Orang Madura memang selalu punya cara yang unik. Bahkan, karakteristik yang dimiliki orang Madura sejak cara berpakaian, bersikap, dan bertutur kata menjadi kesan yang tak bisa dilupakan. Utamanya, bagi para pelancong yang datang dari luar. Barangkali, mereka akan heran atau bahkan kagum dengan keunikan yang dimiliki.
Corak kemaduraan memang selalu menciptakan mozaik yang indah untuk dipandang. Sikap kekeluargaan yang erat dan solidaritas yang tinggi adalah salah satu alasannya. Bahkan kerekatan emosional yang tercipta tidak hanya dalam internal keluarga saja, namun juga kepada tetangga (baik dekat atau jauh). Terlepas dari stigma yang terus saja dilempar, Madura dilihat dari berbagai sisi memang terlihat eksotis.
Dari sisi kekeluargaan, misal, masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjaga garis nasab (keturunan). Kita bisa melihatnya dari sistem kekeluargaan di Madura yang dikenal sebagai tanean lanjhang (halaman panjang).
Desain yang dibuat tidak sembarangan, setiap susunan, petak, dan penempatan rumah di satu halaman memiliki filosofinya sendiri. Kesemuanya itu (tanean lanjhang) memerlukan pembahasan lain untuk membahasnya secara utuh.
Sistem kekerabatan kepada tetangga juga tak kalah. Orang Madura akan bersikap ghete, lambhe’ (ramah) dan semangat melakukan gotong-royong ketika ada acara hajatan atau kegiatan lainnya. Mereka akan song-osong lombhung (saling bahu membahu) membantu dan berpartisipasi. Beberapa contohnya, antara lain; lalabat (berkunjung ke rumah duka), ghabay (upacara perkawinan), dan lain-lain. Tidak hanya dalam acara-acara serupa dengan yang saya sebutkan, dalam urusan lain pun, solidaritas orang Madura tetap eksis, seperti mengantarkan anak mondok misalkan.
Gak Mondok, Gak Keren
Pondok —bagi orang Madura— memiliki makna sendiri. Memondokkan anak merupakan sebuah kebanggaan, barangkali juga menjadi keharusan. Sebagai pulau yang masih kental dengan budaya santrinya, eksistensi mondok tetap menjadi kecenderungan. Meski tidak semua masyarakat Madura adalah lulusan pesantren, namun saya meyakini kuantitas alumni pesantren di Madura bukan sedikit.
Tidak hanya pesantren besar yang saya maksud di sini, namun juga menyeluruh kepada pesantren-pesantren kecil dengan santri yang relatif sedikit. Bisa jadi, mondok bagi orang Madura menjadi lifestyle, sehingga—dalam bahasa guyonnya —gak mondok gak keren. Itu realitas yang saya temukan di lingkungan saya. Bahkan saya dan beberapa teman sebaya lainnya nyaris tidak ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Di Sumenep sendiri, lebih tepatnya di Gapura, tren mondok masih eksis sampai sekarang. Bahkan, saya sendiri menjumpai beberapa anak tetangga yang mondok di lingkungan kampung. Ya, mondok di pondok pesantren yang memiliki jarak relatif dekat dengan rumahnya. Ada juga yang beramai-ramai mondok di pondok pesantren yang sama Namun, tak sedikit yang memilih nekat mondok ke pesantren dengan berangkat seorang diri, tanpa diajak atau mengajak teman sekampungnya.
Nah, ketika atau akan berangkat mondok ada beberapa hal unik yang bisa dijumpai. Sebelum berangkat, para putra-putri yang akan pergi mondok akan nyabis (baca; menjumpai) guru-guru di kampung, baik guru alif (dalam bahasa Madura disebut Rama kae atau Keaji), guru Madrasah, atau guru pengasuh pondok pesantren sebelumnya. Hal tersebut dilakukan agar barokah pada guru-guru sebelumnya tidak terputus. Selain itu juga sebagai bentuk mengaktualisasikan adab (tigkah laku) kepada guru.
Mereka akan berpamitan kepada orang-orang yang terlibat dalam sanad keilmuannya, meski tidak semuanya. Lebih-lebih pada guru alif, guru yang sejak dini sudah mengajari moralitas/akhlak dan kajian Al-Qur’an. Meski seringkali mereka berasal dari kalangan orang biasa, namun jangan salah, guru alif memiliki “sakralitas” yang bisa saja lebih tinggi dari yang lain.
Restu dari guru-guru yang saya maksud di atas bisa jadi merupakan cara orang Madura untuk memperoleh keselamatan dalam mencari ilmu. Sebab, selanjutnya mereka akan memulai pengembaraan ilmu ke tempat yang berbeda. Restu dan izin dari guru—bisa dipastikan—menjadi jimat untuk menjadi bekal di tengah proses pengembaraan selanjutnya. Alasan lain adalah agar tidak terkesan melupakan jasa guru-guru terdahulu.
Cara unik selanjutnya adalah saat waktu keberangkatan. Orang Madura yang pada umumnya terkenal dengan kebiasaan song-osong lombhung-nya, juga tercitra dalam hal ini. Biasanya, untuk mengantarkan satu santri saja diikuti oleh beberapa rombongan, puluhan orang. Orang-orang ini biasanya berasal dari kerabat dekat/jauh dan tetangga sekitar rumah. Mereka biasanya diajak keluarga calon santri atau dengan atas inisiatif pribadi.
Sebagai orang yang rumahnya berdekatan dengan beberapa pondok pesantren, saya sering menjumpai realitas demikian. Sedikit cerita, di sebelah utara rumah saya ada salah satu pesantren kecil. Kebetulan—sekitar 5 tahun yang lalu—ada dua orang santri yang diserahkan ke kiai pengasuh untuk mondok di sana. Uniknya, rombongan yang ikut berjumlah 3 mobil (dua bak terbuka dan satu mobil pribadi). Itu hanya untuk dua orang santri saja.
Sebenarnya pemandangan itu bukan satu kali saya lihat, serambi masjid pesantren penuh dengan kerabat dan tetangga dari calon santri memang sudah ada sejak dulu. Kalau dikalkulasikan, bisa berjumlah sekitar belasan, bahkan melebihi jauh. Namun, di situ keunikannya. Citra solidaritas orang Madura tersaji dan bisa dinikmati. Wallahu a’lam…