KH Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama berkebangsaan Indonesia yang menganut paham Ahlussunah wal Jamaah. KH Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim juga merupakan pahlawan nasional yang sejarahnya juga masuk dalam kurikulum pendidikan umum. Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini juga diberi gelar Hadratussyeikh, lantaran sudah menghafal kitabus sittah. Mbah Hasyim juga disebut Syaikhul Masyayikh karena menjadi gurunya para guru. Keberadaan NU juga tidak bisa dilepaskan dengan namanya.
Sebagai ulama terkemuka, Mbah Hasyim juga banyak meninggalkan kitab karangannya yang terus dikaji banyak santri di Indonesia hingga kini. Salah satunya adalah kitab Dhau al Mishbah fi Bayani Ahkami An-Nikahi.
Dhau al Mishbah Fi Bayani Ahkami An-Nikah merupakan kitab karangan KH Hasyim Asy.ari yang tidak seperti kebanyakan genre karangannya, fikih. Berbeda dengan kitab ini yang merupakan ringkasan terkait pernikahan. Ulama yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren ini mengarang kitab dengan jumlah halaman 21 yang mana dapat ditemukan di Maktabah Tsuraya Jombang yang merupakan pesantren yang diasuhnya dahulu.
Di dalam pengantarnya, Mbah Hasyim mengungkapkan bahwa kitab ini ditulis sebab banyaknya santri yang secara usia telah matang untuk mengarungi bahtera rumah tangga, namun belum mengetahui rukun, syarat, serta adab menikah. Sehingga perlu dibuatkan panduan sebelum menikah dengan suatu karya, yakni kitab Dhau al Mishbah.
Hadratussyeikh begitu pedulinya terhadap santri agar mempermudah dalam mengkaji kitab ini. Kitab ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni bab awal, bab kedua, dan penutup yang berisi hak istri dan hak suami. Dengan pembagian ini, memudahkan santri ketika mengaji kitab ini sehingga sudah terfokus pada satu bahasan pokok.
Dengan struktur tersebut, kitab ini mudah menjadi untuk dipahami dan dicerna. Pembahasannya fokus pada satu poin serta menyebutkan pendapat dari beberapa tokoh yang relevan. Hal ini menunjukkan bahwa kitab ini memiliki nilai sendiri di mata santri, sebab menggabungkan beberapa pandangan dalam satu pokok bahasan. Hal ini makin memperkuat data atau teori sehingga tidak gampang untuk dipatahkan isinya. Selain itu juga menunjukkan kerendahan hati Mbah Hasyim untuk mengajak santri melihat beberapa pandangan ulama lain dalam menentukan suatu putusan.