Dahulu, tiap Sabtu Pak Syamaran menyempatkan mampir ke kantor pos ketika berangkat mengajar, mengirim beberapa surat untuk sahabat-sahabat penanya di seluruh tanah air. Sekarang pensiunan guru SD itu hanya mengirim sepucuk surat. Hanya sepucuk surat!
Dalam sebuah surat sepanjang satu setengah halaman folio bergaris, Pak Syamaran mengabarkan tentang Petung, sebuah sungai di kampungnya di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
“Dahulu semasa kecil saya selalu bermain di sungai Petung bersama teman-teman, usai sekolah. Kami berenang di antara bebatuan atau lomba menyelam paling lama, saya selalu kalah. Menahan napas di dalam air, saya hanya bertahan paling lama satu menit. Mereka bilang saya tak pantas jadi tentara. Memang di kemudian hari ketika saya melamar jadi tentara, saya gagal. Tetapi saya bersyukur, gagal jadi tentara kemudian menjadi guru SD, saya bisa mengenal Anda, Pak Zul,” tulis Pak Syamaran dalam bagian suratnya.
Pak Syamaran membuat surat itu untuk Pak Zulkarnain, seorang petani dari pinggiran kota Yogyakarta yang gemar membaca koran dan cerita silat Kho Ping Hoo, yang gemar mabuk semasa muda dan kemudian menderita diabetes, yang kini hidup berdua dengan sang istri karena anak-anaknya merantau ke berbagai daerah.
Pak Syamaran menyerahkan surat itu pada Aksan Wicaksono, anak tunggalnya.
“Jangan lupa pakai kilat khusus, agar lusa surat ini sampai ke rumah Pak Zul,” pesan Pak Syamaran pada Aksan Wicaksono yang bersiap berangkat mengajar di SD yang kebetulan dekat dengan kantor pos.
“Tapi ini hari Kamis, Pak,” kata Aksan.
“Tak perlu menunggu sampai Sabtu. Sahabat penaku kini tinggal seorang, tak perlu lama-lama untuk membalas suratnya,” sahut Pak Syamaran, tegas.
Aksan Wicaksono menurut, segera membawa surat itu ke kantor pos.
Seminggu, dua minggu, hingga satu bulan kemudian, surat itu belum juga berbalas. Pak Syamaran gelisah menanti dan berkali-kali meminta anaknya ke kantor pos.