Padahal sore tengah indah seindah indahnya; udara sejuk sesejuk sejuknya, karena hujan yang turun siang tadi telah berhenti, menyisakan kerling basah dedaunan di pekarangan depan rumah sampean tersapu pendar cahaya matahari. Akan tetapi, semua ini tidak menjadikan kemurungan di wajah sampean terkurangi. Benak sampean sedang mumet memikirkan persoalan yang tak kunjung teratasi. Entah mengapa, sekonyong-konyong sampean merindukan saat sampean belum seumur kini. Saat belasan tahun —saat di mana sampean rasanya bisa bahagia hanya dengan dolan tanpa tujuan ke sana ke mari. Atau dengan seorang teman mengobrolkan hal-hal yang sepertinya tidak penting sama sekali.
Tidak lama kemudian, pandangan sampean menangkap gerak seseorang keluar lewat pintu lalu mendekat ke tempat duduk sampean di risban pojok kanan teras rumah sampean. Yang cukup menjadikan sampean tercengang, itu adalah sosok yang sedang sampean rindukan. Sementara benak sampean bertanya-tanya bagaimana bisa seperti ini, sosok itu duduk tepat di sebelah sampean. Kemudian, tanpa sampean tanya, sekonyong-konyong ia mencurahkan apa yang sedang ia rasakan. Bahwa ia tengah gundah gulana, karena seseorang menjadikan cintanya bertepuk sebelah tangan; bahwa ia sekonyong-konyong merindukan saat ia masih bocah yang, menurutnya, hidup seakan tanpa beban. Rampung itu dengan penuh penghayatan ia menembangkan lagu sarat kesedihan.
Tidak lama kemudian, sampean dan sampean yang remaja itu sama-sama menoleh ke arah pintu yang sekonyong-konyong terbuka. Tidak sampean sangka, dengan gerak lincah tampaklah seorang bocah yang dirindukan oleh sampean yang remaja —berjalan menyangking mainannya. Sementara sampean lagi-lagi —dan tambah— terpana, sampean yang remaja menghentikan sampean yang belia itu dengan melempar tanya, “Mau pergi ke mana?” Sembari menghentikan langkah, sampean yang belia berpaling ke asal suara, lalu menyatakan bahwa ia akan bermain di pekarangan rumah —di bawah kerindangan pohon-pohon itu— sembari menunggu teman-temannya datang untuk kemudian bermain bersama.
Beberapa saat tadi, sembari menanti jawaban sampean yang belia, sampean yang remaja berjalan menghampirinya. Kini sampean yang remaja itu berada di hadapannya dan memintanya dengan menyatakan, “Sambil menunggu teman-temanmu datang, bagaimana kalau kita bermain bersama?” Tanpa menunggu lama sampean yang belia itu mengangguk setuju dengan wajah ceria. Kemudian ia duduk nglemprak di lantai teras bersiap menggelar mainannya. Sementara sampean yang remaja duduk mengikutinya.