Ekspresi Islam yang friendly face (wajah ramah). Begitu istilah Buya Syafii dalam salah satu karyanya yang berjudul Islam, Humanity, and the Indonesian Identity. Dalam buku itu, Buya Syafii mengajak umat Muslim di Indonesia untuk menampakkan ekspresi Islam yang ramah. Laku keberislaman yang mengedepankan toleransi antarumat beragama.
Sosok yang bernama lengkap Ahmad Syafii Maarif ini termasuk intelektual Muslim terkemuka di Indonesia. Semasa hidupnya, Buya Syafii mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia juga merupakan tokoh Muhammadiyah. Menjadi Ketua PP Muhammadiyah pada 1998-2005. Buya Syafii banyak dikenal dengan berbagai gagasan kebangsaannya. Dalam hal ini, masalah kerukunan antarumat beragama turut menjadi perhatiannya.
Dalam karyanya yang berjudul Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Buya Syafii menceritakan perjalanan intelektualitasnya. Bahwa, pengalaman studi Ph.D di Chicago University banyak memengaruhi pemikirannya tentang Islam. Fase ini oleh Buya Syafii disebut sebagai “kelahiran kedua” dalam perjalanan pemikirannya.
Fase Chicago banyak membentuk sikap toleransi Buya Syafii terhadap pemeluk agama lain. Bahkan, pada momen hidup di Chicago, tidak hanya dengan orang yang berbeda agama, dengan mereka yang atheis pun, Buya Syafii mampu hidup berdampingan. Momen Chicago menjadi titik kisar di mana pemikiran Buya Syafii dalam diskursus toleransi inter dan antar agama terbentuk.
Kata Buya Syafii, “Dalam pergumulan pemikiranku pasca Chicago, Indonesia dan Islam telah lebur menjadi satu. Islam yang dianut mayoritas penduduk tidak boleh mau menang sendiri. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan secara adil dan proporsional.”
Jadi, dalam pandangan Buya Syafii, meski umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, namun ekspresi keislaman yang ditampakkan jangan berdasarkan ego mayoritanisme. Sebaliknya, Islam ramah yang mengedepankan sikap bijak kepada non-Muslim, itulah yang perlu mengekspresi dalam laku keberagamaan kita.
Pandangan Buya Syafii terkait relasi Muslim dan non-Muslim dituangkannya dalam satu slogan; “bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan.” Kata Buya Syafii bahwa, “Dengan formula ini, imanku rasanya tidak semakin lemah, malah semakin kokoh, sementara hubungan persaudaraan dengan siapa pun dapat terjalin secara bebas dan bermartabat. Kalau aku mengatakan bahwa Islam merupakan pilihanku yang terbaik dan terakhir, hak sama harus pula diberikan secara penuh kepada siapa saja yang mempunyai keyakinan selain itu.”