Buzzer, Pers, dan Santri

42 views

Jagat maya dan jagat nyata di Tanah Air akhir-akhir ini begitu hibuk dengan perkara buzzer. Banyak debat publik dan pertentangan antarorang atau antarkelompok masyarakat yang bermula dari perkara buzzer ini. Banyak pihak, bahkan dari kalangan pers, yang kemudian mengeluhkannya. Fenomena buzzer dinilai akan bisa merusak sendi-sendi berdemokrasi. Dan kemudian ada pihak yang mengharamkannya.

Kita tahu, istilah ini dialamatkan kepada orang-orang yang “pekerjaannya” menyebarkan konten melalui platform media sosial (medsos) dengan tujuan menyebarkan dan membangun opini. Juga memerangi opini pihak yang berseberangan.

Advertisements

Istilah buzzer sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris, buzz, yang berarti dengung. Maka, buzzer juga berarti lonceng atau alarm atau pendengung. Istilah buzzer mulai banyak digunakan buat menunjuk para penyebar konten di medsos bertepatan dengan pemilihan kepada daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 dan berulang pada pemilihan presiden 2019.

Pada dua peristiwa politik tersebut, para pendukung masing-masing calon memainkan berbagai platform medsos untuk memenangkan jagonya dan menumbangkan lawannya. Sesungguhnya itu merupakan kegiatan politik, atau kampanye, dengan menggunakan platform medsos. Lazimnya sebuah kampanye, ia memang bisa menjadi positive campaign, negative campaign, atau black campaign. Itu hal lumrah saja. Tapi ke sanalah kemudian istilah buzzer dialamatkan.

Namun, dua peristiwa politik ini seakan memang “membelah” masyarakat menjadi dua kelompok atau kubu yang saling berhadapan, saling bermusuhan, secara oposisional yang terus berlanjut hingga hari-hari ini. Dan masing-masing kekuatan tetap menggunakan buzzer, atau ada saja orang yang mau menjadi buzzer untuk yang didukungnya.

Pers Terdesak

Dan di zaman yang dimanja kecanggihan teknologi informasi seperti saat ini, setiap orang memang dengan gampang bisa menjadi buzzer. Per definisi, itu perkara lumrah. Masalah datang ketika konten yang didengungkan secara substantif memang bermasalah, dan sang buzzer mengabaikan norma publik dalam “berdengung”.

Penyebaran konten, baik berupa teks, suara, maupun gambar melalui berbagai platform medsos sesungguhnya merupakan bagian dari apa yang di awal kemunculannya disebut sebagai citizen journalism, jurnalisme warga, setelah adanya jaringan Internet. Melalui jaringan Internet, setiap orang bisa menjadi jurnalis, menjadi wartawan, tanpa harus tergabung dan bernaung di bawah lembaga-lembaga pers konvensional. Tanpa memiliki “kartu pers”, setiap orang bisa dengan mudah berbagi dan menyebarkan informasi, opini, dan semacamnya melalui situs web yang dibuat sendiri, atau blog-blog pribadi, atau berbagai macam platform medsos.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan