CELURIT MUSIM PANAS

182 views

CELURIT MUSIM PANAS

malam sudah benar-benar tembus pandang
maut tak punya tempat untuk menepi
hingga pada sepi yang koyak,
kesunyian yang berderak
mata nyalang mesti memburu bayang-bayang
:entah patahan dahan, entah pahatan kematian
samsu yang terperangkap gelap
menggelinding ke balik bebukit kelam

Advertisements

dendam macam apa dibendungnya?

tiba-tiba malam semakin pekat
gagak teriak dengan suara serak
runcing hujan mengecup sebilah celurit warisan
lihatlah, bagaimana kesedihan memawar

samar-samar gending mengirim getar kenangan
setelah tebasan pertama
darah mengucur dari pipi purnama
tebasan kedua, dendam tertawa
sepuas luka-luka dada

harga diri macam apa ditanggungnya?

Yogyakarta, 2024.

NOTA KECIL AKHIR TAHUN

di terminal terakhir,
sebuah catatan dihadapkan dengan wajah kesunyiaan
kalimat-kalimat sedu-sedan, pena hampir patah
seperti menanggung seribu cuaca
bahagia dan sedih adalah kuntum-kuntum nasib, zakiyya

angin gelisah sepanjang malam basah
musim merupakan kenangan yang kerap lewat
tapi kita enggan mencatat
atau prihal angka-angka yang rontok dari almanak
di dinding kamar
membikin sekuntum bulan memar
sehampar kabut menelan sasmita daun-daun samar-samar

apa masih perlu menangisi yang berlalu?
letusan kembang api di langit kota-kota
semacam resital kesedihan yang cukup meronta
sungai di kelopak mata kita sebatas basah, zakiyya

Yogyakarta, Desember 2023

KEPADA ZAKIYYA

bagaimana mungkin, seribu tahun kesunyian
yang perlahan-lahan retak
menjadi kebun mawar,
sedang kebisuan kita adalah tabiat batu-batu
yang semakin mengeras di tubuh waktu

kerinduanku bukan utusan dari sisa luka masa lalu:
tak akan ada burung ababil
yang hendak menjatuhkan kerikil jahanam
ke teluk dada kehilanganmu

malam kerap menawarkan kesunyian yang lain
penunggu sepertiku, tak goyah dipintal angin
walau takdir sering mengkoyak ingin

bagaimana mungkin, kiyya, bagaimana mungkin
sehampar tanah beludru
menolak kutanami
kembang-kembang harap
yang lama tumbuh di tubuh kesunyianku.

Yogyakarta, 2023.

RUMBALARA

i/
angin mengental, di sini.
langkah seperti lengket oleh kesunyian
maka katakan padaku, kiyya, apa yang belum
diucapkan malam padamu
:baris-baris puisi ini, tak akan menjadi resital kesedihan

ii/
di tengah perjalanan, waktu semacam duri rukam.
sebuah nama kutanggung sebagai penawar pesakitan
lorong-lorong di hadapan memutus cabang

“jika jalan menuju rumahku terjal dan berbatu,
bacalah sebuah sajak dengan pendar rindu tanpa bertalu.”

iii/
sesampai di hatimu, bunga-bunga logam
mekar serupa getar
;pangkuanmu, suaka paling damai yang kukenali

Yogyakarta, 2024.

sumber ilustrasi: kompas.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan