Doa Seorang Penjudi

107 views

Penjudi itu telah pulang! Seseorang melihatnya turun dari angkutan umum di pertigaan desa, berjenggot dan bercelana panjang cingkrang. Beberapa pemuda dan lelaki dewasa telah berkumpul di gapura dusun, bersiap menghadang penjudi itu agar tidak memasuki Dusun Kamulyan.

Hendra Budiman mengetahui kepulangan penjudi itu dari Rahman, kepala dusun yang masih muda, pada Minggu pagi, ketika dirinya sedang berkutat dengan laptop menyelesaikan tulisan untuk blog pribadinya.

Advertisements

“Cepatlah, orang-orang sudah berkumpul di gapura dusun,” kata Rahman.

“Untuk apa aku ke sana?”

“Ikut saja. Mungkin kehadiranmu sangat penting!”

Tanpa sempat mematikan laptop, belum juga mandi dan sarapan, Hendra berjalan gegas mengikuti langkah Rahman menuju gapura dusun. Itu pintu masuk ke Dusun Kamulyan. Ramai orang di sana dengan wajah tegang memandang jauh ke utara, menantikan seseorang.

“Seharusnya Nasib sudah sampai gapura,” kata seorang warga.

Jarak pertigaan desa dengan gapura dusun sekitar lima ratus meter. Dengan jalan kaki beberapa menit, memang, seharusnya orang yang mereka nantikan sudah muncul. Mereka yakin, tak ada tukang ojek atau orang yang mau menawarkan tumpangan pada si penjudi itu, meski dibayar dengan segepok uang sekalipun.

“Jangan biarkan dia masuk ke dusun kita!”

“Jangan sampai dusun kita rusak dengan kepulangannya!”

“Dia tidak punya keluarga lagi di sini! Untuk apa dia pulang? Usir dia!”

“Ya, usir dia! Usir dia!”

Orang-orang berteriak, berseru, mengepalkan tangan ke atas. Tetapi, yang diadang belum juga muncul. Lalu, datanglah seorang warga, tergopoh-gopoh langkahnya.

“Nasib di musala! Nasib di musala!”

“Bagaimana bisa?” sahut Rahman.

Orang-orang saling berpandangan, menduga-duga.

“Mungkin dia lewat sawahnya.”

“Sawahnya yang mana? Itu bukan sawahnya lagi!”

“Mungkin dia kangen sawahnya. Dulu dia suka bakar ikan di gubuk di sawahnya, kalau menang rolet.”

Orang-orang tentu masih ingat bahwa sawah dekat pertigaan desa itu bukan milik keluarga si penjudi lagi. Sang ayah telah menjual sawah itu ketika si penjudi masuk rumah sakit karena luka tusuk di perut.

“Bagaimana caranya, itu tidak penting. Yang jelas Nasib ada di musala!”

“Ayo, ke sana! Kita geruduk dia!”

“Tunggu!” seru Rahman, berdiri di hadapan mereka. “Biar saya dan Hendra yang ke sana.”

Hendra menurut saja ketika Rahman menarik tangannya, meski ia belum paham mengapa kehadirannya bisa sangat penting. Jarak dari gapura dusun ke musala tidak begitu jauh, cukup waktu bagi Hendra untuk mengenang siapa si penjudi itu.

***

Persahabatan Hendra Budiman dan Nasib Subono bermula sejak SD. Mereka senang bertualang, berjalan kaki hingga jauh ke kampung lain. Suatu kali Nasib mengajak Hendra ke kuburan Tionghoa atau Bong Cina di selatan desa, menonton judi rolet. Mula-mula hanya menonton, lama-lama Nasib ikut pasang taruhan.

Sesekali Nasib menang, lalu mentraktir Hendra makan sate kambing atau bakar ikan di gubuk di sawahnya. Tetapi Nasib lebih sering kalah, lalu meminjam uang pada Hendra. Nasib bilang pinjam, tetapi tak pernah mengembalikannya.

Entahlah, Hendra begitu saja meluluskan permintaan Nasib. Sering uang saku Hendra habis dipinjam Nasib untuk main rolet. Pada ayah, Hendra mengatakan uang sakunya habis untuk jajan ini itu. Sejauh itu, sang ayah percaya.

Sampai Hendra masuk SMA dan Nasib masuk SMK, kegilaannya pada rolet belum hilang. Malah tambah berani. Taruhannya makin besar. Masih pula sering minta uang pada Hendra yang selalu tak tega menolak. Kata Nasib, hanya Hendralah yang masih mau bersahabat dengannya. Bagi orang lain, Nasib adalah bencana.

Setiap Nasib muncul, maka pemuda yang berkumpul di pos ronda segera bubar. Mereka enggan terlibat masalah bila dekat Nasib. Itu memang benar. Nasib itu seperti kerbau di kubangan, siapa yang mendekat akan terpercik lumpur.

Orang-orang dari luar kampung kerap datang ke dusun itu, mencari Nasib. Kata mereka, Nasib punya utang saat kalah main rolet. Mereka hendak menagih, karena Nasib tak pernah muncul lagi di Bong Cina. Ketika Nasib tidak mereka temukan, mereka merusak pos ronda, melempari kaca rumah-rumah warga dengan batu. Terpaksa sang ayah mengganti kerugian pada warga.

Suatu kali ketika awal kelas 3 SMK, Nasib dikeluarkan dari sekolah, karena terciduk polisi bersama penjudi rolet lainnya, di hutan pinus. Ayah dan ibunya stres, menghajar Nasib habis-habisan. Nasib minggat entah ke mana.

Hendra pernah satu kali bertemu Nasib. Saat itu usai acara perpisahan SMA. Ketika Hendra dan teman-teman sedang berfoto bersama di depan gerbang sekolah, seorang lelaki kurus berjaket denim kumal mendekatinya. Hendra terkejut, tak menyangka bertemu dengannya.

“Bisa kau bantu aku?” bisik Nasib, menyeret Hendra dari kerumunan teman-teman.

“Bantu apa?”

“Aku butuh modal. Seratus atau dua ratus ribu bolehlah.”

“Banyak sekali.”

“Aku janji, setelah ini aku tak akan ganggu kamu lagi. Tolong aku, ya?”
Hendra tak tega melihat mata Nasib yang memelas. Sepasang mata itu memerah seperti tidak tidur berabad-abad. Dan, tubuh kurusnya benar-benar mirip gelandangan.

Karena saat itu acara perpisahan dan prestasi sekolah Hendra sangat bagus, ayah memberinya hadiah uang yang banyak. Tanpa pikir panjang, Hendra memberi dua ratus ribu pada Nasib, sesuai permintaannya. Nasib sigap pergi, menyetop truk yang lewat, melompat ke bak, lalu berlalu bersama truk itu.

Hendra melongo, tak sempat menanyakan apakah Nasib tahu bila sejak dirinya minggat, ibunya sakit-sakitan lalu meninggal dunia. Apa Nasib juga tahu kalau ayahnya kemudian sakit-sakitan pula memikirkan dirinya, si anak tunggal.

Esoknya, datang polisi ke Dusun Kamulyan, mengabarkan kalau Nasib masuk rumah sakit. Seseorang telah menikam perutnya dengan pisau lipat saat berkelahi di tempat judi rolet di sebuah tempat di kabupaten sebelah.

Dari kabar yang beredar, ayah Nasib sangat terpukul dengan peristiwa itu. Meski begitu lelaki itu masih menunjukkan perhatiannya sebagai ayah, walau dengan amarah yang tertahan.

“Baiklah, ini kebaikanku yang terakhir sebagai ayah. Setelah ini dia bukan anakku lagi!” kata ayah Nasib ketika memutuskan menjual sawahnya untuk biaya rumah sakit.

Beruntunglah, pisau yang tertancap di perut Nasib tidak dalam, sehingga dia bisa sembuh, meski harus menginap hampir sebulan di rumah sakit.

Nasib tidak dianggap anak lagi oleh ayahnya. Artinya, dia tidak punya keluarga lagi di Dusun Kamulyan. Konon, ayah dan ibunya adalah pendatang yang membeli sepetak sawah, sebidang tanah dan membangun rumah di dusun itu.

Ketika ayahnya sakit lalu meninggal dunia, warga tak tahu harus bagaimana mengabarkan pada Nasib. Di mana Nasib, entahlah. Kabar terakhir yang beredar, Nasib keluar dari rumah sakit bersama polisi dan seorang lelaki tua berjenggot bercelana panjang cingkrang.

Dusun Kamulyan tenteram tanpa kehadiran Nasib dan lebih baik begitu. Orang-orang bekerja dengan tenang. Perlahan-lahan nama Nasib mulai hilang dari ingatan warga. Begitu pula Hendra, nyaris tak pernah memikirkannya. Hendra sibuk kuliah, lulus, lalu menjadi guru SD Muhammadiyah di desanya.

Sampai di suatu Minggu pagi, ketika Kepala Dusun mendatangi rumah Hendra, saat itulah nama Nasib terdengar lagi. Dan, orang-orang yakin bahwa Hendralah satu-satunya keluarga yang akan ditemui Nasib.

***

Hendra dan Rahman telah sampai di musala. Di dalam musala, tampak seorang lelaki sedang duduk bersila, mungkin berzikir usai salat duha. Rahman mendorong Hendra untuk masuk, sedang ia akan menunggu di serambi musala.

“Saat ini kamu adalah keluarga baginya,” bisik Rahman.

Perlahan, Hendra memasuki ruang utama musala, lalu berdehem. Orang yang bersila itu menoleh ke belakang.

“Nasib? Kamukah itu?” tanya Hendra, memperhatikan jenggot yang menghiasi dagu orang bersila itu.

Orang itu sigap berdiri (jelas dimata Hendra, orang itu bercelana panjang cingkrang), tersenyum lebar, merentangkan kedua tangan lalu memeluk Hendra.

“Assalamualaikum, saudaraku. Benar, ini aku Nasib Subono sahabatmu.”

Hendra risi dipeluk begitu.

“Apa kabarmu?” kata Hendra setelah berhasil melepaskan pelukan Nasib Subono, orang berjenggot itu.

“Duduklah,” kata Nasib, duduk bersila. “Banyak yang akan kuceritakan padamu.”

Hendra duduk bersila di hadapan Nasib, mendengarkan. Baiklah, ini versi pendek cerita itu. Mulai sejak Nasib masuk rumah sakit. Konon, di rumah sakit itu Nasib bertemu lelaki tua berjenggot yang di kemudian hari membawanya ke sebuah pondok pesantren di kaki bukit sebuah kabupaten. Nasib menjadi santri di sana. Segala keburukannya sirna.

“Mengapa kamu pulang … ke sini?” tanya Hendra, tak tega mengatakan kalau dusun ini bukan lagi kampung halaman Nasib.

Tak ada lagi kerabat Nasib di sini. Tak ada lagi hartanya di sini, karena sang ayah (sebelum meninggal) telah mewakafkan tanah dan rumah beliau pada persyarikatan di dusun itu.

Nasib mendesah, menatap Hendra lekat-lekat.

“Aku bukan mau mencari masalah di sini. Aku akan meminta maaf pada warga, meski aku tak yakin apa mereka mau memaafkanku. Cukup bagiku asal bisa mengunjungi makam kedua orangtuaku.”
Hendra mengangguk-angguk.

“Akan kusampaikan pada Pak Kadus. Biar dia yang menjelaskannya pada warga,” kata Hendra, lalu beranjak ke serambi musala. Tetapi, Rahman sudah tidak ada.

“Biar aku sampaikan sendiri ke warga. Aku akan ke rumah-rumah warga,” kata Nasib, lalu meninggalkan musala.

“Tak perlu. Lebih baik kita ke gapura dusun,” kata Hendra, menyusulnya.

Jalanan dusun tampak lengang. Hendra melihat beberapa pasang mata mengintip dari balik tirai jendela rumah-rumah.

Di gapura dusun, sepi, hanya ada Rahman.

“Kusuruh orang-orang untuk bubar,” kata Rahman.

“Kalau begitu, izinkan aku ke makam ayah dan ibuku. Setelah itu, aku akan menemui warga,” kata Nasib, lalu meninggalkan Hendra dan Rahman.

Hendra dan Rahman berpandangan. Rahman mengangguk, lalu membiarkan Hendra berjalan gegas menyusul Nasib.

Sepanjang jalan berbatu menuju kuburan, tiada henti Nasib menggumamkan zikir. Hendra mengimbangi langkahnya dengan banyak diam. Nasib memasukkan butiran tasbih ke saku kemeja kokonya, dan masih berjalan, ia menoleh pada Hendra.

“Kamu ingat pertemuan terakhir kita?” tanya Nasib.

“Ya. Di acara perpisahan SMA-ku.”

“Kamu tahu, setelah pertemuan itu aku berdoa? Setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu, berdoa.”

“Berdoa?”

“Hahaha. Penjudi juga boleh berdoa. Mungkin aneh, tapi itu yang kulakukan. Hari itu aku berdoa agar menang rolet. Kalau aku kalah rolet, mungkin aku tidak bakat jadi penjudi, maka itu adalah hari terakhirku sebagai penjudi. Itulah doaku.”

“Tuhan mengabulkan doa penjudi?”

Nasib tersenyum. Gapura kuburan sudah di depan mata.

Batang, 3 September 2022.

Ilustrasi: Lukisan Edvard Munch, Melancholy.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan