G30S/PKI dan Narasi Kekuasaan

Sejarah selalu ditulis, diingat, dan diajarkan dalam bingkai kekuasaan. Begitu pula dengan tragedi G30S/PKI yang pecah pada 30 September 1965. Peristiwa ini tidak hanya dicatat sebagai sebuah tragedi, tetapi juga dijadikan fondasi legitimasi kekuasaan yang lahir darinya.

Di masa Orde Baru, narasi tentang pengkhianatan PKI dan heroisme militer dibangun secara sistematis untuk menopang rezim selama lebih dari tiga dekade. Melalui narasi tunggal itu, negara berhasil mengendalikan cara masyarakat mengingat sejarah, sekaligus membatasi ruang tafsir yang lain.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Narasi tersebut dipelihara melalui berbagai medium yang merasuk hingga ke ruang-ruang privat warga. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar wajib setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyajikan versi resmi negara, hingga monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya—semuanya berfungsi sebagai alat penguat memori kolektif yang diarahkan.

Melalui simbol dan ritual itu, masyarakat dibentuk untuk memandang PKI sebagai ancaman laten, sekaligus menerima tindakan represif negara terhadap siapa saja yang dicurigai terlibat. Dengan kata lain, sejarah dijadikan instrumen politik yang efektif, bukan sekadar cermin masa lalu.

Namun, ketika Orde Baru runtuh dan reformasi membuka ruang keterbukaan, narasi tunggal itu mulai dipertanyakan. Peneliti, jurnalis, aktivis, hingga para penyintas berusaha menyingkap sisi lain dari peristiwa 1965.

Cerita tentang pembantaian massal, peran intelijen asing, serta penyalahgunaan kekuasaan militer muncul ke permukaan. Fakta bahwa ratusan ribu hingga jutaan orang ditahan, diasingkan, bahkan dibunuh tanpa proses pengadilan, menyingkap luka sejarah yang selama ini ditutup rapat. Sejarah yang dulu disajikan sederhana berubah menjadi kompleks, penuh keraguan, dan menuntut penafsiran ulang.

Konteks politik Indonesia hari ini justru memperumit persoalan. Polarisasi yang semakin tajam membuat tragedi G30S/PKI kerap dijadikan komoditas politik. Sebagian pihak terus menghidupkan narasi lama tentang bahaya laten komunisme, sementara pihak lain menekankan rekonsiliasi serta pengakuan atas penderitaan korban.

Sayangnya, perdebatan yang berlangsung sering kali terjebak dalam dikotomi biner, sehingga ruang publik lebih banyak dipenuhi pertarungan ideologis daripada upaya membangun pemahaman bersama.

Dalam situasi semacam itu, penting bagi kita untuk meninjau kembali narasi kekuasaan yang membungkus peristiwa G30S/PKI. Bukan untuk menghapus catatan sejarah resmi, melainkan melengkapinya dengan suara-suara yang selama ini dibisukan. Suara para korban, keluarga yang kehilangan, hingga masyarakat yang hidup dalam stigma perlu mendapat ruang dalam ingatan kolektif bangsa. Hanya dengan cara demikian, tragedi 30 September dapat dipahami dalam dimensi yang lebih utuh dan manusiawi.

Sejarah yang sehat seharusnya membuka dialog, bukan menutupnya. Mengingat G30S/PKI bukan semata-mata untuk mengulang trauma, tetapi untuk belajar agar kekerasan dan ketidakadilan serupa tidak kembali terjadi. Bangsa ini membutuhkan keberanian untuk menimbang ulang warisan narasi kekuasaan, lalu membuka ruang bagi kebenaran yang lebih luas.

Akhirnya, G30S/PKI bukan hanya soal siapa yang benar atau salah menurut catatan resmi, melainkan bagaimana kita, sebagai bangsa, belajar dari masa lalu. Dengan keberanian menatap sejarah secara jujur, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih adil, inklusif, dan terbebas dari manipulasi ingatan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan