Dunia Santri adalah dunia literasi. Memberikan ruang-ruang kepada santri dalam mengabdi dan mengabadi.
Dahulu, sejak di pesantren, saya berpikir miris tentang nasib literasi santri. Koran yang setiap hari terpampang di depan halaman bilik santri, menyajikan pemberitaan terkini, opini, dan aneka iklan-iklan bergengsi, sulit mengekspos keberadaan kami, para santri. Ihwal pengabdian, entitas keilmuan, dan ‘karakter sarungan’ sangat minim dinarasikan.
Terlepas dari dobrakan modernasi terhadap kultur salafi di mana kurikulum pesantren tidak lagi terbatas pada naskah-naskah kitab klasik, literasi santri tetap membutuhkan wadah ekspresi. Bagi saya, antara koran dan kognisi kesantrian didapati kesenjangan. Artinya, opini yang disajikan dalam koran-koran langganan hanya didominasi oleh nalar demokrasi, ekspektasi ekonomi, pengelolaan ekologi, dan tuntutan korupsi.
Jarang ditemui bahasan tentang Sirah Nabawi, syair-syair terpuji, atau kutipan-kutipan pendapat para ulama salafi. Bagi saya, ekspresi keilmuan santri seolah-olah teralienasi. Kecuali tulisan titipan berupa refleksi-refleksi hari besar Islam. Di samping itu, atribut penulis yang diselipkan, mulai soal jabatan hingga ketenaran, semakin menutupi peluang yang dibatalkan oleh nurani pesimisme.
Fantasi literasi santri itu seolah dibatalkan dengan adanya duniasantri (duniasatri.co). Saya mengenal dan mulai menulis di media ini sejak awal Agustus 2021, dan untuk pertama kalinya, menulis diapresiasi dengan materi. Terlepas dari bagaimana para pegiat literasi melihat duniasantri, bagi saya, media ini adalah tentang mengampanyekan literasi santri.
Mengampanyekan literasi santri setidaknya ada tua tahap; memberikan ruang ekspresi bagi kognisi kesantrian, dan; menjadi mediasi kepada khalayak secara masif dan intensif. Sejauh ini, duniasantri telah berhasil memberikan ruang ekspresi. Keberadaan duniasantri telah memberikan kontribusi besar bagi geliat literasi santri yang lebih hidup lagi. Namun, di tahap selanjutnya, duniasantri masih membutuhkan adanya pembenahan yang lebih progresif dan masif.
Literasi Digital
Saat ini kita dihadapkan pada tantangan dunia digital yang semakin kompleks. Kehidupan serba-serbi digital, mulai dari dompet digital, mujahid digital, hingga literasi digital. Semua kepentingan politis-ekonomis, halakah dakwah, dan fikrah keagamaan menjadi niscaya dikampanyekan di ruang-ruang digital. Tidak terkecuali literasi yang diindikasikan dengan banyaknya media mainstream yang bertaburan.
Di sinilah duniasantri yang membawa narasi literasi kesantrian di belakangnya harus secara masif bergerak dalam ruang-ruang itu. Meniscayakan suatu kepercayaan akses sebagai suatu pergerakan dakwah yang dimotori oleh para santri. Akan tetapi, dalam tahap tertentu, duniasantri bisa kalah dalam dinamika catur digital dengan media-media lain. Hal ini karena ketidaksiapan duniasantri itu sendiri, baik dari manajemen informasi maupun sistem operasional yang dijalankan.
Salah satunya adalah, kemandirian perangkat ilustrasi tulisan. Semua kontributor yang up tulisannya melalui kolom submit yang disediakan, dengan bebas memberikan ilustrasi terhadap tulisannya, kendati itu tidak jelas asal-usulnya. Sampai pada tahap pemuatan pun, kita tidak mendapati kejelasan sumber ilustrasi tulisan dari mana itu didapatkan.
Secara komparatif, sistem serupa, seperti di Kumparan, PinterPolitik, alif.id, atau Geotimes, hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan ketat dalam pemuatan. Tulisan kadangkala ditolak karena ilustrasi yang diberikan tidak jelas sumbernya. Dalam taraf yang lebih apik lagi, tim redaksi media bersangkutan layouting ilustration melakukan penyesuaian dengan narasi tulisan. Sehingga tulisan bisa dengan efektif menyiratkan makna yang ada di dalamnya.
Selanjutnya, banyaknya kesalahan penulisan (typo) dalam satu tulisan. Tidak jarang dalam satu tulisan didapati beberapa, bahkan puluhan kesalahan. Hal ini mengindikasikan bahwa tahap kurasi yang ditempuh oleh tim redaksi masih lemah. Barangkali, kurasi tidak hanya mengoreksi kelayakan isi tulisan, melainkan juga penggunaan narasi, istilah-istilah, bangunan epistimologi, hingga yang paling terkecil adalah kesalahan penulisan.
Di samping itu, tidak kalah penting adalah ‘media sandingan’ untuk mengampanyekan keteraksesan oleh khalayak. Berbagai media, dalam dinamika kampanye akses itu, kualitas tulisan dan apresiasi materi tidak menjamin tingkat aksesibilitas oleh khalayak (viewers). Tidak semua orang berkutat dengan web-web. Tidak semua orang merasa tertarik dengan tampilan vitur bacaan.
Oleh demikian, akun media sosial harus dijadikan ‘media sandingan’ untuk lebih masif dan intensif. Di Instagram, Facebook, Twitter, Youtube. Saat ini, duniasantri hanya menyediakan grup Telegram dan WhatsApp untuk berbagi di kalangan sendiri. Sejauh ini, duniasantri masih belum memasifkan diri dengan peluang yang ada. Terakhir kami lihat akun IG @jejaringdunuasantri dibiarkan terbengkalai tanpa unggah kebaruan.
Sedangkan media lain, seperti yang disebutkan, ‘share link’ sana-sini untuk mengejar tingkat keteraksesan khalayak. Dalam taraf yang lebih sistematis, ‘share link’ pemuatan tulisan menjadi prasyarat bagi kontributor yang akan mencairkan honoriumnya. Tidak didapati pertimbangan materialis atau pragmatis di dalamnya—menambah viewers, misalnya. Akan tetapi, hal ini menyangkut soal intensifikasi tersampaikannya kognisi kesantrian kepada khalayak melalui literasi digital.
Demikianlah sekelumit permasalahan yang mungkin dihadapi oleh media kita, duniasantri.co —meski tidak menutup kemungkinan untuk permasalahan lain. Barang kali, dalam usianya yang tiga tahun ini, kita bisa menjadikan momentum itu sebagai titik tolak reflektif terus berbenah untuk progresivitas duniasantri ke depan. Intinya, narasi yang dibawa oleh duniasantri dalam tiga tahun perjalanannya ini adalah mengampanyekan secara masif literasi santri.
Wallahu A’lam.