Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Duka ini begitu sangat mengejutkan. Bisri Effendy, Ketua Dewan Pembina Yayasan Jejaring Dunia Santri, meninggal dunia pada Senin (17/8/2020), hanya beberapa jam setelah me-launching buku dan tumpengan setahun jejaring duniasantri.
Senin kemarin, dimulai pukul 10.00 WIB, kami meluncurkan dua buku kumpulan tulisan dan cerpen karya para santri, Tuhan Maha Rasis? dan Dan Sepatu pun Menertawakanku. Pak Bisri, begitu kami biasa memanggilnya, dengan kondisi yang segar bugar secara simbolis meluncurkan kedua buku tersebut dan memberikan sambutan pendek. Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang diikuti beberapa santri dari berbagai daerah melalui aplikasi Zoom.
Selepas adzan dhuhur, acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng, menandai syukuran setahun usia jejaring dunia santri. Pemotongan tumpeng dilakukan Alfian S Siagian, lalu diberikan kepada Pak Bisri. Di ruangan itu, di Rumah Merah, kami berdelapan bertepuk tangan, syukuran dalam kesederhanaan.
Sambil menyantap tumpeng, kami mengobrol tentang berbagai hal, dari soal yang serius, semisal tentang rencana-rencana jejaring duniasantri pada tahun kedua, hingga hal-hal remeh dan lucu, guyonan dan saling ledek di antara kami. A la santri, tentu.
Sekitar pukul 14.00, acara kami akhiri. Kami pun meninggalkan Rumah Merah di Kukusan, Depok, Jawa Barat dengan perasaan bungah. Tidak seperti biasanya, saat itu Pak Bisri tampil necis dan rapi, dan banyak tersenyum dengan wajah yang sumringah.
Itulah yang begitu mengejutkan ketika sekitar pukul 21.00 kami mendengar berita duka ini: Pak Bisri meninggal dunia. Kami pun bergegas kembali ke Rumah Merah, yang berubah menjadi rumah duka, masih dengan rasa tak percaya. Betapa singkat Pak Bisri menemani kami berjejaring dalam duniasantri. Persis setahun.
Membidani Jejaring Dunia Santri
Kami memulai segalanya persis setahun lalu, 17 Agustus 2019. Saat itu kami berlima, Pak Bisri, Kang Zastrouw Ngatawi, Cak Tarno (Founder Cak Tarno Institut/CTI), Mukhlisin, dan Daniel K bersepakat untuk mendirikan yayasan yang diberi nama Jejaring Dunia Santri (selanjutnya kami menuliskannya dengan cara: jejaring duniasantri). Tujuannya adalah menggiatkan dan menggelorakan dunia tulis menulis di kalangan santri dan pesantren.
Maka, di tahun pertama ini, jejaring duniasantri membuat situs web duniasantri.co dan mengadakan diklat-diklat penulisan untuk kalangan santri. Sebelum terhenti karena pandemi, diklat penulisan untuk kalangan santri berlangsung di Bogor, Jawa Barat dan Lampung. Salah satu hasilnya adalah dua buku yang di-launching Pak Bisri itu.
Jika pendirian yayasan lazimnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, usahawan, atau hartawan, tidak demikian dengan jejaring duniasantri. Kami berlima hanya bermodal semangat, idealisme, dan cita-cita bersama. Maka, ketika yayasan sudah terbentuk, kami pun bingung mau berkantor di mana. Saat itulah Pak Bisri menawarkan lantai dua rumahnya, yang bercat merah, untuk dijadikan kantor jejaring duniasantri.
“Kalau teman-teman mau, pakai saja itu sebagai kantor,” katanya. Tak ada alasan untuk menolak uluran tangannya. Sejak itu, jejaring duniasantri berkantor di rumah Pak Bisri, dan kami menyebutnya sebagai “Rumah Merah” (karena catnya memang berwarna merah).
Di Rumah Merah inilah, setiap Sabtu dan kadang Minggu, kami, para pengurus jejaring duniasantri yang jumlahya terus bertambah, berkumpul. Pak Bisri kemudian menjadi guru tempat kami bertanya, berdiskusi tentang banyak hal.
Lahir di Jember, Jawa Timur pada 12 Maret 1953, Pak Bisri yang pernah menjadi teman dekat Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ini adalah alumnus Pondok Pesantren Salafiyah “Darul Hikam” Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia kemudian melanjutkan belajar sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat nyantri dan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, Pak Bisri berkawan dekat dengan KH Said Aqil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU).
Selulus dari IAIN Sunan Kalijaga, Pak Bisri melanjutkan pendidikannya (S2 dan S3) di Departement of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University The Netherlands dengan mengambil spesialisasi “The Politics of Culture in Indonesia”.
Pekerjaannya melanglang dari menjadi editor di penerbit Bulan Bintang, wartawan mingguan Expo, Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan menjadi Direktur Desantara dan Tankinaya Institute. Ia banyak menulis tentang agama, politik, dan kebudayaan, termasuk sastra di berbagai media cetak (Pelita, Jurnal Ekuin, Kompas, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Kaltim Pos, Fajar Makassar, Surya, dan Sindo), di majalah (Pesantren, Expo, Prisma, Desantara, Jurnal Perempuan, warta ATL, dan Gatra), dan di Jurnal (Masyarakat Indonesia, Srinthil, Mimikri, dan Pusaka).
Pak Bisri dikenal sebagai peneliti senior etnografi, dan telah banyak melakukan penelitian etnografi di berbagai daerah di Indonesia, terutama berkaitan dengan agama (resmi dan lokal), politik, dan kebudayaan khususnya seni pertunjukan, tradisi lisan, ritual, dan tradisi setempat. Setelah ikut membidani lahirnya jejaring duniasantri, salah satu cita-citanya adalah menggalakkan penelitian etnografi pesantren dan mengadakan pelatihan penelitian etnografi untuk kalangan santri.
Tapi cita-cita itu belum sempat terwujud karena baru setahun persis jejaring duniasantri berdiri, Pak Bisri sudah berpulang. Kami yang ditinggalkannya harus meneruskan jalan yang telah dirintisnya, dan jejaring duniasantri ini, beserta semua karyanya, akan menjadi bagian dari amal jariyahnya. Lahul fatihah…
Selamat jalan, Bapak Bisri..semoga khusnul khatimah dan keluarga, saudara, teman, dan orang-orang yang mengasihi, mendapatkan ketabahan dan berkesan dengan peninggalan kesan dari Bapak Bisri..Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu..
Selamat jalan Bapak Bisri, semoga di sana mendapat tempat yang indah, surga Allah swt. Aamiin ya Robb!