BLAGGUAN, 1993

155 kali dibaca

BLAGGUAN, 1993
_____dari sebuah diskusi dengan M Farhan Ibadillah

Semisal kita tertidur di tanah luka Blangguan
Dan matahari menggigil di tahun 1993
Karena derita tercipta dari kabut harga
Pestisida dan pembasmi hama.

Advertisements

Sementara malam mencair pada batang jagung
Bulan berduka, air matanya meleleh
Pada temaram bohlam

Kemudian di kepala kita lahir sebuah rusun:
Kematian adalah telapak tangan meraba tenggorokan
Saat orang-orang terkesima di subur ladang jagung
Dan ketika matahari terlempar
Dari kepak sayap kelelawar
Mereka hendak memetik waktu dari batang jagung itu
Namun ternyata harapan
Adalah kubur bagi masa depan

“Seperti menggali makam di negeri sendiri”

Begitulah sepanjang jarum jam memutar kefanaan
Jagung yang mereka tanam
Kering batangnya hanya untuk menggali mata mereka sendiri
Hingga darah-darah peradaban terkuras
Makin anyir dan panas!

Teater Alfatihah, 19-21 Januari 2024.

SENGKON

Kita sedang mendengarkan tembang maskumamabang
Angin tersedu dari tahun 1974
Suara kecapi menyatu dengan nyeri
Orang-orang nyinden dalam diri mereka sendiri
Kerena mesiu dan desing peluru
Adalah gemelan tiada henti ditabuh

21 Novenber 1974
Hari itu bulan berlumut
Ketika tangis seorang perempuan terpahat di langit-langit rumah
Kepala suaminya telah ditetak senjata laras panjang menuju keabadian
Suara warga desa bagai salak anjing di malam yang bacin

“Hei Sengkon!, minggat saja dari kampung ini
Kami tak sudi menghirup udara yang bercampur
Baur dengan napas keluarga pencuri”

Padahal dia hanya petani biasa
Nyawanya tertanam pada bibit padi
Dan tubuh jagung di bojongsari

Si Sengkon itu,
Ia tak tahu menahu tentang pamflet yang dipajang
Di jalan-jalan menjelang hari pemilihan
Tidak pernah pula bergaul dengan bapak kepala desa
Lalu kenapa malam itu
Segenap ABRI mengepung rumahnya
Menyodorkan senjata juga golok
Merobek kebenaran di tubuh Sengkon
Hingga ia harus terkapar atas dasar tuduhan
Yang tak menemukan kejelasan

Teater Alfatihah, 31 Januari 2024.

PALER DE LA lUNE AVEC IBADILLAH

“Ulurkan tangamu kelangit
Regut bulan yang suram itu”

Katamu di suatu malam
Saat kendaraan-kendaraan terpaksa melaju
Dan dingin udara melubangi dadaku

Aku tak pernah berminat mengubah wajah bulan
Sebab temaram hanya tercipta dalam lorong  tubuhku
Orang-orang juga tak peduli
Entah bulan redup sekalipun mati

Hanya kita__atau mungkin aku saja­
Seringkali mempersoalkan bulan
Bulan yang meleleh di kelam malam.

Padahal hari ini bulan terbit di mana-mana
Orang-orang juga sering mendagangkan bulan

2024.

PERPUSTAKAAN

Aku lihat diriku yang lain
Di antara rak buku
Dan air laut tumpah dari sebuah tulisan
The old man and the sea
Orang-orang dalam ruangan ini kelimpungan
“apakah begini bentuk kematian”

Kulihat, kursi, rak buku, meja baca, komputer
Berputar dalam pusara air
Angin gempar membawa sorakan ombak
Sementara aku takzim dalam permainan badai
“apa yang  kau takutkan dari laut
Bukankah laut adalah dirimu sendiri”

Suara orang tua itu bergetar di udara.
Aku tidak tahu di mana orang-oranng?

Di ruangan ini
Lagu minefilds menjadi instrumentalia,
Cahaya lampu 12 wat
Kulihat diriku yang lain

2024.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan