Fikih dan Perempuan: Antara Teks dan Konteks

Sesekali, saya terhenyak saat membaca lagi teks-teks klasik yang begitu saya hormati. Di dalamnya, ada kerangka berpikir yang menempatkan perempuan dalam sebuah ruang yang kian sempit, seolah-olah mereka adalah entitas yang perlu dilindungi dari dirinya sendiri. Ada yang menyebut suara perempuan sebagai aurat. Ada pula yang menyematkan syarat laki-laki untuk menjadi pemimpin, menutup pintu rapat-rapat bagi setengah populasi umat.

Saya sadar, itu semua adalah bagian dari tradisi intelektual yang berharga. Namun, hati saya bertanya, apakah memang ini yang dikehendaki oleh Tuhan? Teks-teks itu lahir dari sebuah zaman di mana laki-laki memang dominan. Wajar saja jika pikiran-pikiran yang dihasilkan oleh para ulama pada masa itu mencerminkan realitas sosial yang patriarkis. Tapi di situlah letak persoalannya. Kita terlalu sering mencampuradukkan antara wahyu yang abadi dengan fikih yang historis. Kita lupa, bahwa fikih adalah produk manusia, bukan firman Ilahi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Sejenak, mari kita singkirkan dulu kitab-kitab tebal itu. Mari kita tatap dunia di sekeliling kita hari ini. Perempuan memimpin. Mereka adalah ibu, saudari, istri, dan juga pemimpin yang tangguh.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana mereka membangun keluarga, mendirikan perusahaan, dan berkontribusi di panggung politik. Nama-nama seperti Benazir Bhutto (Pakistan), Sheikh Hasina (Bangladesh) dan Megawati, bukan lagi cerita fiksi. Mereka adalah bukti nyata. Jadi, apakah Islam hanya berlaku untuk laki-laki?

Tentu tidak. Justru di tengah semua kerumitan ini, saya kembali pada satu ayat yang paling saya cintai: QS. al-Hujurat: 13. Ia tidak pernah membedakan. Ia hanya mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.

Ayat tersebut adalah sebuah kritik pedas bagi siapapun yang mencoba membatasi martabat manusia berdasarkan jenis kelamin. Ia mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, yang dihitung di hadapan Tuhan bukanlah apa yang kita miliki secara biologis, melainkan apa yang kita kerjakan dengan hati dan pikiran.

Pada akhirnya, saya yakin, Islam itu tentang keadilan, bukan diskriminasi. Ruh syariat adalah memuliakan manusia, bukan memenjarakannya. Tugas kita hari ini adalah berani membaca ulang warisan kita dengan mata yang terbuka, hati yang peka, dan akal yang bebas. Kita harus berani mengatakan, bahwa fikih yang dibuat di masa lalu, tidak bisa kita pakai secara membabi buta untuk membatasi potensi perempuan di masa kini.

Halaman: 1 2 Show All

2 Replies to “Fikih dan Perempuan: Antara Teks dan Konteks”

  1. Sampai kapan pun, firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’: 34 akan menjadi diskusi, perdebatan, dan ikhtilaf ulama. Dan di situlah letak kesucian ayat, bahwa di balik perbedaan kita harus saling menghargai. Kodradnya, laki-laki dan perempuan memiliki kekhasan tersendiri yang mesti kita junjung tinggi dengan cara jalinan kerja sama yang baik. Saling menghormati dan menghargai peran masing-masing. Islam bagitu menjunjung tinggi perempuan untuk sebisanya memberikan peran sesuai dengan kemampuan masing-masing.

    Saya pribadi setuju bahwa perempuan diberi panggung dalam segala sisi kehidupan. Tetapi jangan samapai lupa akan kodrat individu sebagai perempuan itu sendiri. Horas…!!!

    1. Terima kasih atas pandangan anda, yang sangat berharga bagi saya. Ayat QS. An-Nisa’: 34 memang terus membuka ruang diskusi di kalangan ulama, baik klasik maupun kontemporer. Dari dinamika itulah kita melihat bagaimana teks Al-Qur’an selalu hidup, relevan, dan memberi ruang ijtihad lintas zaman.
      Saya sepakat, laki-laki dan perempuan memiliki kekhasan masing-masing yang tidak bisa diabaikan. Namun, penting untuk dipahami bahwa “kodrat” seringkali dimaknai secara kultural, bukan hanya biologis. Oleh karena itu, membedakan antara kodrat yang melekat secara fitri dan peran sosial yang dibentuk oleh tafsir budaya menjadi hal yang krusial.
      Apa yang saya tulis kemaren tidak bertujuan menafikan perbedaan, melainkan menunjukkan bahwa Islam sejatinya memberi ruang yang luas bagi perempuan agar perannya hadir sesuai konteks zamannya. Tafsir ulama bisa berbeda dan realitas sosial bisa berubah, tetapi prinsip “wa ‘āsyirūhunna bil ma‘rūf” (hidupilah mereka dengan cara yang baik) akan selalu relevan sebagai pijakan bersama.
      Horas! ✊

Tinggalkan Balasan