Coretan Tangan Lelaki Buta

15 views

Tak ada yang tahu perihal alamat asli lelaki buta itu. Tiga tahun lalu, ia datang ke Kelurahan Manakari ini hanya ditemani sebatang tongkat lusuh bergagang bengkok. Ia mengaku bernama Suno. Lalu ia tinggal di masjid dan menjadi tukang bersih-bersih.

Selain membersihkan masjid —meski tidak bisa melihat— ia juga rajin membantu warga dengan ketangkasan kerja layaknya orang normal. Sikap mulia itulah yang membuat warga sayang kepadanya, dan memberinya makan setiap hari secara bergantian. Jika ada yang memberi uang, dengan sopan ia menolak. Ia hanya menerima sedekah makanan sekadarnya, tidak mau pada uang.

Advertisements

Tak ada barang apa pun yang ia miliki selain sebatang tongkat dan satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhnya. Pakaian yang tak pernah dicuci kecuali hanya dibasuh seperlunya saat terkena najis. Tapi anehnya, pakaian tersebut selalu tampak bersih dan menguar wangi harum.

Hal lain yang membuat warga tercengang, dalam kebutaannya, ternyata ia bisa melihat masa depan. Keadaan masa depan akan ia tunjukkan dengan tikai garis-garis jari telunjuknya yang membentuk sebuah sketsa di datar tembok, tiang, pintu, papan, lantai, dan lainnya.

Sebelum pandemi Covid-19 menyerang, lelaki tunanetra itu sudah memakai masker lebih dulu, tepatnya setelah mencoret dua batang tiang listrik dengan tikai garis yang juga membentuk gambar masker sebagaimana yang ia pakai. Ia menggambar dengan bahan cairan kesumba merah yang langsung dicolek dengan jari telunjuknya. Ada banyak tafsiran terhadap coretan itu. Seperti biasa, ketika ditanya makna coretan jemarinya, ia akan menggeleng seperti merahasiakan sesuatu. Ia hanya meminta orang-orang berdoa sesaat sebelum dirinya beranjak pergi, dan menggambar lagi di tempat yang berbeda.

Setiap kali ia membuat sketsa, orang yang memercayainya akan penasaran dengan jantung penuh debar; gerangan apa kiranya yang akan terjadi pada hari sesudah itu. Sementara, mereka yang tidak percaya hanya bersikap biasa saja, bahkan kadang mencibirnya dengan sinis.

Di akhir tahun 2020 lalu, lia kembali membuat kejutan. Ketika itu ia mencorat-coret tembok kantor kelurahan dengan sketsa berupa tikai garis kuning yang absurd. Coretan itu tepat berada di bagian yang mudah dilihat. Jika dilihat dari samping, sketsa itu tampak seperti sampan, tapi jika dilihat dari depan, garis itu bagai air yang mengalir.

Pak Lurah dan bawahannya tak peduli pada gambarnya. Mereka marah besar karena coretan itu jelas-jelas mengotori tembok sehingga kantor tampak kumuh. Sambil berkacak pinggang dan mengepal tangan, Pak Lurah mengancam lelaki buta itu dengan suara keras. Kedua matanya terbelalak penuh amarah. Beberapa bawahan semakin mengompori Pak Lurah. Beruntung lelaki buta itu tidak ada di tempat itu, sehingga amarah Pak Lurah tak diluapkan. Tapi Pak Lurah berjanji untuk memberi pelajaran padanya.

***

Coretan lelaki buta itu semakin hari semakin membuat warga geger. Warga yang semula menyayanginya, berubah membencinya. Kebencian itu meluap setelah suatu malam lelaki ia mencorat-coret rumah-rumah warga dengan kesumba kuning. Bentuknya sama dengan yang di kantor kelurahan; berupa tikai garis absurd yang menyerupai tumpahan air, dan bila dilihat dari arah berbeda akan mirip dengan sampan.

Keesokan paginya, ia tetap salat subuh berjamaah di masjid sebagaimana biasa. Ia tak merasa canggung bertemu warga karena dirinya merasa tidak bersalah. Bahkan sebaliknya, ia merasa bahagia karena merasa telah membantu warga untuk mencermati cretannya supaya hidup waspada. Coretan jemari yang semalaman ia lakukan dengan jerih payah tak terperi, pada intinya ingin membantu warga agar hidupnya selamat. Tapi warga berlawanan keadaan dengan pikirannya. Mereka tidak merasa dibantu, tapi merasa dirugikan oleh sketsa-sketsa itu.

Seusai zikir yang diakhiri dengan doa, tiba-tiba lelaki tunanetra itu terkejut oleh sentuhan tangan kasar dari belakang, dan menariknya hingga tubuhnya terjengkang dan balik menghadap ke belakang. Lalu suara warga sahut-menyahut mengecamnya.

“Apa benar kau yang semalam mencoret banyak rumah warga kelurahan ini?” suara itu bernada bentakan, membuat lelaki tunanetra itu sedikit gemetar.

“Iya, iya, Pak! Saya yang melakukannya. Rumah yang belum, akan saya coret nanti malam,” jawabnya dengan tembakan seulas senyum.

“Bangsat! Kau harus membersihkan coretan-coretan itu di seluruh rumah warga. Jika tidak, kau akan tahu sendiri akibatnya,” ancam Pak Lurah.

“Lho? Kenapa saya diancam? Padahal saya ingin membantu warga,” ia berbicara dengan nada mulai serius.

“Membantu? Ha-ha-ha… Dasar kau tolol!” sambung suara lelaki lain terdengar dari samping. Suara-suara lain bermunculan. Intinya sama-sama mengecam, bahkan beberapa di antaranya hendak memukulnya saat itu. Beruntung Kiai Harun sigap melerai agar warga tak menyakitinya.

Kiai Harun meminta warga segera pulang dan memaafkan perbuatan lelaki itu. Satu per satu warga pulang, tapi masih dengan kedongkolan yang tak tersampaikan. Wajah warga masih menyiratkan kebencian pada lelaki buta itu. Setelah warga pergi, hanya Kiai Harun dan lelaki buta itu yang berada di masjid itu.

Kiai Harun, dengan pernyataan halus meminta lelaki itu untuk berhenti mencoreti rumah warga, supaya warga tidak marah kepadanya.

“Itu semua demi kebaikanmu juga. Jika kamu berhenti mencoret rumah warga, mereka pasti bersikap baik kepadamu, sebagaimana hari-hari yang lalu,” ucap Kiai Harun sembari mengelus lembut bahu lelaki itu.

Ia tertunduk diam, seperti mencermati nasihat Kiai Harun. “Jika kamu hobi membuat sketsa, biar saya belikan kamu kertas dan alat tulis. Nanti kamu bisa menggambar di sana,” imbuh Kiai Harun, masih dengan tatap yang lurus ke wajahnya. Keadaan sebentar hening. Hanya terdengar kecius angin, mengiringi fajar yang merekah.

“Saya mencoret bukan karena hobi, Kiai,” suara lelaki itu agak serak. Wajahnya menunduk dan nyaris tumpah air mata.

“Lantas karena apa?” tanya Kiai Harun bersamaan dengan tangan kirinya memasukkan tasbih yang sedari tadi diputar pelan.

“Karena ingin menyampaikan sesuatu.”

“Kalau kamu ingin menyampaikan suatu pesan, seharusnya melalui lisan, atau bisikkan kepadaku biar aku yang akan menyampaikan kepada warga.”

Lelaki tunanetra itu kembali terdiam. Ia hanya menunduk sembari melinangkan air mata. Sesekali terisak dan sesekali menyeka air mata dengan jemarinya. Keadaan kembali hening.

“He-he… Tak usah menangis. Yang penting ikuti nasihatku jika kamu ingin aman. Aku sangat menyayangimu. Itulah sebabnya kenapa aku harus menasihatimu. Jangan ulangi lagi ya!” Kiai Harun menepuk-nepuk pundak lelaki itu. Ia mengangguk pelan. Air bening masih membutir dari sudut matanya yang rapat.

Keesokan harinya, sehabis salat subuh, lelaki tunanetra itu menemui Kiai Harun di teras masjid ketika warga yang berjemaah sudah pulang.

“Kiai, jika boleh untuk yang terakhir kalinya saya ingin membuat coretan khusus buat Pak Kiai,” suaranya pelan dan santun.

Kiai Harun sejenak menghela napas sambil berpikir di sela gerak jemari yang masih memutar tasbih dan getar bibir yang melafaz zikir.

“Baiklah, tapi silakan coret di sini.” Kiai Harun menjulurkan selembar kertas bekas sobekan bungkus kue yang ada di sisi pilar. Dengan tangan yang meraba-raba, lelaki buta itu menerima sobekan kertas itu. Seperti biasa, lalu telunjuknya mencoret kertas itu dengan cairan kesumba kuning yang sebelumnya ia ambil di saku bajunya. Jarinya lincah menjejakkan leliuk garis yang merapat, membentuk sketsa mirip lingkaran air. Sedang di tengah lingkaran itu ada sketsa masjid. Kiai Harun memandangnya dengan kedua mata yang fokus seraya mereka-reka gerangan apa makna sketsa itu.

“Pada tanggal 17 bulan ini, usahakan Kiai beserta keluarga berada di sini.” Telunjuk lelaki itu tepat menyentuh sketsa yang mirip masjid.

“Berada di masjid?”

“Iya,” jawab lelaki tunanetra itu singkat. Kiai Harun mengambil pelan kertas itu dengan kedua mata yang masih tak selesai mengamati oretan sketsa.

“Mohon simpan kertas itu, Kiai,” pinta lelaki itu dengan suara datar. Kiai Harun mengangguk meski di hatinya masih merasa kertas itu hanyalah bagian hal unik yang dilakukan oleh seorang tunanetra yang pasti tak bermakna apa-apa. Hanya demi menghargai lelaki itu, Kiai Harun pun menyelipkan kertas itu ke saku bajunya dan membawanya pulang.

***

Lelaki tunanetra itu tak lagi terlihat di kelurahan Manakari sejak beberapa hari terakhir, tepatnya setelah ia memberikan coretan selembar kertas kepada Kiai Harun. Sebagian warga perlahan berubah menjadi kangen kepada lelaki itu setelah ia tak terlihat lagi. Warga yang merasa kangen itu kadang menatap bekas samar coretan lelaki itu di tembok rumahnya yang telah dilabur dengan cat. Selain kangen, sebagian warga juga merasa menyesal telah memarahi lelaki itu hanya gara-gara mencoret tembok.

Pak Lurah pun demikian. Ia diam-diam merasa kangen kepadanya dan menyesal pernah mengancamnya. Setiap melihat bekas samar oretan lelaki tunanetra itu di tembok kantor, ingin rasanya ia menampakkan coretan itu kembali untuk mengobati rasa kangennya kepada lelaki tunanetra itu. Banyak warga yang bertanya kepada Kiai Harun mengenai lelaki itu, tapi Kiai Harun juga tidak tahu ke mana lelaki itu pergi.

Ketika tiba tanggal 17, Kiai Harun memandangi coretan pada kertas yang ia terima dari lelaki buta itu. Antara ragu dan tidak, ia pun mengajak keluarganya untuk tinggal di masjid sejak sehabis subuh dengan membawa bekal makanan. Keluarganya merasa lucu dengan perbuatan Kiai Harun yang mau saja menuruti nasihat lelaki tunanetra itu.

“Turuti saja. Siapa tahu dia wali Allah,” jawab Kiai Harun.

Hari itu —sehabis subuh— hujan turun sangat lebat. Lama sekali. Berjam-jam. Debit air terus naik. Parit dan sungai meluap. Airnya mengalir ke jalan raya hingga dalam waktu sekejap, kelurahan Manakari tampak bagai lautan. Banyak warga yang panik. Terdengar teriakan dan tangis. Ada juga yang berlarian menyelamatkan barang dan anak-anak. Hari itu tak bisa dielakkan: banjir menerjang kelurahan Mankari. Rumah-rumah digenang air setinggi satu setengah meter. Hanya masjid dan rumah Kiai Harun yang tidak dimasuki air.

Kiai Harun dan keluarganya baru sadar makna coretan sketsa air di kertas itu. Sebagian warga juga ada yang sadar tentang coretan sketsa air di tembok rumah mereka. Mereka berpikir, seandainya tidak marah-marah kepada lelaki tunanetra itu, mereka akan memberi cara untuk mengantisipasi datangnya banjir.

Kelurahan Manakari tergenang air selama dua hari dua malam. Setelah susut, ternyata hanya masjid dan rumah Kiai Harun yang tak dimasuki air. Semua tercengang. Lelaki buta itu kembali diperbincangkan warga dengan sketsa airnya. Banyak yang mengatakan dia seorang waliyullah. Warga banyak yang bertanya perihal keadaannya kini. Mereka sangat mengimpikan kehadiran lelaki buta itu untuk melakukan tindakan ajaib yang bisa menyulap rumah berlumpur jadi bersih kembali, sekaligus supaya banjir tak datang lagi.

Hari-hari setelah banjir, warga masih diliputi rasa waswas. Mereka khawatir banjir akan datang lagi. Sebelum banjir datang, mereka butuh kesiapan, dan kesiapan itu tak bisa dilakukan jika tidak ada yang bisa meramal datangnya banjir. Maka kedatangan lelaki tunanetra itu semakin mereka harapkan. Beberapa warga mulai mencari lelaki itu untuk dimintai doa, obat, dan ramalam-ramalan yang biasanya ia sampaikan melalui coretan jari pada tembok dan kertas. Tapi pencarian itu sia-sia, lelaki buta itu tetap tidak ditemukan. Hingga suatu hari, tersiarlah kabar dari seorang bocah, bahwa dirinya pernah melihat lelaki tunanetra itu suatu pagi dijemput burung raksasa di perbatasan kota, lalu dibawanya terbang ke langit.

ilustrasi: istock.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan