Pembicaraan mengenai pesantren, kiai, dan santri, akhir-akhir ini masif beredar di kanal media sosial kita sehari-hari. Banyak pro-kontra yang menyelimuti topik tersebut, bak perseteruan di antara dua kalangan. Yang satu yang hidup di luar garis pesantren. Yang lain dari kalangan yang lahir dari rahim pesantren.
Namun, pertanyaan yang patut diajukan, bagaimana menyikapi berbagai fenomena tersebut? Apakah absah apabila menyampaikan narasi yang diklaim sebagai “kritik” dengan memakai skema generalisasi, dan mencatut nama-nama besar yang dihormati?

#BoikotTrans7 dan Logika Pasaran
Penulis rasa, tagar #boikottrans7 ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan alarm serius atas kegagalan media arus utama dalam memahami kultur ke-Indonesia-an yang majemuk.
Pemicunya, tayangan program Xpose Uncensored yang menyoroti kehidupan pesantren (utamanya relasi antara kiai dan santri) dengan narasi yang provokatif, di mana penghormatan diartikan sebagai eksploitasi, dan takzim dicap sebagai feodalisme.
Tayangan tersebut secara mentah menafsirkan santri, dengan segala tindak-tanduknya, yang menghormati seorang guru atau kiai sebagai bentuk perbudakan. Narasi liar ini jelas mencerminkan kecacatan dalam melihat fenomena secara parsial.
Mereka yang berada di luar pagar pesantren, melihat tradisi ini sebagai sesuatu yang aneh, atau bahkan primitif; karena diukur dengan standar pengajaran yang serba equal, individualis, dan sekuler ala Barat. Kultur pesantren, di mana pertalian kiai-santri yang erat dengan ikatan batin dan spiritual, diabaikan!