Mulanya aku menyangka, kalau Bapak tak mampu menerima takdir Lah Ta’ala. Saban kali kemarau panjang bertandang, di mana desau anginnya menghamburkan tembakau yang tengah dijemur, ia selalu mengulangi cerita yang sama.
Aku sampai hafal betul tabiatnya. Biasanya, ia akan memulai cerita ketika mengajakku istirahat memungut tembakau yang tengah dijemur. Tapi, petang ini, Bapak bukan sekadar bercerita. Ada mata air yang turun dari kedua anak sungai, namun ia tetap berusaha tersenyum seraya menoleh kepadaku.
“Lelaki boleh menangis, kan, Lung?”
Ah, Bapak. Tentu saja aku mengangguk. Sebab air mata tak pernah membedakan jenis kelamin. Aku kira, cerita yang Bapak tuturkan itu perlu kusampaikan padamu mengingat keadaan di padukuhan makin genting. Jadi, biarkan aku mengantarmu menuju tokoh “aku” yang lain berdasarkan cerita Bapak.
***
Usiaku baru sebelas tahun waktu itu. Suara gendang saling bersahutan dengan suara sinden yang melengking. Makin malam, tetabuhan gendang makin kencang. Aku bersama Fajri tak bisa tidur. Mata kami berbinar, sementara telinga kami seolah makin melebar mendapati dentam gendang yang kian menggema.
Aku sangat yakin, Cak Wan tengah menepi di sudut lapangan di mana sinar rembulan leluasa menelusup ke arah kedua bola matanya. Lalu tak lama kemudian, tokoh utama lakon Jaranan itu bakal dicambuk bertubi-tubi oleh sang pawang.
“Ayo, kabur, Tam!” ajak Fajri.
Aku tak serta merta setuju. Memang kawan yang lain tengah lelap, tapi kalau ketahuan Ustaz Mahmud, risikonya amat menyakitkan. Guru ngajiku itu bukan sekadar keras dalam membetulkan lafal bacaan ayat suci, tapi juga galak saat mengetahui santri kalongnya menonton Jaranan.
“Tak usah takut,” ucap Fajri lagi. “Kamu ingat, tidak, saat mau salat Isya tadi, aku izin ke sumur buat wudhu, kan?”
Aku mengangguk-angguk penasaran mendengar penuturan kawan karibku ini.
“Nah, sepulang dari sumur itu, aku sengaja melepas klontong sapi di pintu,” katanya tanpa merasa bersalah.