Budi dan Gitar Tua Peninggalan Bapak

Jam dinding terus berdetik. Jarumnya yang pendek mendekat ke angka 11. Di balik binar-binar damar, seorang janda berumur setengah abad tengah duduk dan termenung sendirian di ruang tamu. Sesekali punggungnya bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mengusir pegal. Gerakannya itu membuat kursi tua yang tengah didudukinya berderit.

Di luar sana, hujan masih mengguyur dengan derasnya disertai suara gemuruh guntur yang begitu menggangu telinga. Tak ada sinar bintang, pun rembulan yang biasanya menghiasi langit malam. Bahkan lampu yang seharunya menyala pun ikut padam. Wanita yang kerap di sapa Mak Nur itu menghela napas berat sembari mengerutkan dahinya yang berkeriput. Kepalanya sungguh terasa pusing dan berat sekali seperti dilempari batu sebesar truk.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Sudah lebih dua dasawarsa Mak Nur bekerja sebagai pedagang cilok di depan sebuah SD. Namun sudah berbulan-bulan ini dagangannya terasa sepi. Penghasilannya menurun dan bahkan bisa dibilang tiap hari yang didapat hanya kerugian. Padahal dia harus menyekolahkan sang anak semata wayangnya yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP seorang diri.

Ia dan almarhum suaminya memang bukanlah orang berada. Bukan pula orang yang berpendidikan tinggi. Mereka hanya dapat mengenyam pendidikan sampai jenjang SD, tapi keduanya memiliki satu keinginan yang sama, yaitu menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin agar menjadi orang sukses. Namun, kondisi ekonominya sekarang yang memburuk membuat Mak Nur menjadi gelisah. Ia takut tidak bisa mewujudkan impian mereka itu.

“MBG sialan”! kutuknya dalam hati.

Semenjak adanya program Makan Bergizi Gratis di sekolah, dagangan Mak Nur tidak seramai biasanya. Bahkan terkadang dagangannya tidak habis. Tentu ini membuat Mak Nur harus memutar otak untuk tetap bertahan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlebih, kini anaknya sudah masuk SMP, tentu kebutuhan sekolahnya lebih banyak jika di bandingan dengan saat di SD dulu.

Mak Nur sadar, mau bagaimanapun MBG merupakan program yang baik. Niatnya bagus demi mencegah stunting dan membantu meringankan beban uang saku anak. Mak Nur hanya bisa berharap, program mulia ini bisa menjadi berkah untuk semua pihak, anak-anak tumbuh sehat, orang tua ikut tenang, dan pedagang kecil masih tetap bertahan.

Kini, selain berjualan di SD, Mak Nur juga mencoba peruntungannya untuk jualan di depan rumahnya demi menambah pemasukan. Itu ia lakukan agar bisa menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Walaupun, penghasilannya tidak seberapa, ia tetap bersyukur. Meskipun, kadang ia juga mengeluh kepada Tuhan, namun setelahnya ia merasa tidak pantas, merasa tidak tahu diri, juga merasa malu.

Di balik dinding pembatas antara ruang tamu dengan kamar, Budi, anaknya yang berambut cepak mengintip dengan hati-hati dari balik gorden pintu kamar. Kemarin ia dan teman-teman sekelasnya mendapat kabar dari wali kelas bahwa buku-buku LKS sudah tersedia. Mereka diberitahu untuk segera membeli dan mengambilnya di sekolah.

Namun, ketika mendapati sang ibu lagi-lagi termenung di tengah malam, ia menjadi segan untuk memberi tahu kabar tersebut. Ia mengingat dengan jelas ekspresi frustrasi sang ibu ketika tadi sore ia meminta uang untuk membeli kuota internet. Ibunya memang tidak mengatakan apapun padanya, tetapi ia tahu sang ibu tengah mengalami kesulitan.

Budi akhirnya berbalik menuju kamarnya dengan lesu. Melihat wajah sendu sang ibu yang telah keriput dimakan usia, Budi menjadi sedih. Ia ingin membantu untuk mengurangi kesedihan sang ibu, namun tidak tahu bagaimna caranya. Ibunya bukanlah anak kecil berumur 5 tahun seperti adik perempuan Danu, temannya, yang ketika sedih hanya perlu dibelikan permen agar kembali tersenyum. Ibunya adalah wanita dewasa dan ia tidak tahu bagaimana cara membuat orang dewasa agar tidak lagi merasa sedih. Namun satu hal yang ia tahu adalah kesedihan sang ibu jelas berkaitan dengan uang. Menghela napas pelan, Budi mengempaskan badanya ke kasur. Ia membuang pandangannya ke penjuru kamar sebelum tersentak ketika melihat gitar tua peninggalan sang ayah di sudut kamarnya. Ia kemudian tersenyum girang. Ada ide yang baru melintas di pikirannya.

Keesokan harinya, setelah pulang dari sekolah, Budi mengambil gitar sang ayah, kemudian menghampiri ibunya yang tengah duduk di samping meja dagang di depan rumahnya.

“Mak, Budi pamit ya, mau main ke rumah Danu.”

Dahi Mak Nur mengernyit heran mendapati anak semata wayangnya tumben membawa gitar. “Kok bawa-bawa gitar?”

Budi menelan ludah. Gugup. Dengan cepat ia mencari alasan. Tidak mungkin ia berkata jujur untuk apa membawa gitar, karena ia tahu sang ibu pasti akan sangat marah.

“Hmm, mau ngajari Danu main gitar, Mak. Soalnya di kelas Budi sama Danu ada penilaian main alat musik. Terus Danu tak bisa, jadi minta Budi buat ngajari.”

“Ya sudah, hati-hati ya.”

Dengan kikuk Budi menyalami tangan ibunya. Ia merasa bersalah telah membohongi perempuan yang telah melahirkan dan merawatnya itu.

Budi berjalan sekitar saru kilometer menuju jalan raya dari rumahnya. Ia memegang gagang gitar dengan erat. Dari kejauhan, ia melihat kedatangan bus, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Budi bergegas menyebarang setelah memastikan tidak ada kendaraan yang tengah melintas. Kemudian, bersama penumpang lain, Budi menaiki bus dengan tergesa-gesa. Budi berpegangan erat pada samping kursi bus menahan tubuhnya agar tidak tumbang ketika bus melaju dengan kecepatan penuh. Ia berdiri di dekat pintu masuk. Matanya berpendar mengamati penumpang. Ada sekitar 15 orang di dalam bus. Budi perlahan berjalan ke tengah, tangannya dengan lihai memetik senar-senar gitar, sementara bibirnya melantunkan lagu Bento yang dipopulerkan Iwan Fals dengan merdu.

Ayah Budi adalah penggemar berat musisi legendaris Iwan Fals. Seja kecil Budi telah dikenalkan oleh ayahnya pada lagu-lagu Iwan Fals. Setiap akhir pekan, setelah ayah pulang kerja, mereka akan duduk di belakang rumah sembari berdendang bersama-sama menikmati udara malam. Setiap kali merindukan sang ayah, Budi akan menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dengan gitar ayahnya itu. Karena, lagu-lagu itu membuat ia merasakan kehadiran sang ayah di sisinya. Bahkan ia merasa bahwa namanya ada kaitannya dengan lagu Iwan Fals yang berjudul Sore Tugu Pancoran. Baginya, lagu ini merupakan motivasi untuk tidak mudah menyerah dan terus berjuang, setidaknya itu cukup untuk mengurangi rasa rindunya yang teramat besar.

Budi melepas topi yang ia kenakan, kemudian menghampiri satu per satu penumpang lalu menyodorkan dengan tangan kanan sembari tersenyum ramah. Setelahnya, Budi kembali bersandar pada pintu bus sembari menghitung uang yang terkumpul di dalam topinya. Dimasukannya uang itu ke dalam saku celananya. Ia menunggu bus berhenti. Budi pun bergegas turun ketika bus berhenti. Ia kemudian berdiri di sisi jalan menunggu kedatangan bus selanjutnya.

Hari terus berganti, saat ini Budi tengah mendongak mengamati langit yang mulai kehilangan sumber terangnya. Sebentar lagi azan magrib berkumandang, namun ia masih terjebak di emperan toko sendirian, menunggu hujan reda. Hari ini adalah hari ketiga ia menjadi pengamen.

“Ah tidak!” Kepala Budi menggeleng protes. Daripada dijuluki sebagai pengamen, ia lebih suka disebut musisi jalanan. Namun, setelah dipikir kembali, sebutan musisi jalanan juga tidak cocok untuknya. Sebab, ia bernyanyi di depan orang-orang yang ada di dalam bus bukan, bukan di depan orang-orang yang ada di jalanan. Jadi sebutan apa yang cocok? Musisi bus kah?

Budi menjadi tersenyum memikirkannya, dan ia tiba-tiba merasa bodoh. Tidak penting apa julukan yang pantas untuknya, yang penting adalah ia kini sudah memiliki cukup uang untuk membayar buku LKS. Jadi ia tidak perlu lagi meminta uang kepada sang ibu.

“Budiii! Kurang ajar kamu!”

Budi mengernyit ketika samar-samar terdengar seseorang memaki namanya. Kepala Budi menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tidak menemukan apa-apa. Mungkin salah dengar, pikirnya. Namun, leher Budi tiba-tiba meremang, perasaanya menjadi tidak enak, perlahan dia memandang jauh ke depan. Budi terkejut, matanya melotot seperti orang kesurupan ketika mendapati seorang wanita bertubuh kurus tengah berdiri di seberang jalan, tangan kirinya memegang payung erat-erat, sementara matanya menatap lurus ke arah Budi sambil mengacung-acungkan tangan kananya yang bebas. Tubuh Budi membeku. Badanya menjadi kaku seperti ada paku yang menancap di kakinya. Ia tidak bisa bergerak. Budi menelan ludah secara kasar. Wanita itu berjalan dengan cepat ke arahnya. Setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutan, Budi berlari kencang tak tentu arah.

Mak Nur yang melihat putra semata wayangnya kabur pun ikut berlari mengejar di belakangnya. Jantung Budi berdegup kencang. Sang ibu sepertinya benar-benar marah atau mungkin murka. Raut wajah ibunya mengingatkan ia pada salah satu tokoh pewayangan, Rahwana, yang terlihat bengis dan kejam. Jalanan yang licin membuat Budi tergelincir. Ia tertelungkup di genangan. Bajunya penuh dengan noda berwarna coklat. Budi hanya bisa pasrah, tak sanggup mengelak ketika sang ibu berhasil menangkapnya, menjewer telinganya keras-keras. Budi berteriak kesakitan.

“Aduuhh sakit, Mak!” seru Budi.

“Dasar anak kurang ajar!”

Tangan Budi terangkat, mencoba melepaskan tangan ibunya dari telinganya. Mak Nur menghela napas dalam, kemudian mengeluarkannya keras-keras, matanya memejam mencoba mengatur emosi di benaknya, namun gagal ketika matanya melihat gitar yang tergeletak di tanah. Budi yang menyadari tatapan itu pun bergegas megambil gitar dan menjauhkannya dari Mak Nur.

“Sini gitarnya! Sini!”

Budi menggeleng, semakin menyembunyikan gitar milik ayahnya di balik punggung.

“Tidak! Budi tak mau!”

“Sini, kasih ke mak!”

Mak Nur meringsek maju, mencoba merebut gitar dari tangan anaknya. Sementara Budi terus mengelak hingga keduanya jatuh terguling di tanah. Hujan masih mengguyur deras. Tubuh mereka basah kuyup. Payung yang tadi dipegang Mak Nur terlempar jauh terbawa angin. Mak Nur berdiri, mengambil payung itu kemudian berseru ketus, “Pulang kamu!”

Budi pun mengikuti ibunya dari belakang dengan napas terengah-engah. Selama di perjalanan, ibu dan anak itu saling mendiamkan. Yang satu tengah menahan amarah, sementara yang satunya tengah memikirkan nasibnya nanti.

Ruang tamu yang biasanya berhawa dingin kini terasa mencekam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Budi duduk di kursi ruang tamu dengan kepala menunduk, tak berani menatap ke depan. Sementara, Mak Nur di hadapannya tengah bersedekap, rahangnya mengetat, menatap lurus ke arah Budi. Ingatannya terlempar ke beberapa jam yang lalu. Saat itu, ketika tengah melayani pembeli, seorang wanita berambut panjang dengan tangan penuh perhiasan menghampirinya. Wanita itu mengatakan kepada Mak Nur telah melihat anak laki-laki mirip Budi tengah mengamen di bus.

Awalnya Mak Nur tidak menghiraukannya. Ia berkata bahwa anaknya, Budi, sedang berkunjung ke rumah temanya di desa seberang untuk mengajar gitar. Namun wanita itu tetap bersikukuh dengan wajah yang meyakinkan; bahwa anak laki-laki yang ia lihat tadi memang benarlah Budi. Mak Nur pun memutuskan untuk menghubungi teman Budi yang bernama Danu untuk memastikan apakah Budi ada di sana atau tidak. Danu yang tidak tahu apa-apa, hanya menjawab seadanya dengan jujur bahwa Budi tidak ada di rumahnya. Mak Nur pun meradang, terlebih ciri-ciri yang disebutkan wanita tadi persis dengan Budi, yaitu memakai topi dan celana pendek selutut berwarna hitam dengan baju bola yang bagian pundaknya telah robek.

“Mau sampai kapan kamu diam?” Mak Nur bertanya dengan ketus. Budi menelan ludah kasar.

“Mak, Budi minta maaf sama Mak, sudah bohong.”

“Sudah cuma itu? Kamu tahu, kan, bukan cuma itu yang ingin mak dengar! Kenapa kamu sampai ngamen? Apa uang yang mak kasih ke kamu buat jajan kurang? Iya mak tahu tak bisa kasih uang banyak seperti dulu, tapi apa salahnya kamu hemat dulu sebentar sampai dagangan mak laris lagi nanti.”

“Tidak, Mak. Uang yang Mak kasih buat Budi sudah cukup,” Budi menjawab lirih.

“Terus kamu ngamen buat apa, Nak? Kamu tak kasihan sama mak ya? Mak itu sudah tua, kalau kamu kenapa-kenapa, mak mau bagaimana, Nak,” Mak Nur berkata tersedu-sedu.

“Mak… maaf Mak, Budi minta maaf. Uang hasil ngamen itu mau Budi pakai buat bayar buku LKS.”

Mak Nur mengusap dahinya, merasa lelah. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir anaknya itu. “Kenapa kamu tak bilang sama mak, Nak? Kamu tak perlu sampai ngamen. Kamu cukup bilang sama emak, pasti bakal mak kasih.”

“Budi cuma tak mau merepotkan, Mak. Akhir-akhir ini Budi sering melihat Mak melamun malam-malam. Meskipun Mak tidak ngomong, tapi Budi tahu kalau Mak lagi pusing karena dagangan tak seramai dulu. Budi cuma ingin bantu-bantu, Mak. Budi tak mau Mak harus utang lagi ke tante Winda buat bayar buku LKS Budi.”

Mendengar perkataan anaknya, Mak Nur merasa pilu, hatinya tersayat-sayat. Air matanya semakin mengucur deras tak bisa dibendung. “Nak, dengarkan, kamu itu anak mak. Kamu ingat, sama yang bapak bilang dulu. Kita itu keluarga, kalau ada masalah atau apapun, kita bicarakan, jangan dipendam sendiri, Nak. Menyekolahkan kamu itu sudah jadi tanggung jawab mak. Bayar buku LKS atau bayar apapun itu biar mak yang mikir. Tidak apa meskipun harus utang sama tante Winda ataupun siapapun itu. Kamu tak perlu khawatir.”

Hujan yang tadi mengguyur deras telah berganti menjadi gerimis kecil. Setiap tetesannya menjadi saksi bisu ketika kedua manusia beda usia yang terikat darah itu menangis tersedu. Budi berdiri mendekati sang ibu, memeluk tubuh ringkih ibunya. Matanya yang berkaca-kaca, menatap lurus ke arah gitar sang ayah yang tergeletak. Budi berjanji dalam hatinya, ia akan belajar dengan sungguh-sungguh.

“Maafkan Budi, Mak. Budi janji bakal jadi anak kebanggaan mak sama bapak.”

Sumber ilustrasi: pinterest.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan