Belum lama ini saya menonton acara Kabar Arena di salah satu chanel TV swasta. Dalam tayangan berita olah raga ini disoroti para pemain Timnas Sepak Bola U-19 yang selalu mencium tangan pelatih sebelum dan sesudah berlaga. Shin Tae-yong, pelatih Timnas Indonesia dari Korea Selatan, menyambut baik anak buahnya dengan mengizinkan tangannya dicium.
Kebiasaan cium tangan pemain sepak bola Indonesai dimulai sejak Indra Safri menjadi pelatih. Pelatih fenomenal ini selalu memberikan kebiasaan untuk menghormati orang yang lebih dewasa, bahkan kepada wasit sepak bola yang bukan muslim sekalipun.
Bagaimana fenomena ini menurut Islam? Adakah tuntutan syari terkait cium tangan?
Bagi seorang santri, cium tangan merupakan hal lumrah. Kepada ulama, kiai, ustadz, orang tua, atau orang yang lebih dewasa —dari sejak kecil— sudah dibiasakan untuk cium tangan. Bersalaman dengan cara cium tangan merupakan bentuk penghormatan kepada yang lebih tua atau pun yang dituakan.
Tetapi, tidak semua orang (dewasa, tua, dituakan) mau tangannya dicium. Misalnya, ada beberapa pengasuh pesantren yang enggan tangannya dicium. Alasannya karena tidak ingin dihormati secara berlebihan, atau ada alasan lain yang lebih spesifik dan subyektif.
Secara umum, di Indonesai, jabat tangan dengan cara cium tangan sudah menjadi kebiasaan. Ini adat ketimuran untuk menghormari orang yang lebih tua, atau sebagai bentuk etika sosial kepada orang yang lebih dewasa. Di kalangan atlet batminton, Gresia Polly dan Apriani Rahayu seringkali mempraktekkan cium tangan kepada wasit, dan hal ini tidak menjadi masalah. Cium tangan merupakan nilai kesopanan yang perlu dilestarikan demi etika generasi muda tetap terjaga.
Cium Tangan Menurut Syari
“Dari Usamah bin Syarik, kami bertemu Rasulullah lalu kami mencium tangannya” (HR. Ibnul Muqri dalam Taqbilul Yad, berkata Ibnu Hajar dalam Al-Fath sanadnya kuat).
Hadits tersebut menunjukkan kebolehan cium tangan. Para sahabat di zaman Rasul mencium tangan Beliau sebagai penghormatan. Sebagai seorang Rasul dan Nabi, Muhammad sangat pantas untuk mendapatkan penghormatan. Maka, mencium tangan demi sebuah penghormatan dibolehkan dan dianjurkan.
Berkata Al-Imam An-Nawawi dalam Raudhatu Thalibin, “Adapun mencium tangan karena kesalihannya, keilmuan, kemulian, dan jasanya, atau sebab-sebab lain yang berkaitan dengan keagamaan maka mandub (disukai/dianjurkan), namun jika untuk dunia, untuk jabatan, dan lain sebagainya maka sangat dibenci. Berkata Al Mutawali, hukumnya haram.”
Jadi, mencium tangan demi penghormatan, seperti kepada orang tua, guru, ulama, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya secara syariat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan. Berkata Abu Bakr Al-Marwazi dalam kitab Al-Wara’, “Saya pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang mencium tangan, beliau mengatakan tidak mengapa jika alasannya karena agama, namun jika karena keduniaan maka tidak boleh, kecuali dalam keadaan jika tidak mencium tangannya akan di tebas dengan pedang.”
Di sini, agama dijadikan dasar anjuran mencium tangan, karena dalam agama selalu menjunjung tinggi kemuliaan dan kehormatan. Terkecuali, jika ada seseorang yang dipaksa (terpaksa?), kalau tidak melakukan cium tangan akan dibunuh dan sebagainya. Maka hal yang seperti ini termasuk dalam kaidah ayat, “Famanitthurra ghaira baaghin walaa ‘adin falaa itsma ‘alaih; (maka jika dipaksa tanpa adanya kemauan (dari dirinya sendiri), tidak ada dosa baginya).”
Dengaan demikian, secara syariat Islam, cium tangan dibolehkan bahkan dianjurkan. Karena, dalam cium tangan ada nilai agama, kemuliaan, dan kehormatan. Sebuah nilai kebaikan yang harus dilestarikan dan dipertahankan. Asalkan, jangan sampai terjadi penghormatan yang berlebihan. Ataupun didasarkan atas keduniaan, semisal ingin dipuji, agar dapat jabatan, atau bentuk keduniwian lainnya.
Dari Aisyah bahwa ia berkata, “Tidaklah aku pernah melihat seseorang yang lebih mirip cara bicaranya dengan Rasulullah melainkan Fatimah, jika Fatimah datang ke rumah Rasulullah, beliau menyambutnya mencium tangannya, dan jika hendak pulang Fatimah mencium tangan Rasulullah.” (HR. Abu Dawud 5217, di shahihkan pula oleh Al-Albani dalam Misyaktul Masabih).
Hadits tersebut bukan hanya sebatas memulian orang tua, karena Nabi Muhammad adalah ayah biologis dari Fatimah. Lebih dari itu, cium tangan yang dilakukan Fatimah terhadap Rasulullah adalah bentuk penghormatan sepenuhnya. Bisa sebagai orang tua (secara biologis), bisa sebagai nabi dan rasul, juga bisa sebagai orang yang dituakan dan tokoh keagamaan atau ulama. Oleh karena itu, cium tangan dapat dikatakan sebagai bagian dari ajaran Islam. Menghormati dan memuliakan dengan segala formulasinya adalah suatu kebaikan dan sunah Rasul.
Cium Tangan dalam Dimensi Sosial
Berjabat tangan dengan cara mencium tangan seseorang memiliki nilai kemuliaan. Mencium tangan yang didasari oleh penghormatan dan untuk memuliakan berdampak positif terhadap hubungan sosial. Hal ini disebabkan karena perbuatan tersebut memiliki norma kesalingan atau timbal balik. Ketika seorang anak bertindak hormat terhadap orang tua, maka orang tua akan bersikap kasih dan sayang terhadap anak. Begitu juga hubungan timbal balik antara satu orang dengan orang lainnya, yang bahkan tidak ada ikatan keluarga sekalipun.
Beberapa nilai sosial yang timbul atas cium tangan yang didasari syari adalah munculnya, pertama, nilai memuliakan terhadap orang yang lebih dewasa. Seorang anak (muda) yang berjabat tangan dengan cara mencium tangan, merupakan respons positif yang akan ditanggapi baik oleh yang dicium tangannya. Reaksi dan refleksi terhadap perbuatan tersebut adalah munculnya rasa sayang dari lubuk hati yang paling dalam. Sehingga hubungan batin antara kedua belah pihak akan semakin erat dan terjalin harmonis.
Kedua, timbulnya rasa kekerabatan yang semakin baik. Hubungan yang semakin bermakna, serta konsesi sosial yang terus meningkat. Relasi yang semakin baik ini akan bermuara pada lingkungan sosial. Saling memberikan kebahagiaan, menambah nilai keakraban, serta membangun masyarakat yang humanis. Umumnya, mencium tangan dilakukan oleh seorang anak kepada orang tua, masyarakat kepada para ulama, atau masyarakat kepada seorang tokoh. Sehingga, hubungan di antara mereka terus terjalin makin erat dan menimbulkan riak kebahagiaan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketiga, memperbaiki hubungan yang kurang harmonis. Dengan cara mencium tangan, hubungan yang semula retak menjadi kembali utuh. Hal ini sudah seringkali terjadi, terutama di lingkungan keluarga yang tidak terjalin baik, dengan cara mencium tangan akan kembali kepada kekerabatan yang sesungguhnya. Jadi, berjabat tangan, khususnya dengan cara cium tangan akan memperbaiki hubungan yang semula kurang baik dan tidak akrab.
Keempat, menambah kebahagiaan. Dengan cara cium tangan ternyata harmoni dan kebahagiaan keluarga semakin bertambah. Sebab, ada hubungan batin yang lebih lekat, dikarenakan oleh adanya kedekatan dengan cara cium tangan.
Cium Tangan Suami
“Tidak boleh manusia bersujud kepada manusia lainnya. Seandainya manusia diperbolehkan bersujud kepada manusia lainnya niscaya aku akan memerintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suami pada istri.” (HR Ahmad : 12614 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami: 7725).
Dan juga tercantum dalam Fatwa Islam Nomor: 28906, “Tidak mengapa seorang wanita mencium tangan suaminya, dan itu termasuk pergaulan yang baik. Dan ia diberikan pahala atasnya baik faktor yang mendorong untuk melakukannya karena faktor ketaatan maupun faktor syahwat, dan hanya Allah saja yang Maha Mengetahui.”
Hadits tersebut tidak secara langsung menganjurkan seorang istri mencium tangan suaminya. Namun, redaksi hadits tersebut menunjukkan kewajiban istri untuk menghormati suami. Salah satu bentuk penghormatan adalah dengan mencium tangan suami. Lebih dari itu, mencium pipi dan kening suami juga termasuk bagian dari tindakan penghormatan istri terhadap suami.
Sementara, menurut fatwa di atas, secara jelas dianjurkan agar istri mencium tangan suami. Bahkan dengan cara demikian (mencium tangan suami), istri berhak mendapat pahala dari Allah. Bentuk memuliakan dan memghormati suami adalah di antaranya dengan mencium tangan suami, baik saat akan berangkat kerja maupun setelah pulang dari tugas, misalnya. Hal ini akan berdampak terhadap kebahagiaan dalam rumah tangga.
Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa mencium tangan suami berefek positif. Ada setidaknya sepuluh hikmah mencium tangan suami, yaitu (1) meningkatkan kasih sayang; (2) mempererat hubungan; (3) menentukan derajat suami dan kebaikan istri; (4) cerminan keluarga sakinah, mawadah, warahmah; (5) bentuk ketaatan istri terhadap suami; (6) menjaga keutuhan keluarga; (7) memberi teladan yang baik terhadap anak; (8) melambangkan sebuah tanda hormat; (9) membuat suami bahagia; dan (10) menjalankan sunah Nabi.
Dengan demikian, melestarikan adat dan etika syari dengan cara mencium tangan terhadap orang yang dihormati merupakan bentuk amalun shalih, yaitu perbuatan yang baik. Perbuatan baik ini harus kita lestarikan. Diajarkan dan dianjurkan kepada anak didik kita, agar etika mereka senantiasa sesuai dengan sunah Nabi. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda adalah kebiasaan baik.
Rasulullah bersabda, “Laisa minna man lam yarham shaghirana wayuwaqqir kabirana; (Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua”). (HR. at-Tirmidzi Nomor: 1842 dari shahabat Anas bin Malik).
Wallahu A’lam bis Shawab.