Berbagi Ruang dengan Hantu

20 views

Saya pernah menuliskannya. Dan saya merasa perlu menuliskannya sekali lagi. Sepanjang sejarah peradaban manusia, pandemi menjadi tangan Tuhan untuk membuka topeng manusia. Dengan pandemi, semakin terbukalah wajah-wajah asli kita sebagai manusia.

Itulah muatan yang terkandung dalam https://www.duniasantri.co/corona-dan-siapa-kita/. Pandemi Corona ini kita baca melalui pendekatan Sampar atau La Peste, novel karya filsuf eksistensialis Albert Camus. Novel itu menyuguhkan karakter-karakter asli manusia selama wabah pes menyerang Kota Oran. Persis seperti Corona menyerang Bumi dua tahun ini.

Advertisements

Ini bukan pandemi pertama. Dan sejarah mencatat, dunia sudah beberapa kali mengalami pandemi global yang begitu mematikan. Dari sejarah pandemi-pandemi di masa lalu itu, setidaknya kita tahu dual hal.

Pertama, tak ada bangsa yang mampu dan menang berperang, dengan cara menyerang, melawan pandemi. Kedua, seperti yang tergambar dalam Sampar, pandemi selalu menelanjangi wajah dan karakter-karakter asli manusia. Dan yang kedua akan mengaburkan yang pertama.

Untuk yang pertama, ketika tak ada yang menang berperang melawan pandemi, maka yang bisa dilakukan hanyalah menghindar atau bersiasat untuk memperkercil jumlah korban jiwa atau menghindar agar tidak menjadi korban. Itulah kenapa akhirnya sudah ada negara yang mencoba untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19.

Virus dan sistem kerjanya sudah teridentifikasi dengan baik. Vaksin atau anti-virusnya sudah tersedia meskipun tidak bisa memberikan jaminan seratus persen kita akan kebal terhadap serangannya. Itulah kenapa akhirnya muncul protokol kesehatan, bukan untuk menyerang dan melawan virusnya, tapi justru untuk menghindar dari paparannya.

Sesederhana itukah? Sesungguhnya, ya. Tapi, hal kedua-lah yang memperburuk situasi dan menjadikan pandemi sebagai masalah yang semakin rumit. Ketika wabah mengupas topeng dan membuka wajah asli kita. Ketika pandemi menelanjangi dan mempertontonkan karakter-karakter asli kita.

Hari-hari ini, misalnya, di sekitar kita, kita masih melihat apa yang digambarkan dalam Sampar. Orang-orang masih abai pada gejala kematian, pada gejala yang mematikan, seperti warga Oran melengos saat ada tikus mati di pinggir jalan. Dan tanpa disadari, di antara kita akhirnya menjadi pengantar kematian bagi orang-orang terdekat, bagi semakin banyak orang.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan