Beberapa waktu lalu, tepatnya Minggu (13/6/2021), Jejaring duniasantri (JDS) menggelar acara silaturrahmi dengan para santri yang menjadi penulis/kontributor www.duniasantri.co. Ada beberapa catatan menarik yang bisa dijadikan bahan renungan bagi para kontributor untuk memperkaya dan memperluas ide-ide penulisan.
Bertajuk “Halal bi Halal dan Diskusi Penulisan Kreatif”, acara yang berlangsung virtual melalui aplikasi Zoom ini menghadirkan dua pembicara, yaitu peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir dan budayawan nadhliyin Ngatawi al-Zaztrouw.
Acaranya sendiri dibuka dan dimoderatori oleh Alfian Siagian, dan diawali dengan sambutan dari Pembina JDS Halim Pohan. Kemudian, Ngatawi al-Zaztrouw sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawat di Bandara Sultan Baabullah, Ternate, menjadi pembuka diskusi.
Mantan staf pribadi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini dalam paparannya secara khusus menyoroti tradisi literasi kalangan pesantren dari waktu ke waktu. Menurutnya, tradisi literasi memiliki akar yang kuat di lingkungan pesantren. Tokoh-tokoh pesantren sejak abad-abad lalu sudah menghidupkan tradisi literasi. Terbukti dengan banyaknya kiai atau ulama yang mampu melahirkan kitab-kitab berbobot di zamannya.
Tradisi itulah, menurutnya, yang harus terus dijaga dan dikembangkan oleh santri-santri generasi masa kini. Dengan lingkungan yang berbeda, tentu medium yang digunakannya pun bisa berbeda pula. Dengan terus mengembangkan tradisi literasi, menurutnya, kalangan santri dan pesantren akan terus bisa mewarnai dinamika masyarakat. Bahkan mampu bersaing secara global.
Sayangnya, para kontributor duniasantri.co tak bisa berdialog langsung dengan Kepala Macara Art Center (MAC) Universitas Indonesia (UI) ini. Sebab, Zastrouw harus segera mengakhiri presentasinya untuk boarding pesawat.
Tiba giliran Amin Mudzakkir tampil sebagai nara sumber berikutnya. Sama seperti Zastrouw, Amin Mudzakkir juga menyoroti pentingnya kalangan pesantren untuk terus mengembangkan literasi. Hanya, demikian pengurus Amin Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ini mengingatkan, kita jangan terjebak dengan literasi dari perspektif Barat. “Akan banyak yang hilang, tak tergali, jika kita memahami literasi dari kaca mata Barat,” katanya.
Barat, demikian dicontohkannya, tidak menganggap tradisi lisan, yang oral, sebagai bagian dari literasi. Padahal, justru tradisi lisan inilah yang telah lama berkembang dan berakar kuat di dunia Timur, dunia muslim, dan khususnya di lingkungan pesantren.
Ia mencontohkan, kegiatan seperti tilawatil Quran, dibaan, selawatan, pengajian, dakwah dengan cara berpidato, adalah tradisi lisan yang sudah lama berkembang di lingkungan masyarakat muslim. “Dalam kaca mata Barat, ini bukan literasi dan karena itu disentuh penelitian. Harusnya itu juga kita pandang sebagai literasi,” katanya.
Jika contoh-contoh tradisi lisan tersebut juga dianggap sebagai bagian dari tradisi literasi, menurutnya, maka dunia muslim, khususnya kalangan pesantren, terbilang sangat kaya akan tradisi literasi. Karena itu, ia menyarankan agar para kontributor duniasantri.co juga menaruh perhatian khusus pada tradisi lisan yang berkembang di lingkungan pesantren. Tak harus dalam bentuk tulisan, tapi bisa dipublikasi melalui duniasantri.co dalam format lain, misalnya dalam bentuk video.
“Jangan melulu mengangkat dan menulis isu tentang toleransi dan semacamnya. Lama-lama bosan kita. Itu semua sudut pandang Barat,” katanya.
Dari pemaparan dua nara sumber tersebut tergambar bahwa banyak tradisi literasi yang di lingkungan pesantren yang belum tersentuh oleh para penulis dari kalangan santri sendiri. Banyak mutiara yang belum tergali justru dari tradisi santri itu sendiri.