Faktanya, setiap zaman selalu ada bukti yang menyatakan bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-laki. Athena, negara yang konon menjadi pelopor demokrasi modern, nyatanya tidak pernah menganggap perempuan sebagai warga negara. Kedudukan perempuan dalam posisi yang inferior, di mana mereka tidak dianggap sebagai warga negara – karenanya tidak memiliki hak untuk ikut menentukan keputusan politik. Perempuan tidak diizinkan terlibat dalam keputusan-keputusan strategis (meskipun ia memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukannnya).
Kendati demikian, masyarakat Indonesia sangat paham sekali – mungkin sebagian tidak paham, tidak tahu – dengan cerita Kartini yang hidup di masa pra-kemerdekaan. Gadis Jepara yang mempertanyakan kedudukannya sebagai perempuan melalui koresponsdensi dengan keluarga Abendanon. Kegelisahannya tentang pembedaan perlakuan laki-laki dan perempuan, kultur budaya patriarki yang menomorduakan perempuan, dan kegelisahan lain seputar emansipasi wanita dan masalah sosial ia ceritakan dengan detail pada Abendanon. Hari ini sebagian perempuan tidak lagi menghadapi ikatan adat dan budaya seketat dahulu sebagaimana dialami oleh Kartini.
Banyak perempuan yang berpendidikan tinggi dan bekerja di sektor publik, menjadi wanita karier di samping menjalankan pekerjaan di wilayah domestik sebagai ibu, istri, maupun anak perempuan di dalam keluarga.
Situasi ini bukan berarti masalah penomorduaan kelas sudah selesai. Perempuan masih menghadapi masalah baru, misalnya, minimnya perlindungan undang-undang terhadap mereka atau pembagian kerja yang tidak seimbang dengan partner laki-laki. Sehingga di samping perannya yang semakin luas di wilayah publik, persoalan mengurus rumah tangga masih saja dibebankan ke pundak perempuan.
Namun, selalu ada kisah heroik dari label penomorduaan perempuan di setiap zamannya. Perempuan tidak pernah berhenti mencoba keluar dari batas-batas keterkungkungannya. Selalu ada cerita perempuan melawan kultur dan mitos-mitos yang meminggirkanya. Perlawanan tersebut dilakukan bukan karena perempuan hendak melawan kodratnya, sama sekali bukan. Perempuan yang berusaha keluar dari mitos-mitos penomorduaan kelasnya sebenarnya sedang memperjuangkan dua hal.
Pertama, haknya sebagai manusia yang bebas sekaligus sebagai perempuan. Hak untuk mendapat pendidikan, hak untuk mendapat pekerjaan yang layak, hak untuk mengembangkan diri, dan hak untuk meraih cita-cita. Hak-hak tersebut dijamin oleh konstitusi negara tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Kedua, perempuan yang memperjuangkan kedudukannya adalah perempuan yang sedang mengukuhkan eksistensi sebagai perempuan untuk dapat sejajar dengan laki-laki.