“Ada-ada saja” adalah ungkapan yang tepat ketika saya masih aktif di pondok. Sekitar tahun 1990-an saya masuk di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Sebagai seorang santri, sudah bukan hal yang aneh ketika mendapati atau bahkan mengalami hal-hal yang menggelitik dan menggelikan. Ada banyak hal yang dapat dijadikan “candaan” sebagai bagian dari proses menempa diri untuk menghadapi kenyataan hidup, saat kita kembali ke kampung halaman.
Misalnya saja, ketika ada salah seorang santri yang membeli sayur kelor (maronggi), maka santri-santri lain yang melihatnya akan “mengembek” yang maknanya adalah menganggap santri yang membeli kelor disamakan dengan kambing (embek).
Tentu saja hal ini sebatas kelakar saja. Memberikan tekanan mental bagi santri yang membeli kelor agar terjadi proses peneguhan mental atau jiwa saat kembali ke masyarakat. Di tengah kehidupan bermasyarakat yang kita hadapi berbagai macam ujian (tekanan) yang jauh lebih dahsyat daripada “dicemooh” (e gajak) saat membeli setangkup daun kelor.
Bukan saja terkait dengan makanan, hal lain pun kerap terjadi. Misalnya, jika ada santri yang sering puasa (Senin-Kamis, umpamanya), maka santri tersebut dikata-katai sebagai santri “muluk”, yang maksudnya santri yang sangat rajin dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Lebih jauh santri itu akan diraba di berbagai bagian tubuhnya, terutama di pundak sambil berkata, “Wah, bakal sayap sudah muncul nih,” demikian mereka biasa berkelakar. Dan santri yang dirundung demikian hanya senyum-senyum kecut saja.
Satu lagi yang tidak mungkin saya lupa. Sore itu saya memasak nasi bersama teman, sebut saja namanya Latif. Tidak berapa lama saya dan Latif sudah memasak nasi, kemudian mempersiapkan lauknya. Kebetulan saat itu Latif dapat kiriman ikan kering (ikan asin?). Kemudian saya menggoreng ikan akin tersebut. Sebagaimana lumrahnya, bau ikan asin saat digoreng begitu menyengat dan terdengar hingga ke seantero lingkungan. Tentu hal ini menjadi perhatian banyak santri dengan berbagai komentar.