Aku punya seorang teman, Paijo namanya. Sesekali ia melukis. Tapi, sehari-harinya lebih dikenal sebagai belantik atau makelar lukisan. Ah, maaf, julukan itu mungkin akan terasa sarkas. Banyak orang menyebutnya dengan istilah yang lebih gagah: art dealer. Apa pun julukannya, yang aku tahu adalah, ia lebih sering melakukan jual beli lukisan pelukis lain ketimbang karyanya sendiri. Di rumahnya yang sempit, tersimpan ratusan lukisan pelukis-pelukis ternama, dan beberapa dipajang pada dinding rumahnya yang bercat putih.
Gambar kucing kembar di bawah bulan goresan tangan magis Popo Iskandar, misalnya, dipajang di dinding ruang tamu, persis menghadap ke pintu masuk. Di sebelah kanannya, ada gambar lelaki berjanggut menggesek biola di antara istri dan kedua anaknya, sapuan kuas tangan puitis Hendra Gunawan. Di samping kanan pintu masuk, tergantung dengan anggunnya sket Antonio Blanco yang menindih potret gadis telanjang dalam pigura sederhana berukuran kira-kira lima puluh sentimeter persegi. Di sebelah kiri pintu, menggantung gambar dua perempuan dalam wajah seperti pinang dibelah dua goresan tangan Joko Pekik. Di pojok kiri, di atas pintu yang menghubungkan dengan ruang belakang, bertengger gambar perempuan Bali yang sedang duduk menunggu entah, karya Patrianto. Tapi, yang paling menyita ruang adalah gambar bunga matahari, goresan tangan Paijo sendiri, karena ukurannya yang sangat besar.
Jika kita masuk ke ruang belakang, akan terlihat ratusan lukisan yang berjejer berdempetan berimpitan bersandar pada dinding, bertumpu pada lantai dingin. Malah, sebuah lukisan Sudjojono disurukkan begitu saja di kolong tempat tidur. Juga ada dua gambar tua di atas kanvas yang telah lebur menyatu dengan cat yang mengeras membatu goresan tangan sang maestro Affandi. Ada berpuluh-puluh lukisan karya perupa-perupa Bali dari berbagai tahun, dari berbagai generasi, dari berbagai aliran. Ada berpuluh-puluh obyek gambar mulai dari matahari yang teduh bersimpuh di kaki senja sampai bulan yang pucat lesi di sudut pagi. Ada kesumpekan yang tergambar dengan meriah. Ada banyak ruang yang sesak tapi tetap kosong karena tak pernah berisi apa pun; bingkai-bingkai itu menyekat, untuk kemudian menampilkan, ruang-ruang yang melompong.
Tapi jangan membayangkan hidup seorang Paijo berlimpah uang. Meskipun koleksi lukisan yang dimilikinya bernilai ratusan juta rupiah, bahkan mungkin miliaran rupiah, hidup Paijo tetap pas-pasan.Tidak seperti umumnya para art dealer yang bermandi uang dari jual beli lukisan. Tidak seperti para kolektor yang saban hari menyembunyikan kekayaannya dalam jepitan bingkai-bingkai yang mengundang berjuta puji itu. Paijo tetap menyimpan koleksi lukisannya di rumahnya yang mungil, rumah yang terasa terlalu sempit untuk begitu banyaknya barang-barang berharga itu. Jangankan akan berpikir tentang bagaimana membangun sebuah galeri yang megah sebagai tempat yang layak untuk menyimpan koleksinya, tentang apa yang akan dimakan esok hari pun ia sering harus berjibaku mencari utangan, kadang harus menggadaikan sejumlah perabot rumahnya.
Begitulah, hari-hari Paijo selalu suntuk. Selama hampir dua tahun belakangan, tak satu pun koleksi lukisannya laku terjual meskipun sudah ditawarkan ke banyak pemburu karya para maestro atau kolektor berduit. Dan usahanya yang lain juga berantakan. Tak satu pun ada yang bisa menghasilkan uang. Dan utangnya pun kian menggunung. Sepertinya, setiap langkah kakinya selalu tersandung dan terantuk apa saja. Sepertinya, semua jalan baginya telah buntu. Hari-harinya adalah sendu. Hari-harinya adalah ngilu. Hari-harinya adalah duduk terpaku, termangu. Paijo adalah sebuah sepi di tengah riuh-rendah deretan bingkai yang berebut ruang yang terasa kian sesak, yang terasa kian menindih. Keajaiban pun seperti tak akan pernah mampir.
***
Hanya seorang tamu yang bisa membuat tawa Paijo tiba-tiba meledak-ledak di tengah riuh-rendahnya deretan bingkai yang terus berebut ruang yang kian terasa sesak, yang terasa kian menindih.
Ia biasa dipanggil: Pak Sarwa. Entah siapa nama lengkapnya, aku lupa. Usianya kira-kira empat puluh lima tahun. Rambutnya lurus rada panjang, dan sedikit beruban. Gigi atas yang sebelah kanan gingsul, dan sebelah kiri ompong. Kulitnya yang coklat tua membungkus tubuhnya yang rada subur, dengan perut sedikit membuncit. Dari bibirnya yang menghitam sering tersembur suara yang menggelegar. Ia nyaris tak pernah berkata-kata dalam suara yang pelan, lembut, atau datar. Ketika sedang berbincang dengan orang, pasti suaranya akan lebih keras dari lawan bicaranya. Jika tertawa, lengkingannya pasti akan terdengar lebih dulu dan terhenti paling kemudian dibanding temannya mengobrol.
Entah untuk alasan apa, saban hari Pak Sarwa bertamu ke rumah Paijo. Bahkan, dalam sehari kadang ia datang lebih dari sekali. Jika sudah nongol ketika hari masih agak pagi, setelah mengaku mengurus ini-itu, biasanya ia akan datang lagi sore hari. Tapi bila datang hari sudah siang, Pak Sarwa baru akan pulang ketika hari menjelang malam. Ia selalu mencangklong tas hitam. Ia selalu datang dalam gegas, atau pura-pura selalu dalam kondisi terburu-buru— seperti orang penting yang selalu banyak urusan penting!
Begitulah saban hari, bila datang, sepeda motornya meluncur dalam kecepatan tinggi, lalu membelok ke halaman depan rumah Paijo yang juga sempit itu. Selalu, Pak Sarwa akan terlihat mengatur segalanya dalam gegas; ia memarkir sepeda motornya dan menaruh helm pada sadel dengan terburu-buru, hingga pernah suatu kali helmnya jatuh dan retak karena salah menempatkannya. Dari halaman depan, ia juga akan berjalan bersicepat saat memasuki rumah Paijo. Dengan gerakan yang juga gegas, ia akan menaruh tas hitamnya pada meja bundar, kemudian mencopot kaca mata hitamnya yang kemudian diletakkan di sebelah tasnya yang sudah teronggok kecapaian. Tas hitam dan kaca mata hitamnya yang tergeletak di meja bundar itu juga tampak lelah seperti terbebani urusan penting yang berjibun.
Seperti tas hitam dan kaca mata hitamnya, Pak Sarwa juga akan lekas melempar pantatnya pada kursi setengah bundar dengan dudukan yang terbuat dari anyaman rotan. Ia juga akan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang tingginya hanya sampai di bawah bahunya. Selanjutnya, Pak Sarwa akan menjorokkan kepalanya ke belakang, tersandar pada dinding. Sebelum memulai apa yang ingin dilakukan, ia akan menatap langit-langit ruang tamu sejenak, lalu mengembuskan napasnya panjang dan panjang dan ditutup dengan lenguhan. Seperti kerbau yang kelelahan karena seharian penuh membajak tanah sawah gersang.
***
“Ha-ha-ha…” begitulah kebiasaan Pak Sarwa memulai pembicaraannya dengan tawa yang tersembur-sembur. Padahal, sebelumnya tak ada satu pun peristiwa lucu, dan apa yang akan dikatakannya juga lebih sering tidak lucu. Tapi, itulah yang menyebabkan tawa Paijo tiba-tiba meledak-ledak. Bukan karena apa yang dikatakan atau disampaikan adalah sebuah lelucon, melainkan cara Pak Sarwa setiap kali memulai pembicaraan bagi Paijo adalah sebuah lelucon itu sendiri.
“Kamu tahu, Paijo…” dan inilah sebenarnya, pada suatu hari, apa yang hendak dikatakan Pak Sarwa yang dimulai dengan tawa yang tersembur-sembur itu. “IQ anak saya itu ternyata di atas rata-rata.”
“O, ya?” jawab Paijo setelah berhasil menyembunyikan tawanya.
“Lo, iya. Dan ini pun, anehnya, saya juga baru tahu— bahwa anak saya memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Maka kini saya sadar, anak saya harus saya masukkan ke sekolah yang bonafide, sekolah unggulan.”
“Ya, bagus itu. Memang harus begitu, Pak Sarwa,” begitulah, Paijo selalu membumbui segala cerita Pak Sarwa.
“Untungnya, Jo, saya sudah menyiapkan segala kebutuhan anak saya sejak dini,” kata Pak Sarwa sambil mengambil sebatang sigaret, lalu menyulutnya dengan sangat ekspresif, pertanda bahwa cerita Pak Sarwa akan semakin serius, semakin panjang, semakin berbuih; dan Paijo mulai bersiap diri untuk menjadi pendengar yang baik. Dan benar. Cerita berlanjut pada peristiwa penutupan sebuah usaha atau bisnisnya di Jakarta. Lalu seluruh asetnya yang bernilai hampir semiliar rupiah itu dijual, kemudian disimpan dalam bentuk deposito. “Begitulah, Jo, bunga deposito saya sudah cukup untuk sekadar menutup biaya sekolah anak saya sampai ke perguruan tinggi.”
Tapi keesokan harinya Paijo dibuatnya bengong. Hari itu, tidak seperti biasanya, Pak Sarwa tidak memulai pembicaraannya dengan tawa yang tersembur-sembur. Ia memang tetap datang dalam gegas dengan gerakan yang terburu-buru, namun dengan mimik yang kusut. Setelah menyurukkan tas hitam dan kaca mata hitamnya di atas meja bundar, ia membanting pantatnya pada kursi yang biasa diduduki. Kakinya ia julurkan lurus menggantung di lantai. Tubuhnya disandarkan dalam diam. Agak lama ia berdiam diri. Tercenung. Dan Paijo hanya diam menunggu.
“Jo, tolong ya, bisa pinjami saya uang Rp 200 ribu untuk bayar SPP anak saya.”
Paijo makin terdiam. Bengong.
“Benar, Jo. Ini sangat mendadak. Ini benar-benar darurat. Tidak biasanya saya lambat membayari uang SPP anak saya. Tolong saya, pinjami Rp 200 ribu saja,” Pak Sarwa harus mengulang perkataannya. Tapi Paijo masih diam. Masih bengong. Juga bingung. Terlintas di benaknya cerita Pak Sarwa sehari sebelumnya tentang penjualan seluruh aset usahanya yang nilainya hampir semiliar rupiah, yang kini disimpannya dalam bentuk deposito, yang bunganya saja cukup untuk menutup biaya sekolah anaknya hingga ke perguruan tinggi. Paijo membatin, jika cerita Pak Sarwa benar, kenapa untuk membayar SPP yang cuma Rp 200 ribu saja harus mencari utangan.
Setelah agak lama terdiam dan bengong, Paijo bergegas melangkah ke belakang. Bukan ke kamar tidur untuk mengambil uang, melainkan ke kamar mandi, lalu mengelus dan memijit perutnya yang mengeras lantaran menahan tawa, dan kencing sebanyak-banyaknya.
***
“Ha-ha-ha…”
Dan, lihatlah, Paijo mulai ketularan Pak Sarwa. Ia mulai biasa ngakak dulu sebelum berbicara. “Ha-ha-ha… sehari sebelumnya ia mendongeng sampai berbuih tentang depositonya. Eh, kemarin nongol cuma mau pinjang uang Rp 200 ribu. Saya bengong. Saya heran. Pikir saya, apa dia lupa soal depositonya itu. Ha-ha-ha…”
Aku tidak tahu benar, apakah saat itu Paijo memberinya pinjaman atau tidak. Aku juga tidak merasa perlu menduga-duga soal itu. Bukankah Paijo sendiri juga sedang kesulitan uang? Dan Paijo sendiri sepertinya juga tak hendak bercerita soal itu. Jika aku berkunjung ke rumahnya, sehari setelah Pak Sarwa datang hendak pinjam uang itu, Paijo lebih banyak bercerita soal apa saja tentangnya. Tentang ceritanya yang panjang dan semakin panjang. Tentang dongengnya yang berbuih dan semakin berbuih. Dan Paijo juga mulai sering meniru gaya Pak Sarwa dalam bercerita, dalam mendongeng. Diawali dengan tawa yang meledak-ledak, ditutup dengan gelak yang melengking.
Dan Paijo memang tidak membual. Ketika pada suatu siang aku bertandang ke rumahnya, aku bertemu dengan Pak Sarwa yang sedang mengobrol dengan Paijo. Semula aku cuma menjadi pendengar yang baik. Namun, pada akhirnya aku juga terlibat obrolan, dan secara khusus, pembicaraan dengan Pak Sarwa. Ia banyak bercerita tentang masa lalunya. Tentang pergulatan hidupnya ketika kuliah pada sebuah institut seni di Jakarta. Tentang perjuangan dan pembelaan terhadap idealismenya dan pengalamannya disekap tentara ketika menjadi wartawan. Tentang bisnisnya di Jakarta yang berkembang pesat tapi kemudian ditinggalkannya karena alasan nurani dan idealisme. Dan tentang kesibukannya tahun-tahun terakhir sebagai pekerja seni. Juga tentang apa saja! Pendek kata, Pak Sarwa adalah tokoh yang serba! Tapi kita tidak pernah tahu apa sesungguhnya pekerjaan atau profesi Pak Sarwa. Itulah kesan yang aku tangkap setelah beberapa kali bertemu dengannya di rumah Paijo.
Jika, misalnya, kita bercerita tentang sebuah peristiwa atau pengalaman pribadi, sebelum kita sempat mengakhirinya Pak Sarwa pasti akan menyela, dan menindih cerita kita dengan cerita atau pengalaman tentang dirinya. Pendeknya, apa pun yang akan kita ceritakan dan telah kita alami, Pak Sarwa pasti akan mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang mengalami dalam cerita kita, dalam pengalaman kita. Ketika aku bercerita tentang bisnis baruku, misalnya, ia akan menyela dan kemudian bercerita panjang lebar tentang usahanya sendiri. Ketika aku bercerita tentang penulisan cerita pendek atau puisi, misalnya, ia juga akan mendongeng tentang puisi-puisi dan cerita pendeknya yang pernah dimuat entah di mana. Ketika aku bercerita tentang pacar gelapku pun, Pak Sarwa langsung menyela dengan berbagai kisah tentang sekian banyak perempuan yang terus mengejarnya. Ketika aku bercerita tentang sejumlah kawan paranormalku, ia langsung menyela dengan sekian dongeng tentang pengalaman-pengalaman mistik dan kemampuan supranatural yang pernah dimilikinya. “Dengan hanya lambaian tangan, seekor cecak jatuh menggelepar,” katanya. Dan ketika aku kehabisan cerita, ia masih saja terus nyerocos mendongeng dan mendongeng.
“Saya terkadang sebal dan muak. Tiap hari ia datang, dan selalu membawa cerita yang baru yang saya tak pernah bisa tahu kebenaran ceritanya,” Paijo suatu hari mengeluh ketika aku bertandang pada suatu sore.
“Lo, memangnya kenapa?”
“Ya… tiap hari ke sini, tapi bawaannya gombal melulu.”
“Kamu jangan senewen, Jo. Itulah humor Tuhan.”
“Tapi kalau ceritanya gombal melulu, lama-lama bisa rusak telingaku.”
“Jo, sejujurnya, kita sebenarnya memerlukan lebih banyak orang seperti Pak Sarwa itu.”
“Lo, kok?”
“Iya. Sekarang ini semua orang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Hingga, jika tanpa kepentingan, jika tidak dengan kepentingan yang jelas, kita hampir tak bisa lagi menemui seseorang. Bayangkan, aku pernah menelepon seorang kawan lama, dan harus melalui sekretarisnya. Ketika aku tidak menjelaskan apa urusan dan kepentinganku, dan hanya kukatakan bahwa aku cuma ingin mengobrol dengannya, si sekretaris bilang bosnya tak ada waktu. Lagi sibuk.”
“Ya memang zamannya seperti ini.”
“Ya, tapi bukankah kita tetap memerlukan ruang kosong untuk hidup. Kita tetap butuh seorang teman yang tanpa pretensi, teman yang tanpa kepentingan, tanpa urusan. Kamu tahu, Jo, rasanya aku tersiksa karena sudah lebih dari tujuh bulan tak pernah terlibat obrolan dengan siapa pun. Obrolan tentang apa saja, di luar urusan kerja, di luar ambisi pribadi. Aku butuh obrolan, yang meskipun gombal, tapi bisa membuat tawa meledak-ledak. Sejujurnya, kita butuh lebih banyak tertawa.”
“Ya kalau begitu tiap hari ke sini saja, bisa bertemu Pak Sarwa.”
“Kenapa tidak? Aku, kan, cuma butuh tertawa.”
***
Hari itu adalah sebuah siang yang terik. Angin yang bertiup kencang pun tak mampu menepis terik matahari yang menyengat. Dan duduk-duduk di rumah Paijo yang terasa sempit tentu hawa gerah kian mengimpit. Kerongkongan juga terasa kian kering karena di rumah Paijo tak tersedia minuman dingin. Paijo malah menyuguhi segelas kopi panas. Tapi beban hidup memang bisa terbawa terbang oleh deraian tawa yang lepas. Obrolan kami, aku dan Paijo, terhenti ketika ada sebuah sepeda motor membelok ke halaman. Pak Sarwa tak pernah absen.
Seperti biasa, ia memarkir sepeda motornya dengan gegas, lalu melangkah cepat masuk rumah. Paijo segera beranjak berdiri karena sedari tadi duduk pada kursi yang biasa diduduki Pak Sarwa. Paijo pindah ke kursi lain di sebelahku, dan aku menyilakan Pak Sarwa duduk pada kursi yang biasa didudukinya. Dengan gerakan yang ringan dan gegas, ia menurunkan tas hitam dari pundaknya, lalu menaruhnya pada meja bundar. Kemudian kaca mata hitamnya diletakkan di sebelah tasnya. Ia melempar pantatnya pada kursinya, bersandar, dan menghela napas panjang-panjang. Ia lalu diam sejenak, menerawang dengan mimik kaku. Kami, aku dan Paijo, hanya menunggu dalam diam. Tak lama kemudian Pak Sarwa mengeluarkan sebungkus sigaret dari saku bajunya yang basah oleh peluh, dan ditaruhnya di meja. Setengah berdiri, ia merogoh sakunya yang kanan, dan mengeluarkan selembar sapu tangan. Setelah mengelap peluh yang membasahi wajah dan batang lehernya, masih dalam diam ia menyulut sebatang rokok. Ia mengembuskan asapnya ke atas, dengan bibir dimoncongkan, dengan muka ditekuk.
Kami terus membisu. Menunggu dalam diam.
“Ha-ha-ha…”
Kami tersentak karena tanpa didahului perubahan ekspresi atau raut muka tiba-tiba tawa Pak Sarwa meledak, tersembut-sembur. Tapi meskipun pada mulanya terkejut, kami akhirnya ikut ngakak juga walau Pak Sarwa belum memulai kata-katanya.
“Ha-ha-ha… kamu tahu, Jo,” suara Pak Sarwa menghentikan tawa kami. “Ketika di gedung kesenian tadi, aku baru tahu bahwa selama ini aku memiliki kemampuan dan bakat mendongeng yang luar biasa. Dan selama ini aku tidak pernah menyadarinya.”
“Apa itu, Pak Sarwa?” sela Paijo.
“Ha-ha-ha… kamu tahu, Jo, ternyata aku punya kemampuan bicara yang luar biasa, punya bakat jadi tukang cerita yang mengesankan, punya bakat jadi tukang dongeng yang hebat! Itu aku warisi dari nenekku.”
“Ha-ha-ha…” langsung saja tawa kami bertiga tersembur ke mana-mana, meledak membahana sampai ke dinding-dinding tempat sekian banyak lukisan koleksi Paijo bergelantungan. Terasa, dinding-dinding itu bergetar. Lukisan-lukisan yang bergelantungan bergoyang. Dan sejenak Paijo pun lupa pada kekayaan yang dimilikinya, juga pada kesulitan yang membelitnya.