“Mas…,” istri Kang Sules memanggil.
“Iya, ada apa, dik?” jawab Kang Sules dengan mesra.
“Besok pagi bisa antar aku ke pasar?” tanya Sulastri.
“Bisa, dik. Berangkat jam enam pagi ya, sebab jam setengah delapan mas harus ngantor,” Kang Sules menyanggupi permintaan istrinya.
Esok paginya, Kang Sules agak terlambat bangun pagi. Subuh jam lima lebih, segera ia bangun dan bergegas mengeluarkan sepeda motor tua kesayangan dan memang menjadi satu-satunya kendaraan di rumah tangga ini. Sulastri yang sedari tadi menunggu, tampak memoncongkan bibirnya sepuluh senti. Telah siap berdandan menunggu di ruang tamu.
“Mas… Mas niat apa tidak sih mengantar pergi ke pasar? Kalau memang tidak ikhlas, ya bilang saja…,” Sulastri meluapkan emosinya.
“Sabar to, dik. Maaf, Kang Sules tadi malam habis jaga di pos kamling. Jadi, ngantuknya tidak bisa ditahan,” Kang Sules berusaha meredam emosi istrinya.
“Halah! Memang tidak niat. Sudah tahu besok pagi mau ngantar istri ke pasar, eh malah enak-enakan jagongan sama temannya.”
“Sudah to dik… sudah. Ini mas sudah terburu-buru. Pagi-pagi jangan diawali dengan kemarahan,” lebih rendah lagi Kang Sules menjawab sambil mengeluarkan motornya.
“Kenapa lagi? Ada apa lagi? Kok masuk lagi?” tanya Sulastri melihat suaminya masuk rumah lagi setelah mengeluarkan motornya.
“Kunci motor, dik. Kamu tahu di mana?”
“Aduh, mas… mas. Memang kamu tidak niat ngantar! Kok ya tidak dipersiapkan sebelumnya.”
Mereka berdua akhirnya kembali ke dalam rumah untuk mencari kunci motor. Kunci motor, kunci lemari, kunci password, kunci jawaban, entah apa pun yang berkaitan dengan “kunci” sering menjadi barang yang selalu dicari ketika dibutuhkan.
“Sudah ketemu dik. Ini di saku jaket mas ternyata,” teriak Kang Sules lega.
Pagi ini mungkin bukan pagi yang indah. Berkali-kali Kang Sules menghidupkan motornya, namun tidak juga mau hidup.
“Apa lagi? Ayo mas, ini sudah setengah tujuh!” Sulastri menambah maju bibirnya menjadi lima senti dari sebelumnya.
“Nggak tahu dik. Kenapa ini motor. Sebentar aku periksa.”
Kang Sules segera membuka tutup tanki, bensinya masih ada. Kabel busi dicopot, kemudian didekatkan pada besi mesin, tampak tidak ada setrumnya. Kang Sules mendesah.
“Maaf dik, motor Kang Sules rusak. Ini setrumnya tidak ada.”
“Lalu? Mas… mas… Keasikan nongkrong di pos kamling ya gitu itu. Tidak dipersiapkan semuanya. Giliran istri butuh bantuan ada saja alasannya!” Sulastri tambah geram.
“Sebentar, dik. Mas ke tetangga sebelah pinjam motor untuk ngantar ke pasar.”
Pagi yang benar-benar diawali dengan buruk, pikir Kang Sules. Semoga tidak berpengaruh pada jam-jam selanjutnya untuk hari ini. Kira-kira begitu doa Kang Sules pada Allah.
Pagi itu Kang Sules terlambat datang di kantor kelurahan, karena pulang dari pasar sudah jam delapan. Kemarahan Sulastri masih melekat. Hingga satu hari, suasana rumah menjadi kurang tenang. Kang Sules mencoba bersabar.
“Mas, besok antar lagi aku ke pasar. Mau beli bumbu untuk selamatan seribu hari ibuku,” pinta Sulastri seminggu kemudian.
“Assiyyaaappp…dik Sulastri yang manis. Kang Mas Arjunamu ini siap mengantarmu kapan saja, ke mana saja…,” kelakar Kang Sules.
“Halah gombal mukiyo. Awas kalau terjadi seperti kemarin. Ada saja alasanmu, mas.”
“Tenang, dik. Santuuyy… mas sudah menyiapkan kunci sepeda motornya. Sengaja tidak dicabut dari stir. Bensin full, setrum ada, ban-ban dalam kondisi baik,” jawab Kang Sules untuk menenangkan hati isrtri tercintanya.
“Ya sudah kalau begitu. Jangan tidur malam-malam supaya tidak telat bangun besok. Jangan lupa juga, ini malam Jumat lo mas…,” senyum manja Sulastri memberi kode rahasia.
“Siap boskuh…,” Kang Sules sumringah memahami kode sang istri. Malam Jumat, hawa dingin, hujan gerimis, lampu PLN mati karena pemadaman listrik, memang beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat, dan itu tidak tertulis dalam buku pelajaran Geografi.
Paginya, Kang Sules mengantar Sulastri ke pasar sesuai rencana. Semua berjalan mulus, sesuai harapan.
“Mas, ayo ikut belanja ke pasar. Bawaanku nanti pasti berat, soalnya banyak yang aku cari,” pinta Sulastri selesai Kang Sules memarkir sepeda motornya.
“Baik. Ayo lekas bergegas, dik. Ini sudah setengah tujuh. Setengah delapan mas harus sudah sampai di kantor.”
“Jangan memulai, mas. Baru minta tolong saja sudah mulai mengeluh,” nada suara Sulastri berbeda dengan tadi malam. Waduh, pertanda apa lagi ini. Kang Sules berdoa semoga hari ini bisa “terselamatkan”.
Benar saja. Di dalam pasar Sulastri banyak berbelanja. Mondar-mandir ke lapak penjual, entah apa lagi yang dicari. Selisih lima ratus perak saja, sampai berdebat. Tidak jadi beli, memilih pergi ke lapak lain. Memang, setiap istri sudah memunyai ilmu manajemen secara alami.
“Dik, ini sudah jam tujuh lebih sepuluh. Mas harus segera ngantor nih…,” bisik Kang Sules kepada istrinya.
“Mbok ya sabar sebentar, sampeyan ngantornya tiap hari, ngantar aku seminggu sekali nggak mesti saja sudah sambat,”nyinyir Sulastri.
“Dik, bukannya mas nggak mau ngantar. Tapi jam kantor memang diatur begitu. Mas cuma bawahan.”
“Halah! Alasaaann terusss… mbok sekali-kali nyenengin istri. Kerja terus yang dipikirkan.”
Suasana awal keberangkatan baik-baik saja, ketika di tengah “perjalanan” suasana berubah menjadi perdebatan panjang.
“Dik Lastri… Aku berangkat ngantor dulu ya….”
Rupanya Sulastri masih memendam kemarahan dengan tidak menjawab Kang Sules yang ingin berpamitan.
Kang Sules mengulangi, “Dik… Mas berangkat ngantor dulu ya. Assalamualaikum….”
Sulastri menjawab dengan malas, “Waalaikumsalam… Duh senangnya yang mau ngantor, ketemu dengan teman-temannya, bisa guyon, ngopi, cangkrukan. Sementara kau biarkan aku di sini sibuk sendiri ngururis selamatan,” api kecil mulai disulut hari ini.
“Dik, bukannya begitu. Tapi ini saja sudah terlambat. Harusnya mas yang marah….”
“Lo, mau marah, silakan….”
Kang Sules tidak mampu lagi menahannya, “Dik, tahan emosimu! Aku ingin pagi ini diawali dengan baik, karena pagi yang baik bisa memengaruhi waktu-waktu selanjutnya!”
“Mas yang ingin menang sendiri! Egois. Ngeluh saja kalau istrinya minta dilayani. Dulu di akad bilangnya mau membahagiakan. Kenyataannya… zonk!”
“Baik… jika ini menyangkut materi untuk kebahagiaan, aku memang salah. Pekerjaanku hanya pegawai kantor kelurahan, gaji kecil, tidak bisa membelikanmu barang-barang mahal.”
“Loh, memangnya aku protes ketika mas nyerahin amplop gajian? TIdak pernah mas. Tetap aku terima. Bukan itu masalahnya.”
“Lalu apa?!” teriak Sules lebih keras karena sudah di luar sambil memegang sepeda motornya.
“Pikir saja sendiri. Suami kok tidak peka! Benar, kan, mas memang egois! Lebih mementingkan teman dan kerjaan. Huh!” sambil mendengus kesal, Sulastri menghantamkan wajan dengan keras di atas kompor.
Sesampai di kantor kelurahan, Kang Sules yang datang terlambat dimarahi oleh Pak Lurah. Karena dianggap tidak berdedikasi dan indisipliner. Kang Sules tak berdaya. Bagaimana tidak? Seorang istri ternyata mempunyai kekuasaan atas suaminya melebihi kekuasaan yang dimiliki atasan, presiden, negara sekalipun. Kang Sules menyesal? Tidak, bahwa hidup haruslah berjalan terus. Manusia harus maju, ke depan, berkembang biak layaknya ciri-ciri makhluk hidup dalam ilmu biologi. Dengan beristri, seorang bujang akan mengikat dan terikat, untuk keteraturan. Layaknya agama bagi pemeluknya, undang-undang bagi rakyat, atau sebuah tata tertib sepele tentang visi misi ormas, yang jika melanggar ketentuan negara, maka siap-siap saja dibubarkan.
Kang Sules berniat untuk memperbaiki. Entah ada apa dengan momen mengantar ke pasar. Selalu saja berakhir dengan kericuhan. Tidak direncanakan, berakhir dengan keributan. Awal yang sudah baik, di tengah pelaksanaan, masih juga terjadi perselisihan. Kang Sules kali ini akan berhati-hati, demi sang garwa, sigaring nyawa, pendamping hidupnya.
“Dik Sulastri, besok mas antar pergi ke pasar lagi ya,” rajuk Kang Sules.
“Nggak wes. Sulastri mau numpang Yu Ning saja. Nanti kita ribut lagi,” jawab Sulastri ketus.
“Insyaallah tidak kok. Mumpung besok mas libur. Jadi, free, bisa menemani dik Sulastri berlama-lama di pasar.”
“Baiklah kalau begitu, tapi janji jangan ngacau lagi lo ya.”
“Dijamin, tapi dengan syarat,” Kang Sules mencoba bersuara mesra.
“Halah! Kok pakai syarat, memangnya undian berhadiah yang pajaknya ditanggung pemenang. Apa syaratnya?”
“Ritual malam Jumat-nya dimajukan malam nanti ya,” mereka berdua pun terkekeh. Kang Sules yakin, kutukan mengantar ke pasar akan segera berakhir.
Semua sudah siap. Kunci, bensin, dan keadaan sepeda motor sudah siap. Waktu juga tidak dapat memburu, karena hari ini Kang Sules libur. Bismillah. Kang Sules pun mengantar Sulastri pergi ke pasar.
Setelah Sulastri puas berbelanja keperluan sehari-hari di pasar, Kang Sules diajakanya pulang. Lancar, tanpa ada hambatan, kericuhan, atau perdebatan. Kang Sules lega.
“Dik, mumpung liburan, ayo kita cari makan di warung,” ajak Kang Sules yang sedang membonceng.
Sulastri mengangguk tersenyum, “Tumben nih, Kang. Ayo, ke mana?”
“Dik Sulastri ingin makan apa?”
“Terserah mas. Aku tak manut saja.”
“Pagi-pagi enaknya makan bubur, paling ya di?”
“Nggak mau ah. Bubur? Kok seperti orang sakit saja. Yang lain mas.”
“Lah, dik Sulastri ingin apa?”
“Terserah, tak manut mas Sules saja.”
“Ya sudah, bagaimana kalau bakso nanti minumnya es teh, seger banget pastinya. Gimana dik?”
“Bakso??? Ini masih pagi mas. Ya makan nasi to. Kita ini orang Jawa, nggak bisa kalau tidak makan nasi. Bakso cocoknya sore atau malam.”
“Dik Sulastri ingin makan apa to sebenarnya?” Kang Sules agak jengkel.
“Terserah mas!! Kok tanya aku, yang ngajak kan situ, bukan aku. Jadi wong mbok ya yang solutip…,” nada Sulastri mulai tidak lembut lagi.
Dengan menahan sabar, Kang Sules membelokkan sepeda motornya ke warung pecel langganannya. Masih saja salah. Sulastri enggan makan. Di makannya sedikit, tidak dihabiskan, masih bersisa banyak. Kang Sules menggerutu sampai di rumah.
“Dik, kamu itu mbok ya menghargai suami sedikit. Sudah berusaha aku untuk menyenangkan kamu. Tapi masih saja salah.”
Sulastri dengan sedikit mendelik marah membalas, “Mas, bilang saja kalau nggak ikhlas. Berbuat kebaikan sama istri sendiri kok diungkit-ungkit.”
“Aku ikhlas, dik, ikhlas. Tapi, mengapa kok sepertinya ada saja yang kurang dari setiap yang aku lakukan.”
“Mas… mas… Kok bisa kamu bilang begitu? Ya sudah, ini terakhir kali aku memintamu mengantar ke pasar. Sudah urusi saja kerjaan sama teman-temanmu.”
Kang Sules menyerah. Keributan kecil biduknya berpengaruh kepada pekerjaannya. Wajahnya muram. Senyum dan tawanya tampak dipaksakan, ketika teman-teman kerjanya bercanda. Pak Lurah datang menegur.
“Pak Sules, silakan ke ruangan saya sebentar ya.”
“Ehh, iya, iya pak,” Kang Sules terbata menjawab, karena masih larut dalam lamunannya.
“Tutup pintunya ya pak,” Pak lurah meminta Kang Sules ketika sudah berada di ruangannya.
Pak lurah pun mulai mengintrogasi, “Ada apa Pak Sules? Kok tampaknya kurang senang hari ini?”
Kang Sules kaget. Ia ingin menutupi perihal rumah tangganya. Namun, karena berpengaruh kepada kinerja, akhirnya Kang Sules membuka dan menceritakan tentang permasalahan “mengantar ke pasar”.
Pak Lurah mengangguk. “Pak Sules, sekarang begini. Jawab saja pertanyaan saya. Pak Sules apakah masih mencintai istrinya?”
“Tentu saja masih, pak.”
“Baiklah. Pak Sules jam berapa berangkat kerja dan pulangnya jam berapa?”
“Sampai di kantor setengah delapan, pulang jam setengah tiga, pak.”
“Setelah pulang, biasanya Pak Sules apa yang dikerjakan?”
“Makan, istirahat sebentar, lalu pergi ke sawah atau ngarit Pak, sampai menjelang maghrib.”
“Itulah pak. Istri kita adalah anugerah. Kita pulang, istri kurang dapat perhatian. Kita pulang membawa capek. Sementara istri ingin diperhatikan. Berapa jam waktu yang kita sisihkan untuk istri selama sehari? Paling setelah maghrib, isya, jam sembilan atau sepuluh kita sudah tidur.”
Kang Sules diam, mengiyakan.
“Masalah marah ya memang itu bagian dari kehidupan rumah tangga. Lah wong Umar bin Khattab saja pernah dimarahi sama istri, apalagi kita yang cuma umat paling jelata.”
“Jadi, saya harus bagaimana Pak? Terutama tentang mengantar ke pasar. Trauma saya Pak Lurah….”
“Ha-ha-ha-ha. Anggap saja ini perbandingan. Istri Pak Sules, juga istri saya, adalah manajer keuangan paling andal. Bagaimana tidak? Mencari itu lebih mudah daripada menata. Istri Pak Sules pasti bisa menata keuangan berapapun gaji suami. Hebatnya lagi, istri-istri kita pasti punya simpanan keuangan. Bisa menyisihkan untuk ditabung, jaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Betul, kan?”
“Ehhmm iya Pak.” Kang Sules teringat wajah Sulastri, cinta sekaligus kagum.
“Istri-istri kita sudah banyak berkorban. Ketika kita bekerja, istri kita sibuk mencuci, setrika, momong anak, bersih-bersih rumah. Kita tahunya asal beres saja! Apalagi kalau ada yasinan atau tahlilan. Istri kita sudah berlelah-lelah dua hari sebelumnya. Masak, menyiapkan ubo rampe, sampai selesaipun harus cuci piring dan perabotan. Sementara para suami, paling banter hanya nggulung tikar.”
Tiba-tiba wajah Sulastri begitu tampak lekat di mata Kang Sules. Ia rindu serindu-rindunya.
“Terakhir, Pak Sules. Istri kita begitu setia. Mulai membuka mata ketika bangun tidur sampai menjelang mapan berusaha untuk tidak lelah. Mereka rela menyediakan diri sebagai anak dari mertua, orang tua kandungnya sendiri, menjadi istri untuk suaminya, juga menjadi ibu untuk anak-anaknya….”
Kang Sules menunduk. Dik Sulastri saat ini pasti sedang menjalankan perannya sendiri. Kang Sules tidak peduli, istrinya adalah amanah yang harus dijaga dengan baik. Ia adalah tulang rusuk. Konflik pasti terjadi, biarlah terjadi. Hadapi saja. Yang penting sayang dan keharmonisan rumah tangganya tetap utuh. Ah, dik Sulastri, I Love you full…