Sejak Kamis (6/7), budayawan Ehma Ainun Nadjib alias Cak Nun dirawat di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta. Dikabarkan, Cak Nun mengalami pendarahan otak sehingga harus memperoleh perawatan intensif di rumah sakit. Pihak keluarga menyebut, kemungkinan Cak Nun kelelahan setelah banyak beraktivitas.
Di usianya yang sudah sepuh itu, 70 tahun, Cak Nun memang masih sangat aktif berkegiatan, baik berkesenian maupun berdakwah. Seperti tak ada masa pensiun bagi Cak Nun. Dan itulah mungkin yang membuatnya kelelahan. Tubuhnya tak mampu menandingi semangatnya.
Kabar Cak Nun dirawat di rumah sakit itu banyak diberitakan media. Akhirnya banyak yang mendoakan untuk kesembuhannya. Banyak pula yang menjenguknya di rumah sakit. Yang mengejutkan, salah satu penjenguknya adalah Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Orang yang belum lama ini pernah disebutnya sebagai Firaun. Jokowi menjenguk Cak Nun di rumah sakit pada Minggu (9/7) ini.
Kita tahu, penyebutan Jokowi sebagai Firaun itu sempat memanaskan suhu politik nasional. Saya bahkan sempat membuat satu tulisan tentang hal itu di sini. Dan kita tahu, sampai Minggu ini Jokowi menjenguk Cak Nun, tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya untuk merespons penyebutan sebagai Firaun itu.
Kita hanya bisa melihat yang kasat mata; bahwa Minggu ini Jokowi menjenguk Cak Nun; atau Cak Nun dijenguk Jokowi. Kita tak bisa membaca isi hati Jokowi, seperti halnya kita tak bisa membaca hati Cak Nun ketika ia melontarkan sebutan “Firaun” itu. Apakah yang kita lihat adalah realitas yang sesungguhnya? Atau hyper-reality? Adakah simulacrum di sana, di antara keduanya?
Untuk memahaminya ada pintu masuk yang disebut distingsi (distinction). Melalui pintu itu kita bisa melihat posisi keduanya yang memang berbeda. Cak Nun sebagai budayawan, di sisi yang berbeda Jokowi sebagai kepala negara atau negarawan. Keduanya akan “berkoeksistensi” bahkan dengan cara-cara yang tak lazim. Misalnya, yang diserang justru merangkul. Atau yang dirangkul tetap menyerang.
Dari pintu masuk distingsi itu, misalnya, tak ada yang salah ketika, dalam posisinya sebagai budayawan, Cak Nun “memfiraunkan” Jokowi. Sebab, Cak Nun memang dilahirkan sebagai budayawan, dan ia memainkan perannya dengan baik dalam posisi itu. Salah satu tugas budayawan memang sekaligus sebagai “penggoda” dan “penguji” tidak hanya kepada tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin, tapi juga kepada masyarakatnya. Seringkali “godaan” dan “ujian” dari para budayawan ditembakkan dengan cara-cara tak lazim. Itulah kenapa dulu Cak Nun juga pernah dijuluki sebagai “Kiai Mbeling”. Sebab, para kiai dan tokoh-tokoh agama juga tak luput dari serangannya.
Dari pintu masuk distingsi itu pula, kita bisa melihat bagaimana sistem “koeksistensi” bekerja. Semakin sering memperoleh serangan dari “penggoda” dan “penguji”, di seberang yang berbeda, dimensi kemanusiaan seseorang akan diasah. Akan menjadi manusia berkualitas tinggi atau rendah. Tentu, seorang anak yang diasuh oleh macan akan tumbuh berbeda dengan mereka yang diasuh oleh kucing.
Dalam konteks ini, dari kaca mata distingtif, dalam posisinya sebagai kepala negara, dimensi kenegarawanan Jokowi akan terus “digoda” dan “diuji”. Jika tak tahan menghadapi “godaan” dan “ujian” dari sang “penggoda” dan “penguji”, tentu kualitas kenegarawanannya bisa dipertanyakan. Ia bisa tak lolos untuk berada di barisan negarawan. Sebab, seorang negarawan tidak diturunkan dari Kahyangan. Ia tumbuh dari perut bumi di mana ia hidup. Ia juga diasuh oleh getirnya kehidupan itu sendiri.
Dengan demikian, apakah suatu peristiwa merupakan realitas yang sesunguhnya atau hiperrealitas, atau simulakra, menjadi tidak penting lagi. Sebab, semuanya juga telah menjadi bagian dari kehidupan, tempat seseorang menguji diri.