Garam Berjampi dari Pak Kiai

161 views

Ini kisah tentang makhluk halus, dan nyata, dan saya masih ingat runtutan peristiwanya.

Pada akhir 1990-an saya tinggal di Bali. Kita tahu, sebagian orang menyebut Bali adalah surganya makhluk halus. Tapi saya tipe orang yang tak ambil pusing soal-soal yang begituan.

Advertisements

Kisah bermula ketika menyewa sebuah rumah kecil di kawasan Denpasar. Rumah itu “ideal” buat saya, yang bekerja sebagai wartawan dan sesekali menulis cerita. Tersembunyi, menyendiri, dikelilingi halaman dan pekarangan luas, agak jauh dari rumah-rumah tetangga, dan lebih dekat dengan sungai yang ditudungi rerimbunan tanaman bambu.

Rupanya rumah itu bukan cuma ideal buat saya, tapi juga makhluk halus. Hal itu saya ketahui setelah ada seorang teman yang orang Bali berkunjung. Suatu malam ia datang ke rumah. Belum masuk rumah, masih di halaman depan, ia sudah geleng-gelang kepala.

“Mas, ilmu apa yang sampean pakai, sampai berani tinggal di rumah seperti ini, sendiri lagi?”

“Kenapa memang?”

“Ini seperti tempat jin buang anak. Seluruh jenis makhluk halus ngumpul di sini. Tak takut apa sampean?”

Akhirnya ia tak jadi masuk ke rumah. Dengan alasan punya keperluan lain, ia pamit dan pergi lagi. Mungkin teman saya itu salah seorang yang memiliki kelebihan bisa melihat atau mendeteksi keberadaan makhlus halus. Kita tahu, banyak orang yang memiliki kelebihan seperti itu, lebih-lebih di lingkungan pesantren. Saya tergolong yang bukan.

Saya, meskipun yakin bahwa makhluk halus itu memang ada karena keberadaannya telah disebutkan dalam al-Quran, tak pernah dan tak ingin bersinggungan dengan masalah-masalah seperti itu, hal-hal yang berbau kegaiban, supranatural, roh-roh halus, klenik, dan semacamnya dan sebagainya.

Begitulah, saya cuek saja, tak mau ambil pusing soal-soal begituan ketika memutuskan untuk meninggali rumah sewa itu. Bagi saya, asal meninggali suatu tempat dengan hati yang bersih dan niat yang tulus, semuanya akan baik-baik saja.

Nah, justru saya harus berurusan dengan makhluk halus itu ketika suatu hari saya masuk rumah membawa garam yang telah dijampi-jampi oleh pak kiai. Ceritanya, suatu hari saya pulang kampung, ke Banyuwangi, menjenguk ibu yang sedang sakit. Saat itu ada pak kiai yang sedang mengobati ibu saya. Pak kiai ini adalah rekannya kiai pengasuh pesantren dekat rumah saya saat belajar di Mesir.

Saat itulah, saya terlibat obrolan dengan pak kiai ini. Kami mengobrol tentang banyak hal, sampai kemudian pak kiai menyinggung tentang makhluk-makhluk halus atau dedemit yang bercokol di sekitar rumah sewa saya itu, persis seperti yang digambarkan teman saya yang orang Bali itu. Entah dari mana pak kiai tahu.

Khawatir para lelembut itu bisa mengganggu, tanpa saya minta, pak kiai membekali saya dengan segenggam garam yang telah diurapi dengan doa-doa. Begitu sampai kembali ke Bali, saya diminta menaburkan butiran garam mengelilingi rumah, dimulai dari pojok kanan belakang. Dan itulah hal pertama yang saya lakukan saat saya tiba kembali di rumah sewa itu. Entah kenapa saya harus melakukan hal-hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.

Namun apa yang terjadi? Baru berdiri di pojok kanan belakang rumah, dan menabur beberapa butir garam berjampi itu, angin sepoi-sepoi terasa meniup lembut tengkuk, lalu merinding menjalar ke sekujur tubuh. Dalam kondisi seperti itu, saya memaksanakan diri untuk mengelilingi rumah, menaburinya dengan butiran garam.

Sejurus kemudian, tubuh saya seperti menjadi palagan, medan pertempuran antara dua kekuatan. Kekuatan setan dan kekuatan doa. Mula-mula kulit muka terasa menebal, dan makin terasa tebal, dan mengeras. Lalu mulut, dan rahang, bergerak sendiri tak beraturan, tak berkesuaian, ke kanan dan ke kiri, naik dan turun, tanpa bisa dikendalikan. Semakin saya mengendalikannya, semakin keras organ-organ tubuh itu melakukan perlawanan. Terasa muka saya sudah hilang bentuk, mencong ke sana-ke sini tak beraturan.

Langkah kaki juga tak terkendali. Bergerak ke kamar, melangkah ke dapur, sempoyongan ke ruang lain tanpa bisa dikontrol. Seperti penari yang sedang trance (kesurupan), saya berputar-putar tanpa arah, tanpa tujuan, dengan tangan yang meliuk-liuk di udara, kemudian mengambil apa saja, menjotos dan membanting apa saja. Bukan hanya wajah, seluruh tubuh terasa seperti hilang bentuk.

Itulah kondisi ketika saya harus berjuang melawan kekuatan asing yang hendak menguasai dan mengendalikan tubuh. Beruntung, di saat-saat kritis seperti itu, kesadaran saya tetap terjaga, sepenuhnya —belakangan saya tahu dari orang-orang pinter, tanpa kesadaran yang terus terjaga, saya bisa mati atau celaka karenanya. Wallalu a’lam.

Berkat kesadaran yang masih terjaga itu, saya teringat zikir yang pernah diajarkan ketika masih mondok: zikirlah dengan hatimu, dengan rasamu, dengan napasmu, sampai zikir itu melumuri seluruh pori-porimu, mengalir bersama aliran darahmu.

Pada momen itulah saya kemudian diam, tak berusaha melakukan perlawanan dengan mencoba mengendalikan seluruh anggota tubuh. Lalu diam, hening, suwung. Lalu, perlahan-lahan kekuatan asing itu pergi. Dan saya mulai bisa mengontrol tubuh.

Itulah momen di mana saya pernah merasakan berkah kekuatan zikir.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan