Masih jelas dalam ingatan kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan pesantren bagaimana perdebatan antara Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Bisri Syansuri di awal 1960-an itu berlangsung tegang. Musababnya adalah hukum drumband yang saat itu digemari. Tentu dari sudut hukum Islam. Kiai Bisri, pengasuh Pesantren Mambaul Maarif Denanyar (Jombang) dan dikenal sebagai pemegang teguh hukum fikih, tetap bersikukuh bahwa drumband hukumnya haram. Sementara Kiai Wahab, pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas (Jombang) dan dikenal sebagai penggerak utama NU sejak ormas ini menjelang didirikan, memandangnya boleh-boleh saja. Apalagi kalau terkait dengan kepentingan perjuangan organisasi atau partai politik yang juga biasa diklaim sebagai perjuangan agama.
Kiai Wahab maupun Kiai Bisri adalah dua tokoh yang sulit terlepas dari ingatan (juga imajinasi) kaum pesantren dan warga nahdliyin. Keduanya adalah sebagian dari tokoh-tokoh terkemuka NU periode awal. Kiai Wahab, seperti dilansir para penulis tentang NU, adalah motor organisasi yang kemudian menjadi Rois Aam dan Ketua Syuriah PBNU, menggantikan Kiai Hasyim Asy’ari yang meninggal 1947, dan jabatan paling penting di NU ini tetap berada di tangannya hingga ia meninggal 1971.
Sementara, Kiai Bisri aktif sebagai a’wan (anggota) syuriah PBNU dalam kepengurusan periode pertama. Ulama ahli fikih yang juga adik ipar Kiai Wahab ini kemudian juga memangku Rois Aam PBNU, menggantikan Kiai Wahab. Kedua kiai pesantren ini juga tokoh penting dalam percaturan politik tingkat nasional. Kiai Wahab adalah tokoh Masyumi, pendiri Partai NU, dan anggota Konstituante, sementara Kiai Bisri adalah Ketua Dewan Syuro PPP dan anggota DPR-RI.
Entoh begitu, bukan berarti kedua tokoh ini selalu sama. Meminjam ungkapan yang terkenal di kalangan NU: Kiai Wahab adalah politisi, sedangkan Kiai Bisri adalah fikih sentris. Bahkan dengan seloroh, Gus Dur pernah mensinyalir Kiai Wahab lebih politisi ketimbang ulama’, meski keahliannya dalam berbagai ilmu agama tak mungkin bisa disepelekan.
Mungkin karena itu, NU berbeda terutama ketika menyikapi kebijakan dan kecenderungan politik birokrasi. Misalnya, bagaimaan NU di bawah kepemimpinan Kiai Wahab sepanjang 1950-an dan awal 1960-an membangun sikap politik akomodatif serta ketika merumuskan waliyul amri dlaruri bissaukat bagi Presiden Soekarno.
Sebuah sikap politik yang sama sekali berbeda dengan yang terjadi di tahun 1970-1980-an saat NU di bawah komando Kiai Bisri memelopori (sekadar contoh) “walk-out” di sidang umum MPR dalam pembahasan GBHN 1978, terutama dalam pembahasan RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah.
Tetapi, mungkin soalnya bukan sekadar politisi vs ulama seperti yang disandangkan pada kedua tokoh ini. Toh, keduanya berlatar pendidikan yang sama; pesantren lalu menimba ilmu di Mekkah. Bahkan, di tempat yang terakhir ini mereka belajar dari guru yang sama, Syaikh Mahfudz Termas dan Syeikh Ahmad Chatib Minangkabau. Barangkali, yang bisa dipastikan, kedua ulama ini memakai perspektif yang berbeda dalam melihat berbagai masalah yang ternyata melahirkan produk fatwa dan sikap yang tidak sama. Dan tentu tak mungkin salah satu darinya dengan mudah dikategori “tak melihat dengan agama”.
Kiai Bisri memang melihat drumband secara fikih. Bukankah pandangannya itu sangat sesuai dengan ketetapan-ketetapan yang tertulis dalam berbagai kitab kuning, seperti Sulamuttaufiq (alat al-malahi), Ihya’ Ulumuddin (Kitabussama’ walwujud), kitab Kaff al-Ri’a, atau kitab fath al-Wahab, beberapa kitab yang di dalamnya memang secara khusus membahas sejumlah alat musik yang terlarang (diharamkan), semisal tambur dan yang terbuat dari metal. Itu belum termasuk alasan yang bertumpu pada implikasi dari mendengarkan suara musik itu sendiri yang oleh kalangan ahli fikih dianggap “melupakan Tuhan”.
Sementara, Kiai Wahab lebih tertarik melihatnya dalam kerangka pencapaian tujuan tertentu dari sebuah gerakan. Dengan drumband, bukankah pamor anak-anak muda NU terlihat lebih nyata dalam kontes peran dan pergulatan kepemudaan waktu itu. “Kita bisa ketinggalan,” tegas Kiai Wahab beralasan.
Tetapi, mungkin itu baru salah satunya, bahkan bisa jadi bukan alasan yang terpenting. Melongok kiprah sebelumnya, terbaca bahwa Kiai Wahab sangat akomodatif terhadap berbagai kenyataan politik dan kultural. Bahkan yang sepintas berlawanan dengan ketentuan fikih sekalipun. Pengakuannya terhadap hak-hak budaya lokal terlihat sangat sangat eksplisit, sama dengan penghormatannya terhadap aspirasi keagamaan kaum modernis.
Gerakan Tashwirul Afkar yang sering disebut sebagai respons atas puritanisasi yang dikawal fikih Hasyim dan komite Hijaz yang jelas-jelas membela eksistensi budaya lokal, konon, diprakarsai oleh Kiai Wahab. Mungkinkah semua itu terjadi atas dasar hanya pertimbangan politis? Dan, tidak mungkinkah pandangan dan sikap pluralisme Kiai Wahab itu terbangun juga oleh pengetahuan dan keyakinan agama?
Tak pernah ada dalam pengertian yang khusus menyorot bagaimana implikasi kedua fatwa yang berbeda (berlawanan) itu terutama di kalangan NU. Tetapi, kenyataan yang bisa ditangkap kasat mata bahwa drumband sepanjang dasawarsa 1960-an sangat marak di kalangan anak muda NU (GP Anshor, Fatayat, IPNU, dan IPPNU). Kita yang berusia kepala lima, masih ingat bagaimana hampir di setiap ranting dan anak cabang organisai pemuda NU itu, grup drumband dengan sangat gagap-gempita, bahkan bersaing satu dengan yang lain. Anehnya, setelah drumband diapresiasi secara luas, tak satupun kiai yang bersibuk-sibuk menggaungkan fatwa haram, termasuk Kiai Bisri sendiri.
Ulasan kitab al-Asybah wa Annadloir yang kesohor di pesantren selalu menyatakan qola…qola…qola… diakhiri dengan al-arjah (yang paling argumentatif), bukan al-ashoh (yang paling benar). Seorang santri dari Pare, Kediri, menyatakan bahwa ulasan itu menandakan tidak ada klaim kebenaran tunggal dalam tradisi kitab kuning.
Kiai Sahal Mahfudz (mantan Rois Aam PBNU dan Keua MUI pusat) seringkali menandaskan bahwa (hukum) fikih itu eklektif. Dia mengambil contoh qaul qodim dan qaul jaded-nya Imam Syafi’i yang berbeda bahkan bertolak-belakang, karena perbedaan kondisi dan situasi di Baghdad (tempat qaul qodim difatwakan) dan Mesir (tempat qaul jadid dirumuskan.
Yang lebih menarik lagi adalah Kiai Ahmad Shidiq Jember. Mantan Rois Aam PBNU periode Gus Dur ini, demikian kata Kiai Muchit Muzadi (asisten pribadi Kiai Ahmad Shidiq), selalu bertanya balik kepada setiap warga jamaah yang meminta fatwa hukum masalah-masalah furuiyah kepadanya:
“Sampeyan minta yang seperti apa, yang mengharamkan atau yang memubahkan?”
“Lho, kok begitu, Pak Kiai,” kata warga kebingungan.
“Ya masing-masing punya hujjah, punya dalil, yang dapat dipertanggungjawabkan secara fikih,” tandas Pak Kiai.
Nah… Waallahu a’lam bissowab.