Cerita Optimis

358 views

Adakalanya lelaki itu bermalas-malasan; telentang, pikirannya keluyuran entah ke mana, sementara pandangannya terpaku dinding kuning kamarnya itu. Tampak kemudian, di ketinggian delapan puluh tiga sentimeter tembok itu, seekor semut merangkak ke atas. Lalu ujuk-ujuk berhenti, membalikkan badan untuk kemudian terjun bebas.

Andai kejadian itu tak terulang beberapa saat kemudian, ia bakal mengira semut itu jatuh tergelincir. Namun karena semut itu kini, untuk kali ketiga, tampaknya bakal mengulang lagi, ditimpuk penasaran buru-buru ia menyat, mendekat sembari melempar tanya, “Wahai semut, sebetulnya apa yang sampean lakukan?”

Advertisements

Tak jadi terjun, semut itu menjawab, “Bunuh diri, tapi tidak mati-mati.”

Tercengang ia mendengarnya, tercengang ia mendapati seekor semut sedang bunuh diri. Apa gerangan yang menjadikan seekor semut ingin mati?

Dengan nada simpati ia menanggapi, “Hidup ini indah, teman, dan cuma sekali. Kenapa sampean malah ingin mati?”

“Memang betul hidup ini indah dan hanya satu kali. Hanya saja setelah membaca tulisan-tulisan sampean, rasa-rasanya hidup jadi tidak indah…”

Tercengang ia mendengarnya, tercengang ia mendapati seekor semut mengaku pernah membaca tulisan-tulisannya. Apakah tulisannya jadi penyebab seekor semut melakukan bunuh diri?

“Saya tidak mengerti, bisa sampean jelaskan?”

Kemudian semut itu bercerita:

Seumum semut dewasa, ia menjalani hidup bahagia dengan cara di siang hari bekerja bareng teman-temannya, sementara di malam hari mereka istirahat sembari sesekali saling curhat. Suatu siang, saat teman-temannya mengangkuti remah-remah makanan yang tercecer di lantai rumah itu, ia melirik ke arah lelaki itu. Bukan kelakuan lelaki itu yang membuatnya tertarik untuk kemudian mendekat, melainkan segelas teh yang berada di meja—tempat lelaki itu mengetik dengan komputernya.

Kemudian, lanjut si semut, saat ia mulai menyeruput teh tersebut, lelaki itu tampak khusyuk membaca tulisannya. Entah mengapa, semut itu jadi tertarik untuk mengintip, turut membacanya. Kejadian seperti ini terulang untuk beberapa kali. Dan dari sinilah, hidup yang semula dalam pandangan semut itu indah jadi terasa tidak indah.

“Tulisan-tulisan sampean terlalu dramatis, penuh kesedihan, awal-tengah-akhir cuma menceritakan tragedi. Seakan-akan tak ada lagi kebahagiaan di dunia ini; seakan-akan Gusti Allah Ta’ala suka melimpahi dunia dengan duka nestapa…”

“Wajar, namanya juga fiksi,” lelaki itu coba membela diri.

“Saya tahu tulisan sampean fiksi dan saya tahu apa itu fiksi,” sementara si semut sejenak berhenti, lelaki itu berpikir dari mana si semut punya pengetahuan seperti ini.

“Tetapi,” lanjut si semut, “kendatipun fiksi, tidak bisakah sampean menyelinginya dengan cerita bahagia? Atau setidaknya di ujung cerita sampean yang penuh kesedihan, ada gambaran tokoh cerita sampean bakal merkoleh kebahagiaan atau paling minim tetap ada harapan ke arah sana…”

Lelaki itu tampak tertegun. Tak pernah terbayang olehnya pembaca tulisannya bakal menanggapi seperti itu, terlebih pembacanya itu seekor semut. Memang, demikian benaknya, selama ini ia menulis untuk menuangkan apa yang dipikir-rasakannya. Apabila —seperti yang dikatakan semut itu— cerita-ceritanya penuh kesedihan, tak lain karena ia merasa hidupnya penuh kesedihan.

Akan tetapi, tunggu dulu, benarkah dalam hidupnya lebih banyak duka tinimbang suka? Benarkah Tuhan lebih banyak melimpahinya kesedihan tinimbang kebahagiaan?

Setelah dihitung-hitung, yang benar: lebih banyak sukanya. Setelah dihitung-hitung, yang benar: lebih banyak bahagianya.

Jika demikian, jangan-jangan, sebagai penulis, ia memang suka melebih-lebihkan kesedihannya agar pembaca—atau bila perlu seluruh dunia tahu—ia-lah—lewat ceritanya—yang paling sedih sedunia?

Pada titik ini ia jadi malu dan ingin mengaku pada semut itu. Hanya saja, begitu ia mengarahkan kembali pandangan ke arah si semut, tak lagi ia mendapatinya di situ. Apakah si semut kembali melanjutkan prosesi bunuh diri?

Buru-buru pandangannya menyapu lantai, tempat di mana sekira semut itu jatuh, akan tetapi ia tidak menemukannya. Kemudian, tepat setelah ia bertanya dalam benak akan keberadaan si semut, sebuah ide menclok di kepalanya: sebuah cerita dengan judul persis seperti cerita yang sedang sampean baca ini.

Doplangkarta, 23:14, 5 Januari 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan