Pagi hari sudah tiba di Pasar Nglamuk, namun dia tidak datang sebagai yang pertama. Dia kalah cepat dengan para pedagang yang sedari dini hari tadi sudah sibuk menata dagangannya. Apalagi hari itu hari Ahad Manis, hari pasaran teramai untuk Pasar Nglamuk.
Keramaian pagi hari itu tidak mengusik tidur Gutho, begitu lelaki paro baya yang dikenal mengalami gangguan jiwa ini dipanggil. Ia masih tidur dengan lelapnya di depan Ruko No. 11, Toko Kelontong “Rejeki Abadi”. Si Gutho beberapa kali tertangkap Satpol PP. Namun entah bagaimana rimbanya, dia bisa kembali ke Pasar Nglamuk lagi. Uniknya, dia tidak mau tidur selain di depan Ruko No. 11. Pernah suatu saat ketika halaman ruko itu sedang dipasang blok paving, Gutho nekat tidur di jalanan depan toko milik Babah Achong itu.
Karena tidur di tengah jalan, ia hampir saja terlindas truk sampah Kang Taryo. Untung saja Kang Taryo yang sudah limabelas tahun malang melintang di dunia supir-menyupir cekatan menginjak rem sehingga Gutho yang masih mendengkur selamat dari roda-roda truk yang tak tahu belas kasihan.
Kembali ke pagi Ahad Manis. Untuk ke sekian-kalinya, Babah Acong membuka pintu ruko dan menyiramkan air kepada Gutho yang masih bergumul dengan mimpi.
“Byurr…,” suara air menyiram Gutho yang sedang nikmat-nikmatnya bergumul dengan mimpi.
Menyadari akan dihardik dan diusir, ia bangun dan berlari. Seperti biasa ia akan lari terbirit-birit diiringi makian Babah Achong dalam bahasa campuran Jawa-Mandarinnya.
“Chang ching chung cheng chong… bla bla bla… dasar wong gemblung!” begitu barangkali jika para tukang becak yang mangkal di dekat toko Babah Achong ketika disuruh mentranskip umpatan Babah Achong kepada Gutho.
Pengusiran Gutho dan umpatan yang menderanya menjadi hiburan rutin pagi hari bagi para tukang becak itu. Hal tersebut seakan sudah menjadi bagian kegiatan Pasar Nglamuk yang tak pernah absen. Anehnya, Gutho tak pernah kapok meski harus disiram tiap hari dan mendapat bonus cacian berbahasa impor.