Pagi itu matahari memanjat pelan di atas genting pesantren yang karatnya berkilat seperti sisa doa yang tak selesai. Embun di daun pisang bergetar pelan, memantulkan cahaya ke halaman tempat santri-santri kecil berlarian membawa kitab lusuh. Di antara mereka, Alya berdiri dengan sapu di tangan, sementara matanya menatap ke langit seolah sedang membaca ayat yang tertulis di udara.
“Santri sejati bukan hanya yang hafal kitab,” begitu kata Kiai Ma’shum suatu subuh yang masih berembun. “Tapi yang mampu membaca zaman tanpa kehilangan iman.” Kalimat itu melekat di dada Alya seperti cap air wudhu yang tak pernah kering.

Setiap kali malam turun, dan pesantren tenggelam dalam zikir yang bergetar di udara, Alya membuka laptop pinjaman dari kakak kelasnya. Di pojok gudang yang berdebu, di bawah suara jangkrik dan kilatan lampu petromak, ia merekam video dakwah kecil—tentang sabar, tentang ilmu, tentang cinta yang menuntun manusia menuju Tuhan. Ia menyebut kanalnya “Langit Pesantren”.
Ia tidak pernah berharap terkenal. Hanya ingin agar pesan-pesan kecil dari kitab kuning itu bisa keluar dari dinding bambu, menembus layar kaca, dan menyentuh hati orang-orang yang tak pernah sempat mengaji. Namun, dunia maya tidak selalu ramah bagi kesederhanaan. Ada yang mencibir, “Santri kok main kamera.” Ada pula yang sinis, “Dakwah kok pakai efek cahaya.”
Namun Alya tetap berjalan di antara hujatan dan doa. Ia merasa sedang menjadi jembatan antara dua dunia: kitab dan kabel, surau dan server, doa dan data.
Suatu malam, langkah kakinya disambar suara berat. “Kamu ngapain di sini?” tanya Faris, santri senior yang dikenal keras dan teguh pada tata krama pesantren.
Alya tertegun. “Upload video, Kak. Dakwah.”
“Dakwah? Dakwah itu diamalkan, bukan dipamerkan,” ujarnya dingin. “Ingat, cahaya itu kalau terlalu silau bisa membutakan.”
Keesokan harinya, Kiai Ma’shum memanggil Alya. Wajah beliau teduh seperti langit setelah hujan, tapi matanya menatap jauh menembus waktu. “Anakku,” katanya lembut, “Ilmu tanpa adab seperti pelita tanpa minyak. Terang sesaat, lalu padam.”
Alya menunduk, menahan air mata. Tapi dalam hatinya, ada bara kecil yang menolak padam. Mengapa suara kebenaran harus berbisik, jika dunia kini berteriak?
***
Hari Santri tiba. Pesantren berbenah. Umat berdatangan. Spanduk dipasang, marawis berbunyi, dan aroma nasi kebuli mengepul dari dapur. Alya tak ikut lomba. Ia menyiapkan hadiah lain—video refleksi berjudul “Santri di Ruang Ketiga.”
Video itu bercerita tentang santri yang hidup di antara kitab dan gadget, antara masa lalu dan masa depan, antara keheningan surau dan hiruk pikuk dunia digital. Ia ingin mempersembahkannya pada Hari Santri, agar semua tahu: santri bukan hanya penjaga tradisi, tapi juga penulis masa depan.
Namun malam sebelum hari besar itu, pesantren tiba-tiba gelap. Wi-Fi padam, listrik mati, dan seluruh file videonya hilang. Seolah tangan tak terlihat menyapu bersih segala kerja kerasnya. Ia menangis tanpa suara di pojok kamar, sementara angin menyingkap tirai dan menggigilkan hatinya.
Pagi berikutnya, aula pesantren penuh santri. Kiai Ma’shum berdiri di panggung kecil. “Hari ini,” katanya, “Kita saksikan karya dakwah terbaik dari santri kita.”
Alya menatap layar proyektor. Lalu ia terdiam. Judulnya: Santri di Ruang Ketiga — Karya Faris bin Hasan.
Itu videonya. Suaranya, tulisannya, puisinya. Tapi namanya dihapus. Aula bergemuruh tepuk tangan, dan Kiai tersenyum penuh bangga. Alya hanya memandang lantai, menahan air mata yang pahit.
Malamnya, ia mendatangi Faris. “Kamu mencuri videoku,” katanya dengan suara gemetar.
Faris menatap lama. “Aku menyelamatkannya. Kau tak tahu, pesantren hampir ditutup. Aku kirim videomu ke Kiai agar pesantren terlihat hidup. Dan lihat, berkat itu, pesantren kini punya donatur, kitab baru, dan nama kita harum.”
Alya tak bisa menjawab. Di antara rasa kecewa dan haru, ia sadar bahwa dakwahnya telah berubah arah—tanpa dirinya pun, pesannya telah berjalan. Tapi tetap, ada luka yang tak mudah dijelaskan oleh logika iman.
***
Hari-hari berlalu. Alya berhenti membuat video. Ia memilih menulis catatan kecil di buku bersampul lusuh. Di halaman pertama ia menulis: “Ruang ketiga adalah tempat di mana doa berjumpa dengan suara.”
Suatu sore, Kiai memanggilnya lagi. “Alya,” katanya lembut, “tahukah kau siapa yang pertama memasang Wi-Fi di pesantren ini?”
Alya terdiam. “Faris?”
Kiai tersenyum samar. “Aku.”
Ia menatap langit-langit musala, lalu berkata pelan, “Aku ingin tahu, siapa santri pertama yang berani menggunakannya untuk dakwah. Dan ternyata, itu kamu.”
Air mata Alya jatuh. “Tapi, Yai… saya gagal menjaga niat itu.”
Kiai tersenyum, “Kadang, kegagalan justru cara Allah menyingkapkan makna ikhlas. Kau bukan kehilangan video, Alya. Kau sedang disucikan dari pujian.”
Malam turun. Pesantren kembali tenang. Di bawah sinar bulan, Alya membuka laptopnya sekali lagi. Layar menyala pelan, dan di situ muncul folder baru “Langit Pesantren-03.”
Ia membuka. Di dalamnya, hanya ada satu file video tanpa nama. Ia klik. Suara lembut mengalun: “Santri bukan tentang tempat kau menunduk, tapi tentang bagaimana kau menegakkan cahaya.”
Alya tertegun. Ia tak pernah merekam suara itu. Tapi suaranya terdengar seperti perpaduan antara dirinya, Faris, dan… suara Kiai.
Sejak malam itu, tak ada yang tahu siapa yang mengunggah video “Santri di Ruang Ketiga” yang muncul lagi di dunia maya—tanpa nama, tanpa wajah, hanya suara dan cahaya. Tapi setiap kali Hari Santri tiba, video itu kembali muncul, entah dari mana, dan ribuan orang merasa disentuh olehnya.
Beberapa santri bersumpah melihat bayangan berjubah putih di ruang gudang malam itu—meninggalkan aroma kayu cendana yang lembut. Alya hanya tersenyum. Ia tahu, sebagian rahasia pesantren memang tidak ditulis di kitab, tapi di langit.
Dan di halaman terakhir bukunya, ia menulis satu kalimat:
“Jika doa adalah cahaya, maka santri adalah lentera yang berjalan di antara dua dunia—dunia ilmu, dan dunia yang mencari makna ilmu itu.”