Dalam beberapa tahun terakhir arah pendidikan tinggi di Indonesia maupun global mengalami pergeseran tajam, dari pusat pengembangan ilmu menjadi mesin produksi tenaga kerja industri. Pendekatan ini berangkat dari logika bahwa setiap jurusan harus berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah logika itulah, filsafat mulai dipertanyakan relevansinya.
Puncak dari perdebatan ini muncul ketika Ferry Irwandi, seorang publik figur dan influencer pendidikan, secara terbuka menyatakan bahwa “jurusan filsafat sebaiknya dihapus karena tidak lagi relevan.” Pernyataan ini sontak menimbulkan kontroversi karena menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang tidak menghasilkan profit ekonomi langsung dianggap tidak penting.

Pernyataan Ferry Irwandi bukan hanya refleksi pandangan pribadi, tetapi mewakili cara berpikir yang semakin dominan dalam kebijakan pendidikan tinggi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pun dalam beberapa tahun terakhir banyak mengarahkan programnya ke pembentukan ekosistem Merdeka Belajar yang berorientasi pada “outcome-based education”, yakni keterukuran dampak pendidikan terhadap dunia kerja (Kemdikbudristek, 2021). Dalam konteks ini, filsafat dan ilmu humaniora lainnya dianggap kurang relevan karena sulit diukur kontribusi langsungnya terhadap pasar tenaga kerja.
Filsafat sebagai Dasar Ilmu dan Teknologi
Sejarah ilmu pengetahuan justru memperlihatkan bahwa banyak cabang ilmu modern lahir dari rahim filsafat. Fisika klasik bermula dari perdebatan ontologis para filsuf alam Yunani, sementara logika dan matematika berkembang pesat berkat kerja-kerja filosofis Aristoteles, Descartes, hingga Bertrand Russell. Bahkan ilmu komputer yang hari ini mendominasi industri teknologi tidak bisa dilepaskan dari warisan logika formal dan filsafat bahasa (Copeland, 2004).
Sebagai contoh, perdebatan tentang etika kecerdasan buatan (AI Ethics) dalam teknologi modern kini menjadi perhatian global, karena menyangkut hak, keadilan, dan tanggung jawab sosial yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan coding atau data science. Universitas Stanford dan MIT bahkan telah menjadikan filsafat etika sebagai bagian integral dalam kurikulum teknik dan AI (Walch, 2019).
Industrialisasi dan Reduksi Nilai Ilmu
Masalah utama muncul ketika pendidikan direduksi menjadi sekadar alat industrialisasi. Padahal, pendidikan tidak hanya bertugas menghasilkan pekerja, tetapi juga mencetak manusia yang berpikir kritis, etis, dan visioner. Jika semua jurusan dituntut untuk mencetak produk yang “tangible” dan dapat diperjualbelikan, maka kita akan kehilangan akar epistemologis dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Senada dengan itu, Martha C. Nussbaum dalam bukunya Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (2010) mengingatkan bahwa menghapus atau meremehkan humaniora seperti filsafat adalah “sebuah bencana yang tertunda” bagi masyarakat demokratis. Karena filsafatlah yang melatih daya nalar, empati, serta tanggung jawab moral dalam pengambilan keputusan publik.
Konsekuensi Diskursus Populer
Pernyataan Ferry Irwandi bahwa filsafat hanya sebatas “kecantikan berpikir” tanpa nilai guna praktis mencerminkan miskonsepsi serius terhadap ilmu humaniora. Ia menyebut Karl Marx sebagai contoh filsuf yang pemikirannya sudah “usang” dan tidak lagi bisa dipakai di dunia modern. Padahal, survei yang dilakukan oleh BBC tahun 2005 menunjukkan bahwa Karl Marx dinobatkan sebagai filsuf paling berpengaruh sepanjang masa, mengalahkan Aristoteles, Hume, dan Kant (BBC Poll, 2005). Ini menunjukkan bahwa nilai filsafat tidak bisa dilihat hanya dari sudut ekonomi, melainkan dari daya jangkau gagasannya dalam memahami dan merespons krisis sosial.
Kritik terhadap Ferry Irwandi bukan sekadar soal perbedaan pandangan, tetapi menyangkut pentingnya akurasi dalam berbicara di ruang publik. Seperti dikatakan oleh akademisi Musfi Romdoni, alumnus filsafat Universitas Indonesia, “Menghapus jurusan filsafat dengan dalih sudah tidak relevan adalah bentuk logical fallacy dan menyederhanakan fungsi pendidikan tinggi yang lebih luas dari sekadar lapangan kerja.” (Kupasmerdeka.com, 2025)
Filsafat: Tidak Praktis, Tapi Penting
Saya menyadari bahwa filsafat memang tidak menawarkan jalan instan menuju industri. Tapi bukan berarti ia tidak penting. Filsafat melatih kita untuk berpikir mendalam, menghindari bias logika, serta menggugat kemapanan. Dalam masyarakat yang semakin dikendalikan oleh algoritma, kapital, dan disinformasi, filsafat hadir sebagai perisai moral dan epistemologis.
Kita membutuhkan filsafat bukan karena ia menghasilkan uang, tetapi karena ia menjaga warisan berpikir kritis. Kehilangan filsafat dari dunia pendidikan sama artinya dengan kehilangan daya reflektif dan kompas moral dalam berkehidupan. Oleh karena itu, mempertahankan filsafat bukanlah romantisme akademik, tetapi kebutuhan mendesak agar kita tidak terseret menjadi bangsa pekerja tanpa jiwa.
Referensi:
- Copeland, B. J. (2004). The Essential Turing: Seminal Writings in Computing, Logic, Philosophy, Artificial Intelligence, and Artificial Life. Oxford University Press.
- Kemdikbudristek. (2021). Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Jakarta.
- Nussbaum, Martha C. (2010). Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities. Princeton University Press.
- Walch, K. (2019). Ethical AI – It’s Time For A National Conversation. Forbes.
- BBC News. (2005). “Marx ‘top thinker’ poll result.” https://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/magazine/4955626.stm