Fikih yang Lahir dari Ruang Laki-laki

Fikih yang kita warisi hari ini lahir dari ruang-ruang yang hampir seluruhnya diisi oleh laki-laki. Dari halaqah-halaqah  keilmuan di Kufah, Basrah, hingga Madinah; dari kitab-kitab tebal yang ditulis di perpustakaan Baghdad hingga ruang fatwa di Mesir dan Andalusia — suara yang mendominasi adalah suara laki-laki. Mereka menafsir, memutuskan hukum, dan menetapkan batas antara halal dan haram. Dalam proses itu, pengalaman perempuan jarang sekali menjadi bagian dari pertimbangan hukum.

Kita tidak sedang menfikan peran ulama klasik. Mereka hidup di zaman yang tak mengenal konsep kesetaraan gender seperti hari ini. Ketika perempuan terbatas ruang geraknya, wajar jika perspektif hukum juga ikut terbatas.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Namun masalahnya muncul ketika fikih dari ruang laki-laki itu kemudian dianggap universal, seolah ia berlaku lintas zaman dan lintas konteks tanpa bisa ditafsir ulang. Padahal, seperti Ibn Qayyim al-Jauziyah, fatwa dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan. Hukum yang lahir dari ruang patriarkal tak bisa diambil begitu saja untuk menafsiri realitas perempuan modern.

Dalam kitab-kitab fikih klasik, perempuan sering digambarkan lewan lensa domestik: sebagai istri, ibu, atau objek hukum kesucian. Kita jarang menemukan pembahasan yang menempatkan perempuan sebagai subjek penuh — mahluk rasional yang bisa memutuskan jalan hidupnya sendiri. Bahkan dalam tema-tema ibadah dan muamlah, struktur bahasanya selalu berpangkal pada laki-laki: “jika seorang laki-laki menikah…”, “jika ia menjatuhkan talak…”,” jika ia mengizinkan istrinya keluar rumah…”. Bahasa ini bukan sekadar kebetulan liguistik; ia cermin dari struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat dan perempuan sebagai periferi.

As-Syahtibi dalam Al-Muwafaqat menulis bahwa syariat datang untuk menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Namun dalam praktiknya pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl) sering dimaknai secara sempit: menjaga tubuh dan kesucian perempuan agar tidak “menimbulkan fitnah”. Dari sinilah muncul logika fikih yang berlapis moralitas maskulin — di mana kesalehan perempuan diukur dari seberapa jauh ia bisa “menjaga diri”. Padahal, dalam pandangan Ibn ‘Asyur, maqasid syariah bukan hanya menjaga eksistensi, tapi juga memuliakan martabat manusia secara utuh (karamah insaniya).

Sejarah sosial juga mencatat bagaimana keterbatasan perempuan dalam ruang publik memengaruhi konstruksi hukum. Dalam banyak kasus, perempuan tidak diizinkan menjadi saksi, hakim, atau mufti — bukan karena teks melarang secara absolut, tapi karena realitas sosial waktu itu tidak memberi ruang bagi perempuan untuk belajar dan tampil dipublik.

Maka ketika ulama seperti Imam Ibnu Jarir Al-Thabari (w.923 M) atau Ibn Hazm (w. 1064 M) membolehkan perempuan menjadi hakim,[1] pendapat mereka ditinggalkan karena tidak sesuai dengan norma sosial dominan. Ini bukti bahwa fikih selalu berdialog dengan struktur sosial patriarkal, bukan berdiri di atasnya.

Di Indonesia, jejak patriarki fikih juga kuat. Banyak pengajian tradisional mengajarkan bahwa tugas utama perempuan adalah “taat kepada suami” dan “mengurus rumah tangga”.

Dalil yang dipakai sering berasal dari tafsir normatif QS. An-Nisa: 34, tentang qawwamuna ‘ala n-nisa. Tapi seperti dijelaskan Quraish Shihab dalam buku Perempuan, ayat itu berbicara tentang tanggung jawab sosial, bukan superioritas biologis. Artinya, laki-laki diberi peran pemeliharaan, bukan kekuasaan.

Fikih yang lahir dari ruang laki-laki seringkali tidak salah secara moral, tapi timpang secara epistimologis. Ia memandang perempuan dari luar, bukan dari dalam. Ia mengatur tubuh perempuan tanpa bertanya pada pengalaman perempuan itu sendiri. Karena itu, membicarakan fikih perempuan hari ini bukan berarti menentang ulama klasik, melainkan melengkapi apa yang belum sempat mereka dengar: suara perempuan.

Habsi as-Shiddieqy, ulama besar Indonesia, pernah menulis bahwa “fikih harus lahir dari bumi tempatnya berpijak.” Jika bumi yang kita pijak hari ini adalah dunia yang memberi ruang bagi perempuan untuk berpikir, memimpin, dan menentukan jalan hidupnya, maka fikih yang kita hasilkan pun harus mampu berbicara dengan bahasa itu. Fikih baru bukan berarti fikih tanpa nash, tapi fikih yang menempatkan wahyu dan realitas dalam dialog yang setara.

Maka bab ini hendak mengajak kita melihat: bagaimana fikih yang lahir dari ruang laki-laki membentuk wajah hukum Islam tentang perempuan —  dan bagaimana kita bisa membuka ruang baru bagi tafsir yang lebih adil, rasional, dan manusiawi. Sebab, seperti kata Ibn Qayyim, syariat seluruhnya adalah keadilan, rahmat, dan hikmah. Dan setiap hukum yang menyimpang dari prinsip keadilan, rahmat, dan hikmah, sejatinya bukan bagian dari syariat.

[1]  الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ٨/‏٥٩٣٧ — وهبة الزحيلي (ت ١٤٣٦)

وقال ابن جرير الطبري: يجوز أن تكون المرأة حاكمًا على الإطلاق في كل شيء، لأنه يجوز أن تكون مفتية فيجوز أن تكون قاضية.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan