DIMENSI KEDUA

247 kali dibaca

ENTITAS DIMENSI KEDUA 

Halaman Rumah/

Advertisements

setelah tiba, angin menggigil menahan sepah melodrama kota

seberapa kali aku menelusup pada rerintihan sederhana itu

Kembangsoka, akurat saja aku mematungi surga kecil-kecilan, tumbuh

menimbuni pekatan masa lalu dan kepatahan masa depan

karena itu, aku katakan yang mesti berujung adalah

kepahitan syukur di pundak ibu;

opor ayam yang dibumbui keningnya halau gundah

dan rujak dengan nasi jagung menguning tubuhnya tambah benderang

dan pelik kesadaran di pergelangan tanganmu ayah

apalagi, rumahmu disini, surgamu disini nak!

pulanglah aku di sini, sejenak saja

sepah itu kan kusirnai lewat senjata doaku

_untukmu hingga kelak kematian.

Di Perantauan/

aku karam, iya

aku tumbuh, iya. bayangan itu lagi-lagi mencambuknya menjelma dimensi.

pada akhirnya semua kepala memotret,

bagian-bagian dengan mempawah hulu masing

ingat senjata itu dari bibir keringmu, meletuslah ingatan jernihku

_kemudian mengajarkan jarak sebagai kesimpulan yang tak pernah terangkum

bahwa di sini sebagai dimensi pengembaraan setelah halaman ayu menempel

maka aku peluk jelajah; terbentang hadiah tuhan maha luas

_karena terkadang kita lupa sepahan itu hanya bisa dilahirkan namun tiada berujung, tidak.

dimensi ini

_kekal.

ternyata diriku bukan asing lagi dari semacam biri-biri buah syak. kini Kembangsoka dan tanah itu juga berubah pelukan serupa seri wajah ibu, sampai kini menyadari bahwa jeda tak selama jarak jauh dan menyedihkan. akan selalu ada di hati antara keduanya. semisal rindu terhunus, satu-satu kan tetap menjelma jadi penawar.

wahai embusan angin, sampaikan deruku kuingin berseru. kini jalanku tetap terjal teramat jauh bersamudra, kupanggul cinta yang manis semanis madu dan peluhku adalah lukisan bunga dari sesosok ibu; nikmat dan teduh sekali rasanya _ karena pengembaraan dan apapun itu adalah hiruk-pikuk sesungguhnya namun siaga terhalang luka dan sia.

Annuqayah, 20 Maret 2024.

TERKENANG SAMPAI KINI, WAHAI PAMAN RUS

I/

yang tiga saudara
memikul gempa di dadanya
sebagai mistik langka
rupanya berubah luka bukan insomnia

II/

apalagi yang tak ditanggung
sejak tubuhmu enak di sangker
anakmu, hafidz adalah kasturi namamu di surga
juga mimpinya diuji
darimu

III/

saat gundukan itu,
perut bunting, leher bersorban samper
kau membenturkannya
dikiranya mengecil tinggal sebiji
cucuran darah mendahului
seperti sungai-laut panjang di sela rambutmu

tetapi alif apalagi
sebagai senjata?
hanya Al-Mulk peganganmu

IV/

aku mesti rindu padamu
melalui panjang cerita tentangmu
pada kita yang susah berkata petuah
pada kita yang tiada tongkuna
semua menjelma palsu
harus pelan sepelan satu, satu.

V/

mati tetap mati
yang rompal dari merelakanmu
adalah sisa yang finish mengamini
diri dari jejaknya
juga kalimat samudra yang
belum kita tuangkan dalam baris puisi , sampai kini terkenang.

Delima, 2024.

PESAN DARI USIA

akan kujala pesan moral nabi
yang termaktub sayap-sayap puja dan jagat
di ambang padam yang bisu leluhur
“sebentar lagi tiba” katamu
“iya fahim” kepalanku luluh lantak tapi
ibu telah menjamuinya seluruh angka
menjamin nada-nada kuhafalkan sebelum nyala
sebelum juga memakiku di jalan angan mereka
aku tahu langkah ini seharusnya
tapi bagaimana aku melukai lisannya
yang berdikari “dirimu tak bertepi”

lantaran dirimu adalah tangan-tangan
tumbuh dari cerita dan
dukamu seperti mengentak labirin ilahi
sedikit demi sedikit kujala lagi
meraupi sekujur,
: lisanmu
membahana kening-kening.

2021/2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan