Menyambung apa yang penulis utarakan dalam artikel bagian satu sebelumnya. Masih dalam konteks demokrasi dan gerakan yang salah kaprah, kali ini penulis hendak menyoroti dan menanggapi kesalahan berpikir kebanyakan masyarakat kita yang akhirnya menjadi sebuah celah bagi gerakan ekstrem yang hendak mencuci otak kita untuk “ngamuk” ke pemerintah atau ke sasaran tertentu.
Kita melihat bersama pengalaman Ahok yang dijatuhkan martabatnya secara politik oleh peralatan gerakan yang mengatasnamakan Islam, sebut saja gerakan 212 yang kebanyakan dikomandoi oleh FPI. FPI ini dihuni oleh orang-orang yang membaca sejarah secara keliru, baik itu sejarah Islam khususnya sejarah Indonesia.
Pemahaman yang keliru itu sengaja “tertutup” sehingga mereka tidak dapat menyerap pola berlogika yang lebih sehat. Problem itu tentu saja dipengaruhi oleh “hegemoni” yang kuat dari kekuasaan yang menggunakan mereka. Sebagai gerakan yang cukup keras mengkritik pemerintah, bahkan hingga akhir-akhir ini, FPI menganggap bahwa diri mereka benar, dengan mengangkat “imam besar” dan para tokoh agama yang diikuti umatnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada yang meluruskan pemerintah, makanya ada habaib, ustad, dan seterusnya yang kemudian menegur pemerintah. Tentu saja konteks itu keliru terutama dalam negara demokrasi seperti kita ini.
Terlibatnya agama dalam urusan politik akhirnya menyebabkan terjadi pecah belah dan adu domba. Jika dulu, misalnya di Aceh, dengan terlibatnya tokoh agama dalam memerangi penjajah, terutama kisah mengenai mereka yang menggunakan sastra bernama Hikayat Perang Sabil yang dihafal di luar kepala dan senantiasa diceritakan demi membangkitkan semangat jihad/berjuang, sampai-sampai Belanda memberangus karya sastra Perang Sabil tersebut. Jelas hal itu memiliki konteks yang berbeda dengan sekarang ini. Soekarno pernah memperingatkan kita, bahwa setelah menghadapi penjajah, yang lebih berat adalah menghadapi bangsa kita sendiri. Sebuah kalimat yang menyarikan dari sabda Nabi SAW yang berbunyi kira-kira, perang besar ini belum apa-apa dibandingkan perang manusia melawan hawa nafsunya sendiri.
Kembali ke persoalan kesalahan masyarakat kita akibat doktrin dari Orde Baru, yaitu benci PKI. Hal ini berpengaruh besar pada kita, sehingga kita enggan membaca dan melihat sisi lain dari sejarah yang dimanipulasi rezim Soeharto itu. Padahal jika kita bernalar atau berlogika dengan benar, kita akan membacanya sebagai “politik adu domba” ala-ala Belanda dulu melalui tokohnya yang diutus dan terkenal itu, Snouck Hurgronje, yang gagal mengadu domba dalam perang Aceh. Namun, sekali lagi konteks Aceh dan Indoensia sekarang sungguh lain sama sekali. Penulis tentu turut bersedih dengan apa yang terjadi pada Aceh sekarang ini.
Kebencian terhadap PKI itulah yang bersarang di “tubuh” dan “kepala” FPI, sehingga membutakan mereka daripada melihat sejarah, yang dulu tentu saja jika digambarkan secara logis, yang terjadi adalah kelompok dari kekuasaan (peralatan yang akhirnya hidup di rezim Orde Baru) memakai baju PKI kemudian membunuh Banser, begitu sebaliknya.
Adu domba semacam itulah yang bisa diterima secara logis sebenarnya, dan itu bisa dicek ke dalam sejarah jika kita semua mau, jika FPI mau. Belum lagi, analisis mengenai bantuan dari CIA yang penulis dengan yakin temukan dalam salah satu hasil wawancara dengan penyair Amerika, Allen Ginsberg. Jadi di Amerika hal itu diketahui oleh kalangan intelektual.
Rasanya kita perlu banyak mempelajari analisis-analisis dari Noam Chomsky, yang dengan kritis membeberkan kesalahan Amerika dalam campur tangan atas negara lain. Noam Chomsky tentu saja penting kita pelajari bersama, sebab dia adalah ahli bahasa, filsafat, dan tentu saja intelektual yang bersikap adil, dan selalu mengiritisi Amerika, bukan dengan cara demo-demo ala kita, tetapi secara sangat baik, melalui argmentasi dan bukti-bukti kongkret.
Akhirnya, kita bersama bisa lihat bercokolnya gerakan khilafah, baik itu dari HTI atau FPI, atau yang lainnya, adalah disebabkan kualitas pendidikan logika kita yang rendah, mutu belajar kita yang ketinggalan, kemalasan membaca sejarah, kemalasan berpikir rasional, kemalasan analisis, kelemahan sikap etis kita, dan seterusnya.
Maka, tidak ada cara lain untuk menghambat hal semacam itu kecuali pulang ke dalam rahim sejarah, membaca kembali, melatih pikiran agar bersikap adil, agar supaya otak kita tidak mudah untuk dimanipulasi dan diadu domba. Karena dengan adanya celah “salah paham” seperti tadi, akan mengaburkan jalan berlogika kita yang lurus. Dan lagipula, dalam masyarakat demokrasi kita perlu mengajukan kritik secara lebih elegan, menggunakan argumentasi akal sehat, bukan sekadar gradak gruduk demonstrasi, atau menyebarkan kebencian pada pemerintah tanpa adanya analisis yang tepat. Wassalam.