Sore menjelang senja. Sampean lihat, betapa mesra sepasang burung peking bertengger jejer di sebatang ranting di sela kerimbunan dedaunan sepohon mahoni yang tumbuh subur di pinggir jalan raya itu. Sementara si burung betina memandangi sepohon mangga yang tumbuh subur di pekarangan sebuah rumah di sisi kirinya, pasangannya itu memandangi cakrawala yang sarat sapuan aneka warna di sisi kanannya.
Tidak lama kemudian, pada saat yang bersamaan, mereka saling menoleh sembari menyebut asma yang sama dengan nada sama-sama penuh kekaguman, “Gusti Allah!” Karena sejurus kemudian lagi-lagi mereka ngomong secara bersamaan, si burung jantan memberi kesempatan pasangannya itu mengutarakan maksud terlebih dahulu.
“Lihat,” kata si burung betina sembari sayap kirinya menunjuk pohon mangga itu, “betapa Maha Pemurah Gusti Allah Ta’ala menumbuhkan dedaunan itu: yang baru trubus tampak kemerahan di depan daun-daun yang lebih lama tampak merah kehijauan di depan daun-daun yang lebih lama lagi tampak hijau royo-royo. Sementara daun-daun yang tampak menguning—beranjak kering—yang boleh jadi tidak lama lagi luruh ditiup angin, cuma satu-dua di antara mereka. Dari sini saya menyimpulkan bahwa agaknya setiap saat Dia lebih senang menumbuhkan ketimbang meluruhkan mereka…”
Sejenak ia berhenti, memandangi pasangannya mengangguk-angguk. Kemudian ia melanjutkan, “Di samping itu, bukankah perpaduan warna-warna mereka menjadikan pohon mangga itu tampak begitu memesona—begitu cantik?”
“Cantik seperti dirimu,” sahut si burung jantan yang spontan dan tidak dinyana itu—untuk beberapa saat—menjadikannya tersipu malu. Malu-malu burung, barang tentu.
Kemudian sembari menunjuk ke arah cakrawala dengan sayap kanannya, si burung jantan berkata, “Sampean lihat betapa lembut Gusti Allah Ta’ala dalam mengatur gradasi yang tampak memisahkan sekaligus menyatukan berbagai warna langit itu: tampak sebagian kebiruan, menipis terus menipis memisah-menyatukan dengan yang tampak biru muda menipis terus menipis hingga tampak keputih-putihan…”
Sembari manggut-manggut burung betina itu menyahut, “Ya, betapa lembut pengaturan-Nya…”