Di hari guru ini, saya teringat dua orang guru yang pernah menampar dan menempeleng saya sebagai hukuman. Bukan pelanggaran yang saya lakukan atau model hukumannya yang saya ingat, melainkan relasi yang terbangun antara guru dan murid ketika itu.
Tentu saja, sebagai pelajar yang sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), saya sedang nakal-nakalnya. Meskipun menjadi bagian dalam circle murid-murid pandai dan baik-baik, saya juga punya komplotan anak-anak bergajulan. Saya selalu menyukai kehidupan di dua sisi yang berlawanan itu.
Maka, saya sering menjadi bagian dari masalah ketika sedang berkomplot dengan anak-anak yang bergajulan itu. Karena itu saya harus menerima hukuman dari dua orang guru. Tentu saja hukuman fisik yang harus saya terima.
Yang pertama saya ingat hukuman itu datang dari guru geografi, Pak Marsam namanya. Hari itu Pak Marsam sedang mengajar di kelas. Lalu ia minta izin untuk meninggalkan kelas karena suatu keperluan. Seluruh siswa diminta tetap belajar di kelas, membaca buku.
Entah siapa yang memulai, saya terlibat dalam komplotan anak-anak bergajulan, membuat keributan di kelas. Tak lama kemudian, kami keluar kelas, bermain-main di luar kelas. Ketika itulah kami kepergok Pak Marsam yang hendak kembali ke kelas. Kami berlarian memasuki kelas.
Apa yang terjadi? Kami, sekitar tujuh orang yang tadi keluar kelas, disuruh berdiri berjejer di depan kelas. Pak Marsam matanya melotot, dengan tangan kanan memegang sebuah buku. Lalu plak-plok, masing-masing kedua pipi kami ditampar dengan buku itu, satu per satu, berurutan. Tentu saja muka saya merah, sakit dan malu. Entah yang lain.
Yang kedua saya ingat hukuman itu datang dari guru ekonomi dan koperasi, Pak Maryono. Yang kedua ini hukumannya bersifat individual, karena sayalah yang dianggap sebagai pemicunya. Apa pelanggarannya tak layak untuk diceritakan di sini. Yang jelas telah memicu kegaduhan di kelas dan membuat seorang murid perempuan menangis.
Atas pelanggaran itu, saya dipanggil ke ruangan Pak Maryono. Hanya ada kami berdua di ruangan itu. Saya diinterogasi. Dan saya mengakui semua perbuatan saya, semua kesalahan saya.
“Tapi saya harus menghukum kamu!” katanya sambil menatap tajam.
Saya hanya bisa menunduk.
“Ada dua hukuman, kamu bisa pilih salah satunya,” Pak Maryono memberi opsi bentuk hukuman.
“Baik, Pak.”
“Yang pertama, kasusnya akan saya laporkan ke kepala sekolah, dan ini akan berpengaruh pada nilaimu, kelulusanmu. Yang kedua, hukuman langsung dari saya, dan akan kita anggap masalahnya selesai.”
Ketika memberi penjelasan hukuman itu, saya lihat kedua tangan Pak Maryono berada di atas meja. Tangan kirinya mengelus-elus baru akik di kelingking tangan kanannya. Tentu saja saya gemeteran.
Saya memberanikan diri membuat keputusan, “Saya pilih hukuman dari Bapak saja.”
Saat itulah, dengan perlahan, Pak Maryono melepas cincin batu akiknya, dan… Ya Tuhan… ditaruh persis di depan hidung saya. Entah berapa detik kemudian, tiba-tiba plakkkk! Tangan kanannya mendarat di pipi kiri saya. Terasa begitu panas. Saya sedikit terhuyung.
Tak lama kemudian, Pak Maryono memakai kembali cincinnya, dan mempersilakan saya kembali ke kelas dengan pesan pendek, “Jangan diulang lagi.”
Yang saya ingat dari kedua peristiwa itu, pertama, saya tak melaporkannya kepada kedua orangtua. Bahkan, sampa hari ini, ketika tulisan ini saya buat, kedua orangtua saya tak pernah tahu anaknya pernah ditempeleng gurunya.
Jika itu terjadi hari ini, mungkin Pak Marsam dan Pak Maryono sudah dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan penganiayaan. Tapi, jika hari itu saya melaporkan kepada orangtua, bapak atau ibu saya pasti akan memberi hukuman tambahan. Zaman itu mendidik saya mandiri, bertanggung jawab, dan menyelesaikan masalah saya sendiri.
Kedua, meskipun hukuman yang diberikan menyakitkan secara fisik, tapi tak ada sakit hati atau dendam di antara kami, di antara murid dan guru. Setelah peristiwa penghukuman itu, baik Pak Marsam maupun Pak Maryono tetap sebagai guru-guru terbaik kami, bahkan sebagai sahabat kami. Saya, secara pribadi, sering ngobrol atau diajak ngobrol dengan keduanya, laiknya seorang teman. Bahkan, Pak Maryono memberi atensi khusus perihal ke sekolah mana kelak saya akan melanjutkan studi.
Dari kacamata hari ini, mungkin bentuk hukuman yang diberikan oleh Pak Marsam dan Pak Maryono itu terbilang sebagai tindak kekerasan. Dan harus dihindari. Tapi ketika itu, intensi relasi antara guru dan murid memang begitu intim, sublim, bukan formalitas dan prosedural, sehingga sampai berpuluh tahun kemudian, rasa cinta terhadap guru-guru tak pernah hilang. Rasanya hadiah fatikhah tiap hari pun belum cukup untuk membalas jasanya. Kita selalu berutang kepada guru.