Tajuk pesantren menjadi objek bahasan materil dalam tulisan kali ini. Meski akumulasi dari berbagai perspektif dan keilmuan tidak akan dapat memberikan suatru kepuasan ilmiah tentang makna kepesantrenan. Rajutan historis telah membuktikan bagaimana pesantren dengan segala kontribusi sosial dan sumbangsih keilmuannya menjadi tuntunan spritual di tengah hiruk-pikuk kehidupan umat.
Pesantren sebagai lembaga masyarakat yang mengemban amanah dan mempunyai legitimasi kultural di hati masyarakat, dengan segala rumpun peran di dalamnya menjadi patron sosial dari laku keseharian. Sehingga berbagai fenomena sosial yang melibatkan nama pesantren di dalamnya memiliki konsekuensinya sendiri dalam pampangan publik.
Pada putaran bumi di tahun 2021, fenomena sosial merundung pesantren dalam kemerosotan kultur etis keumatan. Atensi publik terhadap pesantren cukup memprihatinkan ketika nama pesantren menjadi tajuk pemberitaan dalam pampangan media. Masih belum lekang ingatan kita tentang seorang pengasuh pesantren yang menaja hubungan sensasional dengan santrinya atau ratusan pesantren yang terlibat dalam fantasi keagamaan radikalisme, yang melebihi cukup menarik ulur kepercayaan umat dalam satu hentakan periodik.
Pesantren adalah produk umat yang dimurnikan dari unsur kepentingan dan nilai pragmatistik. Pesantren selamanya dalam lingkaran fitrah itu. Geliat immoral yang tidak mengenakkan terjadi karena moralitas ketokohan (moral personality) yang merepresentasikan nilai keluhuran pesantren tidak mencukupi syarat kelayakan sosial, baik kemapanan paham keagamaan maupun kesiapan melakoni budaya lokal—ini diistilahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan “oknum pesantren” (Cholil Nafis, 2021).
Setidaknya, fenomenologi kemerosotan pesantren di putaran revolusi bumi kemarin telah mensolek kesalehan artifisial di tengah masyarakat, bagaimana pesantren berikut kiprah keumatan kembali diuji dalam sebuah catur permasalahan yang berkelindan silih ganti. Proses kognitif kita tentu akan melahirkan represantamen baru terhadap kultus pesantren, yakni konseskuensi sakralitas ketokohan (role consequence) dan dilema kultural umat dalam memberikan legitimasi terhadap lembaga keagamaan (culture education).
Konsekuensi Simbolisme Kiai
Sejatinya, manusia hidup dengan simbol-simbol (Ernst Cassirer: 18747-1945). Sifat instriksional manusia dalam berintraksi dengan sesama yang tidak mampu mereka gambarkan secara retorik telah melahirkan simbolisme tentang sesuatu. Simbol layaknya budaya, ia lahir dari proses dialektik umat manusia dalam mencari suatu justifikasi pembenaran kolektif dalam ruang geofilosofis. Selaras dengan ungkapan Cak Nun, bahwa simbol adalah suatu kesepakatan-kesepakatan yang secara sadar dibuat manusia dalam mengilustrasikan hal yang adiluhung. Oleh karena kesepakatan, entitasnya penuh nilai dan renungan.
Simbol mengajarkan hal primordial dari sisi manusia sebagai makhluk rasional (the animal of rationale). Peradaban simbol dalam tatanan kosmo yang fana ini (al-kaun) juga meliputi simbolisme Ilahi bagaimana Tuhan menunjukkan tanda kebesaran-Nya melalui ayat fenomenologis yang memerlukan telaah dan kesadaran (kauniyah). Tidak ayal jika dalam Al-Quran banyak dijumpai ungkapan retoris “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun”, atau “afala yatadabbarun” yang memantik daya pikir manusia dan kesadaran simbolisme (animal syoblocium).
Simbolisme kiai menunjukkan hal yang sakral. Nomenkaltur ini disematkan tidak hanya terbatas pada ketokohan (manusia), melainkan juga bisa berupa benda, hewan, atau senjata (Ibda, 2021). Kiai dalam rupa senjata seperti Kiai Setan Kober milik Arya Penangsang (abad-16). Kiai dalam wujud hewan seperti Kiai Slamet kerbau bule pepunden keramat di keraton Solo (1744). Kiai dalam benda bisa berbentuk gamelan seperti Kiai Guntur Sari yang sering mewarnai perayaan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1643 M).
Kesakralan menghiasi simbol kiai. Ia tidak disematkan kecuali pada hal yang bertuah. Kiai adalah simbolis umat yang menjukkan ekspresi pengetahuan dan karya kebudayaan para luhur terdahulu. Kesepakatan manusia terhadap simbol kiai—dalam arti wujud manusia—menempatkan seseorang pada hierarki piramida ketokohan pertama, yang pada gilirannya tamsil religius dengan tendensi hedonisme personal membangun alingan yang meleburkan ahistoris makna kiai dalam monopoli percaturan budaya hegemoni.
Kiai yang kita kenal saat ini adalah manusia yang ‘alim dan ‘allamah yang pada realitasnya menjadi tokoh dalam masyarakat. Hal subtil setelah simbol kiai dipersempit pemaknaannya, adalah sakralitas yang terus bersandar dalam petanda-nya. Kesakralan kiai dalam wujud manusia terletak bagaimana ia dijadikan sebagai patron sosio-keagamaan (social leader, murabbi) di mana sikap dan wacana oral (dawuh) diijabah oleh masyarakat. Sematan kiai bukan kehendak personal, tetapi penghargaan kolektif masyarakat atas dedikasi keumatan yang diberikan, termasuk di dalamnya kiai pesantren.
Fenomena sensasional antara kiai dan santrinya di Bandung (2021) telah memberikan suatu tendensi tegas tentang lunturnya makna sakralitas yang disandang kiai. Ia seolah dipenjara dalam makna kepentingan. Penyematan simbolisme kiai sekarang cenderung kaku dan prestise semu karena timbul dari pengakuan “struktur kelembagaan”, bahkan tanpa memilah kesahalehan tokoh yang murni berdasarkan tatanan hati atau sekadar fiktif untuk membangun atensi.
Selain konsekuensi simbolisme kiai, nantikan pula konsekuensi fenomena kepasantrenan yang lain dalam tulisan selanjutnya.