Pesantren merupakan pilihan yang tepat untuk menimba ilmu agama. Dengan keikhlasan kiai, para santri dibimbing dan dibekali ilmu untuk mengarungi kehidupan nanti.
Tidak dimungkiri, memilih pesantren sebagai salah satu episode kehidupan merupakan sebuah pilihan yang tidak ringan. Karena, Kehidupan di pesantren dan di rumah jauh berbeda. Mulai dari makanan yang ala kadarnya, jadwal kegiatan yang sangat diatur, antre mandi, tidak bisa bermain smartphone atau gawai, sampai harus setoran hafalan yang selalui menghantui. Tetapi, itu menunjukan bahwa santri memiliki jiwa yang kuat.
Dalam kesederhanannya itu, santri juga harus cerdas dalam menemukan sesuatu yang bisa membuatnya bahagia. Contohnya seperti ngopi bersama, bermain bulu tangkis dengan dengan raket dari buku, dan bercerita tentang santri putri sampai larut malam di selasar gedung.
Hal itulah yang secara tak langsung menumbuhkan ikatan emosional antarsantri. Latar belakang mereka yang berbeda-beda seakan-akan tidak ada. Bersuka cita bersama dalam payung senasib seperjuangan.
Namun, tidak selamanya kebersamaan tersebut berjalan dengan baik. Sebagaimana manusia pada umumnya, rasa marah, iri, dan sakit hati bisa muncul kapan pun di hati santri. Sehingga menimbulkan cekcok bahkan bermuara pada tindakan fisik. Terutama santri baru yang belum bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Berkenaan dengan ini, saya memiliki kisah yang sangat inspiratif. Kejadiannya di sebuah pesantren terkemuka di daerah Jepara, Jawa Tengah. Ada seorang santri baru asal Pemalang. Santri tersebut cukup calm (pendiam) dan ramah dengan orang lain. Kendati demikian, ada seorang santri yang entah karena alasan apa tidak suka kepada dia. Suatu ketika, ia sedang menikmati makanan ringan dengan posisi menjulurkan tangannya supaya teman lain yang juga ingin menikmati bisa gampang mengambil. Namun, santri yang tidak suka kepadanya itu justru sengaja menyenggol sampai makanan tersebut jatuh ke lantai. Kejahilan itu dilakukan berulang kali.
Perlakuan yang tidak mengenakkan itu membuat santri asal Pemalang tersebut menjadi tidak betah di pesantren. Ia pun bercerita kepada orang tuanya. Selang beberapa hari, orang tuanya datang ke pesantren. Umumnya, orang tuaakan menasihati bahkan memarahi santri yang nakal dengan anaknya.
Namun tidak dengan orang tua santri asal Pemalang ini. Santri yang bertingkah tidak baik terhadap anaknya tersebut justru diajak ke supermarket dan dipersilakan megambil makanan apa pun yang ia inginkan. Semua dibayari orang tua santri yang menjadi korban kejahilannya.
Seketika, santri yang nakal bin jahil ini terketuk hatinya, bertaubat dari perilaku buruknya itu. Tanpa diminta, ia segera meminta minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kejahilannya. Selepas itu, santri yang tadinya nakal ini menjadi teman baik dan justru bersikap protektif terhadap santri yang berasal dari Pemalang itu.
Kedua orang tua santri asal Pemalang tersebuat tak lain adalah KH MT Ulul Albab dan Nyai Hj Anissa Vinsa, yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Pemalang, Jawa Tengah.
Dari peristiwa tersebuat dapat kita ambil hikmah bahwa perlakuan tidak baik dari orang lain jika disikapi dengan bijak akan berbuah kebaikan. Kebencian berganti menjadi kasih sayang. Ini sejalan dengan pepatah Al-insan abdul ihsan, manusia merupakan budak kebaikan.