Dari Diskusi Buku Kritik Sastra Poskolonial

Teori kritik sastra poskolonial, ekokritik, dan gastrokritik dianggap sebagai upaya strategis untuk menggeser dominasi pandangan Eropasentris yang selama ini kuat dalam kajian sastra di Tanah Air. Bahkan, teori ekokritik dinilai terasa dekat dengan khazanah lokal Nusantara yang kaya akan mitologi dan kosmologi yang berakar pada kesadaran ekologis.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi buku yang diselenggarakan Komunitas Semaan Puisi di Al-Zastrouw Library dan Adakopi Satulagi Taman Serua, Depok, Jawa Barat, Sabtu (27/9/2025). Acara ini juga melibatkan Karang Taruna RW 08 Taman Serua dan didukung Kementerian Kebudayaan. Acara ini juga merupakan bagian dari rangkaian Semaan Puisi dan Haul Sastrawan hingga akhir Oktober 2025.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Buku yang didiskusikan berjudul Jalan Kritik Sastra: Aplikasi Teori Poskolonial Hingga Ekokritik, karya Yusri Fajar. Pada agenda minggu ketiga yang diikuti puluhan pegiat sastra ini, hadir sebagai pembicara kunci adalah Jamal D Rahman, sastrawan sekaligus Pemimpin Redaksi majalah Horison. Kang Jamal, panggilan akrabnya, mengupas tuntas gagasan-gagasan penting dalam buku tersebut.

Dalam paparannya, Jamal D Rahman menegaskan bahwa buku Yusri Fajar memuat kritik sastra sebagai kritik terapan yang aplikatif, bukan sekadar wacana teoretis. Yusri Fajar, seorang dosen sastra Inggris dari Universitas Brawijaya Malang, dinilai berani menempatkan dirinya di persimpangan intelektual, yakni setia pada kerangka teori global namun berupaya menemukan gema yang hidup dalam teks dan kenyataan sastra tanah air.

Pilihan Yusri Fajar pada teori poskolonial, ekokritik, dan gastrokritik dianggap sebagai upaya strategis untuk menggeser dominasi pandangan Eropasentris yang selama ini kuat dalam kajian sastra di Indonesia.

Teori poskolonial dinilai cepat mendapat sambutan karena relevan dengan pengalaman sejarah Indonesia sebagai bangsa bekas jajahan. Teori ini menawarkan bahasa baru untuk memahami luka dan trauma kolonial, relasi kuasa, dan identitas yang terpecah-pecah dalam sastra Indonesia.

Di sisi lain, ekokritik dianggap terasa dekat dengan khazanah lokal Nusantara yang kaya akan mitologi dan kosmologi yang berakar pada kesadaran ekologis. Melalui ekokritik, sastra Indonesia memperoleh medium untuk menegaskan kembali kearifan lingkungan yang nyaris terlupakan, mempertemukan wacana global dengan ingatan lokal.

Teori kritik poskolonialisme, menurutnya, tumbuh di negara-negara bekas jajahan sebagai bentuk perlawanan intelektual terhadap dominasi budaya kolonial. Sementara itu, ekokritik hadir untuk menggeser cara pandang terhadap alam dalam sastra; alam tidak lagi sekadar latar belakang, melainkan entitas yang memiliki posisi politis dan ideologis setara dengan manusia, bahkan dapat menjadi pusat perhatian dalam teks.Jamal juga menegaskan, pemikiran Yusri Fajar ini menjadi refleksi penting di tengah isu-isu ekologis global yang mendesak.

Selain dua teori tersebut, diskusi juga menyinggung gastrokritik, yaitu konsep yang memandang penting kuliner dalam karya sastra. Gastrokritik, yang lahir dari kajian interdisipliner, bertujuan mengevaluasi, menganalisis, dan melestarikan kekayaan kuliner nusantara melalui karya sastra, sehingga sastra dipahami tidak hanya sebagai teks tertulis, melainkan juga sebagai ruang pelestarian budaya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan