Di tengah maraknya media-media keislaman di ranah media sosial dan jagad maya yang penuh dengan keterombang-ambingan objektivitas hukum, kehadiran duniasantri.co memiliki gagasan baru untuk mengisi khazanah keislaman. Ia menyuguhkan opini-opini, karya sastra, yang kesemuanya bertema keislaman untuk dieksplore dan dibaca banyak orang. Tak kepalang tanggung, sampai dibuatkan seksi berbahasa Inggris.
Kita pastilah tahu, betapa banyak media yang membahas seputar Islam. Tetapi, bagi saya, pemilihan nama “duniasantri” sebagai salah satu dari banyaknya media keislaman memiliki ciri khas; seakan menggiring pemahaman bahwa duniasantri mengaksentuasikan tulisan bersumber dari mamba’ (sumber) yang tepat: santri, yaitu sebutan bagi seorang yang menimba ilmu di pondok pesantren, atau seorang yang menimba ilmu kepada kiai.
Awal perkenalan saya dengan duniasantri adalah berkat Mas Zammil, guru saya. Beliau mengenalkan saya pada media unik satu ini. Tak hanya itu, guru saya bilang bahwa setiap tulisan yang lolos moderasi editor diberi upah yang layak. Saya pun kepo dan menelusuri duniasantri di Google. Walhasil, apa yang dikatakan guru saya benar adanya. Seingat saya, dulu tampilan website-nya belum seperti sekarang. Dan, alhamdulillah, sekarang duniasantri sudah dikenal luas oleh kalangan santri.
Tulisan pertama saya dirilis di duniasantri.co pada April 2021. Tulisan itu membahas tentang nadzom Alfiyah dan mitos penghafalnya. Dari situlah kemudian alhamdulillah saya belajar menulis. Semangat saya menggebu-gebu untuk lebih banyak dimuat di media. Tidak berlebihan kiranya kalau saya mengatakan bahwa duniasantri.co adalah guru saya dalam bidang literasi.
Hingga per 22 Agustus 2022, ada sekitar 1.155 santri yang terdaftar sebagai kontributor. Opini saya yang berjudul “Khidmah: Cara Santri Memperoleh Barakah” sudah tembus dibaca 3600 kali. Itu menandakan bahwa duniasantri sudah dikenal dan dieksplore oleh banyak kalangan masayrakat.
Awal saya menulis di duniasantri, viewers tulisan saya hanya berjumlah puluhan. Lantas saya berpikir: “Bertahankah ini?” Beberapa bulan kemudian ternyata makin menyala, makin bersinar. Wallahu a’lam. Pada Sabtu, 27 Agustus 2022, malahan akan digelar acara besar-besaran itu untuk memperingati hari jadi duniasantri yangketiga. Allahumma ij’al jam’ana hadza jam’an marhuman (Ya Allah, jadikan perkumpulan kami ini perkumpulan yang Engkau rahmati). Amin, ya Mujibassailin.
Apa yang saya pelajari dari duniasantri adalah betapa istikamah dan konsisten adalah jalan yang tidak akan kalah, tergerus, dan terombang-ambing oleh gelombang zaman. Adagiumnya mengatakan: “Istiqomah khoirun min alfi karamah (istikamah lebih baik dari seribu karomah). Dan mungkin sebab istikamah itulah sampai sekarang duniasantri tetap eksis dan semakin berkembang.
Juga, duniasantri mengajarkan kepada saya tentang implementasi dari pepatah “undzur maa qola wala tandzur man qola” (Lihatlah [esensi] perkataannya, dan jangan melihat siapa yang mengatakan). Bagaimana tidak? Tulisan yang dirilis di duniasantri tidak pandang siapa yang menulis. Yang penting objektif, lugas, dan relevan dengan realitas kehidupan.
Tidak berlebihan kiranya bila saya mengatakan bahwa duniasantri adalah guru saya (salah satu dari banyaknya guru). Teorinya sesederhana yang saya telah katakan di atas. Di akhir opini saya yang entah dimuat atau tidak, saya hendak menyelipkan puisi dalam opini ini.
Tetaplah ranum meski lainmu layu muram
Semoga baikmu abadi
duniasantri
Seiring bertambahnya umur
semoga bertambah pula kebaikan
kearifan, dan kebijaksanaan yang kau tanam pada setiap hati
Beriring doa kupanjatkan pada Sang Pemilik Jagat. Salam hormat.