juga ndak bisa makan. Makanya kalau disuruh di rumah aja ya ndak bisa”.
Ya Allah, betapa kurang bersyukurnya hamba-Mu ini. Tiap pagi, siang, sore masih bisa makan enak sampai kenyang. Kalau mau juga bisa mentong alias makan malam, belum jajannya. Tapi kok lebih sering sambat, jarang berdoa tapi sekalinya berdoa isinya ngersulo semua. Disuruh di rumah saja biar untuk memutus penyebaran wabah masih juga bandel keluar buat beli-beli.
Memang seharusnya adanya wabah Corona menjadikan banyak pelajaran bagi kita semua. Ibnu Hajar Asqolani yang menulis kitab بذل الماعون في فضيلة الطاعون, “Pemberian Bantuan kepada Penderita Thoun”, menegaskan pentingnya kita untuk memberi bantuan kepada orang-orang apabila ada wabah (thaun) yang melanda.
Bukankah di antara kita ada yang mampu, hartanya berkecukupan, saldo tabungannya berlipat-lipat nol digit, stok berasnya banyak. Merekalah yang seharusnya tetap diam di rumah, tak perlu keluar untuk mengurangi risiko penyebaran pandemi. Karena, tentu cukup persediaan untuk tak bekerja beberapa hari.
Sementara yang tetap harus bekerja, biarkan bekerja, tentu dengan standar kesehatan, mengenakan masker, menjaga kebersihan, lebih bagus kalau si kaya tadi bisa menyumbangkan masker secara gratis. Jangan malah semakin rakus dan tamak. Sudah tahu orang-orang butuh masker, eh malah memborong banyak, ditimbun, lalu dijual dengan harga melambung saat barang langka.
Orang-orang butuh stok bahan bahan, ada saja yang tega menimbun agar bisa menjualnya lebih mahal. Kasihan orang-orang miskin, yang kelangsungan hidupnya saja harus diperjuangkan dari hari ke hari. Mereka yang jika tak kerja pagi tak makan sore, bukannya mendapat keringanan, bantuan, malah semakin tersiksa karena harga-harga meroket.
Andai kita sadar, tertutupnya Masjidil Haram dan Raudhah Baginda Nabi, bukan semata-mata Allah menutup kesempatan kita untuk bisa bersujud di Bait-Nya, bukan semata-mata menutup kesempatan kita untuk ziarah di Maqbarah Nabi, bukan untuk meniadakan kesempatan kita meraih fadilah, meraih pahala, dan barokah.
Barangkali, justru pahala yang kita harapkan, barokah yang kita cari-cari, bukan dengan berangkat haji, umroh, tapi dengan memberikan pada yang lebih membutuhkan, dialihkan untuk memperhatikan saudara kita yang miskin.
Dengan berkurangnya aktivitas di luar, berarti tak ada uang bensin kan? Tak ada uang jalan-jalan, pengeluaran jajan berkurang, tak butuh uang kumpul-kumpul. Nah, alangkah bijaknya kalau duit yang biasanya untuk hal-hal itu, disisihkan sebagian untuk diberikan kepada mereka, mereka yang lebih membutuhkan.
Gimana? Apakah masih tak terpikir untuk berbagi di tengah-tengah pandemi?