Chromatica: Moksa melalui Warna

Malam ini, di antara aroma dupa yang menyala pelan, saya membaca kembali katalog lukisan karya Putu Fajar Arcana, Chromatica: Jalan Warna Menuju Moksa. Pada 16-21 Agustus 2025 lalu, Putu Fajar Arcana menggelar pameran tunggal di The Gallery, The Dharmawangsa Jakarta. Pamerannya bertajuk Chromatica.

Putu Fajar Arcana.

Saat membaca kembali katalognya itu, sejenak, saya menutup mata, membiarkan kalimat-kalimatnya menetes seperti warna di atas kanvas. Di antara abu yang turun perlahan, saya mendengar gema lembut: bahwa setiap warna adalah napas yang pernah kita tahan, dan setiap lukisan adalah tubuh yang berusaha menyalakan kembali jiwa.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Konsep warna sebagai napas yang tertahan, dan lukisan sebagai upaya menyalakan kembali jiwa, memiliki resonansi teologis yang mendalam dan universal. Dalam Buddhisme, napas adalah praktik fundamental Anapanasati, pintu gerbang menuju konsentrasi dan pembebasan (Nirwana), di mana ‘warna’ dan ‘rupa’ dipandang sebagai maya (ilusi) atau manifestasi fana dari samsara yang harus ditransendensi.

Bagi Katolik, ‘tubuh’ dan ‘lukisan’ adalah penegasan Imago Dei (citra Allah) pada manusia, dan napas adalah hembusan Roh Kudus yang memberikan hidup (Kejadian 2:7), menjadikan setiap karya seni atau kreasi sebagai tindakan partisipasi dalam kemuliaan Sang Pencipta.

Sementara, dalam Islam, napas adalah manifestasi Ruh dan tanda (Ayat) dari keesaan Allah (Tauhid), di mana palet warna kehidupan dan wujud lukisan semesta adalah bukti kesempurnaan ciptaan-Nya. Tujuan spiritual adalah menyucikan “kanvas jiwa” (Nafs) dari noda-noda duniawi, melalui muhasabah dan riyadhah, untuk kembali pada fitrah (kesucian awal) yang terlukis indah tanpa distorsi.

Aktualisasi filosofi dari lukisan-lukisan Bli Can, panggilan akrab Putu Fajar Arcana, sangat relevan dengan kondisi batin manusia Indonesia hari ini yang terperangkap dalam kecepatan digital, kebisingan politik, dan materialisme yang terkadang terasa menyesakkan.

“Napas yang kita tahan” adalah kecemasan kolektif dan keletihan mental akibat tuntutan validasi media sosial, persaingan ekonomi yang keras, serta polarisasi sosial. Dalam konteks ini, praktik keagamaan—seperti meditasi Buddhis, Doa Hening atau adorasi Ekaristi Katolik, serta Zikir atau Istighosah dalam Islam—adalah cara untuk menghela napas panjang yang telah lama tertahan, membersihkan “abu” distraksi yang menutupi kanvas batin.

‘Warna’ sejati yang dicari bukanlah kemewahan, melainkan otentisitas dan kedamaian batin (salâm)— sebuah resilience spiritual yang memungkinkan individu Indonesia untuk kembali “menyalakan jiwa” dan menampilkan fitrah atau Imago Dei yang murni sebagai jangkar di tengah arus deras perubahan.

Namun, ketika hibuk dengan “arus deras dan jangkar”, tiba-tiba saya teringat salah satu bait puisi Bli Can yang juga seorang penyair ini, “Percakapan Sungai-Sungai”:

Aku ingin menjadi diriku
Sungai yang mengirim suara-suara hutan
Di keliaran gunung yang tak sempat kau kenal
Aku ingin menjadi dirimu
yang membasuh risau kalbu
menjadi hamparan kenangan yang membiru.

Ingatan pada frasa “sungai-sungai” kini tak lagi terpisah dari kesedihan kolektif kita. Dan, benar, sungai dan laut kita merana, dangkal, dan dibiarkan tertimbun sampah proyek atau limbah. Padahal, di masa lalu, sungai adalah nadi peradaban itu sendiri. Ia bukan sekadar saluran air, melainkan jalan raya agung yang menghubungkan kota, jalur diplomasi antar kerajaan, dan urat nadi ekonomi yang membawa komoditas dari hulu ke hilir. Sungai adalah saksi bisu lahir dan runtuhnya sebuah peradaban.

Namun, sungai tak hanya menjadi penentu takdir geografis atau ekonomi. Dalam tradisi spiritual, ia menyimpan ajaran paling tua tentang eksistensi. Dalam ajaran Buddha, air yang mengalir—metafora sungai—adalah perwujudan sempurna dari Anicca (ketidakabadian). Sungai mengajarkan bahwa segala sesuatu, termasuk duka dan kebahagiaan, terus mengalir, tidak pernah sama dari detik ke detik. Mencoba menahan air yang mengalir sama sia-sianya dengan mencoba menghentikan waktu.

Dan di sinilah, ingatan akan frasa “sungai-sungai” itu berbalik ke dalam diri. Sungai yang dimaksud dalam puisi itu mungkin adalah sungai batin, yang kini terasa semakin “keruh.” Keruhnya bukan oleh sampah fisik, melainkan oleh sampah emosi: risau, amarah, dan duka yang tak sempat terbasuh. Duka yang tak sempat  dituang.

Saya juga teringat ucapan Bli Can di Studio Arcana, “Saya intens melukis setelah anakku meninggal di Jogja tahun 2023. Aku berduka.” Kalimat itu mengguncang keheningan dalam diri saya. Sebab siapa yang tidak menampung duka? Siapa yang tidak mencari cahaya dari serpihan yang hilang? Namun, hanya sedikit orang yang berani mengubah duka menjadi daya, dan daya menjadi cahaya.

Bli Can kemudian memilih jalan itu, padahal, sebagai wartawan, bermula dan datang dari dunia huruf dan logika berita, dari ide-ide puitik, diksi-diksi dan metafora dalam puisi, cerita pendek, dan novel — dunia yang terbiasa mengukur dan menimbang— tapi tiba-tiba, Bli Can lepaskan pena dan menggantinya dengan cat, air, dan kanvas. Dalam garis dan warna itulah, kata-kata menjelma warna hidup. Di sanalah saya paham: kadang, bahasa tak lagi cukup untuk menampung kebenaran yang lahir dari kehilangan.

Saya membayangkan Bli Can duduk di depan kanvas kosong, tangan gemetar saat menuang warna. Saya tahu getar itu: bukan gugup, tapi pengakuan bahwa tangan manusia hanyalah alat semesta. Dalam Chromatica, warna tidak patuh pada garis; ia hidup, ia menolak dinding. Dibiarkannya air dan api beradu, seperti dua sisi Rwa Bhineda—terang dan gelap, bahagia dan kehilangan, daging dan roh. Lukisan Bli Can ini harus didengarkan dengan napas, bukan dibaca dengan teori.

Saya melihat seri Mysterious Garden sebagai taman rahasia tempat para arwah menari di antara kelopak. Kupu-kupu yang hinggap di atas cat yang belum kering itu adalah utusan dari dunia niskala—dunia halus tempat yang pergi tak pernah benar-benar hilang. Bli Can telah mengubah kehilangan menjadi komunikasi, duka menjadi percakapan antara dua dunia.

Saya bayangkan di ruang The Dharmawangsa yang sunyi — tempat pameran karya-karya lukisan itu,  pengunjung datang dengan niat melihat warna, tapi mereka pulang membawa renungan. Mungkin di antara mereka tidak tahu bahwa di balik kilau warna cat, ada upacara kecil yang sedang berlangsung: upacara penyembuhan jiwa. Sang pelukisnya tidak sedang memamerkan karya, tapi sedang menggelar melukat —ritual pemurnian yang dilakukan dengan warna.

Lalu, di tengah keheningan ruang galeri itu, saya jadi teringat, hari itu, 21 Agustus 2025, Bli Can menelepon, meminta saya  membacakan puisi dalam pagelaran penutupan pameran di ruang The Dharmawangsa. Tapi saya tidak bisa hadir, karena sedang berada di Tebuireng, Jombang. Perasaan bersalah karena tak bisa datang di hari terakhir pameran itu sempat menjerat pikiran, beruntung sebelumnya saya telah melihat beberapa lukisan itu di Studio Arcana.

Dalam setiap kanvas Bli Can, saya membaca kitab kecil tentang manusia yang belajar memaafkan semesta. Saya melihat bagaimana merah menjadi keberanian untuk mencintai lagi, bagaimana hitam menampung segala amarah tanpa dendam, dan putih—yang selalu datang terakhir—menjadi cahaya yang menyatukan semuanya dalam diam.

Namun, di luar ruang galeri, dunia sedang kehilangan kesanggupan untuk memaafkan. Memaafkan kini menjadi barang langka, seperti air suci yang mengering di telaga batin. Kebisingan telah menjelma keyakinan baru; segala yang diucapkan ingin segera benar, meski belum sempat dipikirkan. Kata menjadi senjata, bukan jembatan.

Bli Can memilih jalan sebaliknya: jalan diam yang melahirkan warna. Ia mendengar bukan dengan telinga, tetapi dengan getar yang halus di dada. Ia memaafkan dunia lewat sapuan cat. Di titik ini, Chromatica terasa seperti perlawanan halus terhadap kebisingan zaman—sebuah ajakan untuk kembali mendengarkan diri sendiri, mendengarkan semesta yang berbisik lembut. Melalui warna, Bli Can mengajarkan cara paling tua untuk berdoa: dengan diam, dengan pasrah, dengan mendengarkan.

Lukisan-lukisan itu mengajarkan bahwa seni bukan hanya untuk dilihat, tapi untuk dialami. Setiap tumpahan warna adalah jalan bagi orang yang tersesat di dalam kesedihan.

Tulisan ini bukan sebagai tebusan karena tidak bisa datang dalam momen penting itu, tapi semata untuk ikut berjalan bersama di jalan warna itu. Sebab saya tahu, dalam setiap kehilangan, kita selalu mencari bahasa baru untuk bertahan—dan kita menemukannya dalam warna. Warna yang berdoa. Warna yang memaafkan. Warna yang menuju moksa. Itulah sesungguhnya arti Chromatica: jalan warna menuju moksa, tempat duka menjadi daya, dan daya menjadi cahaya.

Depok Terluar, 30 Okrober 2025.

Catatan:

Ditulis setelah melihat, membaca, dan merenungi lukisan Putu Fajar Arcana yang dipamerkan di The Gallery, The Dharmawangsa Jakarta, 16–21 Agustus 2025.

Sumber inspirasi: teks “Chromatica: Jalan Warna Menuju Moksa”, katalog pameran, serta pernyataan seniman dalam Artist Statement dan Curatorial Note oleh Trian

Multi-Page

Tinggalkan Balasan