Catatan Kecil terhadap “Quo Vadis Hafalan Al-Quran”

Tulisan ini lahir karena sebuah artikel yang dimuat di laman www.duniasantri.co (22 September 2025) dengan judul “Quo Vadis Hafalan Al-Qur’an.” Sebuah artikel “bagus” yang ditulis oleh santri Tebuireng, yaitu Netik Raudhatul Sa’adah.

Saya paham bahwa penulis yang merupakan  peserta workshop penulisan kreatif dan jurnalistik jejaring duniasantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, 21-22 Agustus 2025 ini, ingin meluruskan niat baik terhadap tujuan utama dalam menghafal ayat-ayat Al-Quran. Tetapi, sebuah asumsi tidak sama dengan suatu penelitian ilmiah. Kajian ilmiah dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Namun asumsi hanya serupa teks yang tidak memiliki kekuatan hokum.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa “Menghafal Al-Qur’an sejatinya adalah jalan spiritual yang mengantarkan seseorang untuk lebih memahami isi dan makna kitab suci itu secara mendalam.”  Perlu diluruskan bahwa memahami makna kitab suci tidak perlu menghafal. Tidak hafal pun bisa saja kita mengkaji, mendalami, dan memahami makna ayat-ayat Al-Quran. Menghafal dapat dilakukan oleh anak kecil sekalipun. Bahkan mereka yang belum baligh pun bisa menghafal ayat-ayat Al-Quran.

Saya memahami bahwa yang dimaksud penulis artikel tersebut bahwa seorang hafiz tidak semata menghafal kitab suci an sich. Tetapi juga harus memahami dan mendalami makna ayat-ayat Al-Quran dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, hafalan mampu mengejawantahkan makna Al-Quran dalam kehidupan. Namun perlu dipahami bahwa “hafalan” merupakan awal dari memahami makna ayat suci.

Pada penjelasan selanjutnya, penulis memaparkan, “Namun, kenyataannya, banyak penghafal hanya fokus pada kuantitas atau jumlah ayat yang dapat dihafal tanpa mau mendalami makna dan mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur’an.” Pertanyaannya, dari mana kesimpulan ini didapat? Apakah sudah pernah melakukan penelitian (observasi)? Atau hanya sebuah asumsi? Berapa persen hafiz/hafizah yang melakukan praktik semacam ini? Apakah semuanya? Justifikasi model apa ini?

Saya tetap bangga dengan penulis ini. Masih muda dan belia tetapi sudah bisa menghasilkan sebuah karya tulis. Saya mengapresiasi setinggi-tingginya karena tulisan ini melahirkan nilai diskusi yang harus kita lakukan. Bukan sekadar menulis, tetapi tulisan yang kita buat menjadi tanggung jawab pribadi yang berdasarkan karya ilmiah. Harus terus semangat dan tidak boleh mundur hanya karena sebuah tantangan.

Apakah benar bahwa penghafal Al-Quran (banyak, kebanyakan) hanya untuk mengejar gelar, jabatan, atau terpaksa? Dari mana data diperoleh terkait dengan simpulan ini? Bagi saya, tidak ada salahnya jika kita menarik sebuah premis tanpa justifikasi. Karena justifikasi tanpa adanya penelitian yang valid akan menjadi bumerang dan berdampak negatif.

“Jadi, ketika kita melihat fenomena orang-orang yang menghafal Al-Qur’an hanya untuk mengejar gelar, jabatan, atau karena keterpaksaan tanpa ketulusan hati, kita sebenarnya harus prihatin.” Ini adalah bagian dari justifikasi yang berdasar pada sebuah asumsi. Bahwa orang-orang penghafal Al-Quran hanya mengejar gelar, jabatan, dan karena terpaksa. Saya tidak menihilkan penghafal yang demikian. Namun, dianggap semuanya merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa.

Meski demikian, mungkin yang dimaksud penulis adalah agar para penghafal Al-Quran jangan sampai terperosok ke dalam niatan yang tidak semestinya. Perlu dipahami bahwa masih banyak penghafal yang jalurnya sudah benar. Berjuang mencapai target (tahfiz) dengan sepenuh hati dan cara (niat) yang benar. Kebenaran semacam ini jangan sampai dianggap nihil dan hilang dalam koridor ke-tahfiz-an.

“Pada akhirnya, penghafal Al-Qur’an yang sesungguhnya bukanlah mereka yang merekam ayat-ayat secara mekanis, melainkan mereka yang menjadikan Al-Qur’an sebagai teman hidup, siraman jiwa, dan sumber inspirasi dalam setiap langkah kehidupan.” Paragraf ini meniadakan (nihil?) nilai menghafal Al-Quran (penghafal Al-Qur’an yang sesungguhnya bukanlah mereka yang merekam ayat-ayat secara mekanis).  Padahal menghafal Al-Quran, —sebagaimana dijelaskan oleh Ustaz Adi Hidayat,— akan mendapat kemuliaan di dunia dan akhirat. Tentu dengan catatan bahwa mereka menghafal Al-Quran sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Catatan ini tidak untuk mendeskreditkan penulis, Netik Raudhatul Sa’adah. Bahkan sebaliknya, saya bangga sekaligus salut dengan artikel ditulisnya. Sebelia itu, ia mampu membuat artikel yang cukup baik dan fantasti. Tetapi harus terus digali kreatifitas kepenulisannya agar menjadi penulis yang dapat diperhitungkan di masa yang akan datang. Saya tunggu tulisan berikutnya. Wallau A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan