Saat mentari hampir tenggelam di peraduan, senyum Mbah Setu terkembang menyertai putaran roda sepeda tuanya. Bulir-bulir keringat telah membasahi kaus lusuh yang ia kenakan. Jalan becek dan genangan air berkecipak karena tergencet ban sepeda pancalnya. Beberapa kali ban yang tak lagi bermotif itu selip dan bahkan nyaris membuatnya terjungkal. Tapi Mbah Setu tak hirau, terus menggenjot pedal yang berpacu dengan angin sore. Kawanan agas yang berseliweran di depan wajah pun tak mengganggu suasana hatinya, Mbah Setu terus melaju mengejar waktu.
Selawat tarhim mulai bersahutan dari corong-corong musala di beberapa sudut kampung yang ia lewati. Dan setiap teringat kata-kata Sukari waktu di ladang tadi, sudut hati Mbah Setu selalu berbunga-bunga. Tak hanya itu, sesekali bibirnya pun menyunggingkan secercah senyum. Sebuah harapan yang siang-malam mengeram dalam ruang kepalanya akan berubah menjadi nyata dalam hitungan beberapa hari ke depan. Kata-kata Sukari itu terus terngiang-ngiang di telinga, menyejukkan hati, meluruhkan segala letih yang mendera tubuhnya setelah seharian bekerja di ladang.
“Surlopo nge-bel aku tadi pagi, Mbah. Katanya mau pulang bulan Maulud ini. Sekarang bulan Sapar akhir nggeh, berarti beberapa hari lagi dia akan sampai rumah, Mbah,” ucap Sukari, memberi tahu ketika berjumpa dengan Mbah Setu di ladang tadi siang. Seketika dada Mbah Setu berdebar bahagia.
Di kampung pesisir itu tidak semua orang punya gawai. Adapun, tetangga Mbah Setu bernama Sukari itu punya seorang putra yang masih sekolah kelas sebelas di SMA Harapan. Pembelajaran daring yang akhir-akhir ini diterapkan oleh sekolah-sekolah mau tak mau membuat Sukari membeli gawai pintar untuk menunjang sekolah putranya. Seekor kambing bunting pun terjual di pasar untuk membeli gawai.
Kedua kaki Mbah Setu terus mengayuh pedal. Lelaki tua itu baru sampai rumah ketika kumandang adzan berakhir di musala berjarak lima rumah dari kediamannya. Ia lantas mengetuk pintu beriringkan salam. Mbah Nem menjawabnya dengan suara lirih. Perempuan yang dinikahi Mbah Setu hampir lima puluh tahun lalu itu telah sempurna mengenakan mukena. Dia duduk bertimpuh sambil memutar tasbih di atas sajadah lusuh berbau apek; menanti Mbah Setu datang untuk menjadi imam salatnya. Kakinya sering terasa linu untuk melangkah ke musala.
“Sebentar Nem, mandi dulu,” tukas Mbah Setu sembari mengambil sarung yang tergantung di paku sebelah tikar tempat mereka biasa melakukan salat.
Langkah kaki lelaki tua yang masih kukuh itu tak luput dari penglihatan Mbah Nem. Ia menguntit Mbah Setu hingga hilang di daun pintu menuju sumur belakang dengan kedua belah matanya. Ada yang berbeda dari perangai suaminya, dia tampak begitu riang. Padahal, beberapa hari lalu orang yang menjadi bapak dari anak semata wayangnya itu berdecih berkali-kali dengan diiringi suara-suara mengeluh, bahkan sejak pertama kali melangkahkan kaki ke dalam rumah sepulangnya dari ladang.
Bukan tanpa alasan, pasalnya parit yang dia buat melilit-lilit bukit demi bisa mengairi ladangnya itu jebol dan terseret longsornya tanah. Musim penghujan yang baru saja datang tiba-tiba menumpahkan air seisi langit. Perjuangan Mbah Setu untuk menggali saluran air selama berbulan-bulan pun seakan sia-sia.
“Besok kita bersihkan sumur di belakang. Rumput di depan rumah juga sudah saatnya dicabuti. Pokoknya dalam beberapa hari ini rumah kita sudah harus bersih,” ucap Mbah Setu usai salat yang sontak membuat Mbah Nem bertanya-tanya.
“Memangnya mau ada tamu dari mana Pak? Ndak biasanya ngajak bersih-bersih… ,” sahut Mbah Nem mengernyitkan dahi yang memang sudah penuh kerutan itu.
Maka mengalirlah cerita dari mulut Mbah Setu. Surlopo yang lama merantau ke Kalimantan akan pulang, begitulah cerita yang diriwayatkan oleh Supri putra Sukari. Seketika senyum bahagia terukir di bibir Mbah Nem. Air matanya sampai tumpah saking senangnya menerima kabar baik itu. Tapi senyum itu kemudian memudar tatkala dia teringat akan sesuatu.
“Tapi katamu parit irigasi menuju ladang telah jebol. Lopo pasti tak akan mau tinggal di sini lagi; tak ada sumber penghidupan seperti yang dia dapatkan di Kalimantan,” tukas Mbah Nem sembari menghela napas panjang.
Ucapan Mbah Nem mengganjal di benak Mbah Setu. Lelaki tujuh puluh lima tahun itu pun memutar otak untuk menghilangkan keresahannya. Bersama istrinya dia terus berbincang sembari menunggu kantuk di pembaringan. Lalu sebuah usulan muncul dari pemikiran Mbah Nem. Uang hasil penjualan gaplek beberapa saat yang lalu akan ia gunakan untuk mengupahi Sukari guna membenahi parit yang jebol.
Keesokannya, Sukari dan Mbah Setu bahu membahu membenahi saluran air. Dengan usaha yang keras dalam dua hari kerusakan pun bisa diperbaiki. Harapan Mbah Setu agar anaknya mau tinggal di rumah untuk menemani hari tuanya kini kembali menyala.
Surlopo merantau ke Kalimantan hampir dua puluh tahun yang lalu. Kesulitan ekonomi di kampung pinggiran ini memaksanya untuk melakukan hal itu. Tanah yang dimiliki orang tuanya begitu tandus, tak mampu memberi kemakmuran seperti yang diinginkannya. Namun mau bagaimana kehendak kehidupan harus disangkal; kebahagiaan yang didapatkan Surlopo di perantauan harus dibarter dengan kesedihan kedua orang tuanya di kampung halaman.
Sementara itu waktu terus berlalu. Hari kedatangan Surlopo telah tiba. Anak semata wayang yang telah sekian lama menghilang itu disambut dengan penuh kegembiraan oleh kedua orang tuanya. Air mata Mbah Setu dan Mbah Nem pun berleleran karena kesulitan melukiskan kebahagiaan. Surlopo sendiri tidak berlebihan dalam mengekspresikan kebahagiaannya bisa kembali menjumpai orang tua yang lama ditinggalkan.
Akan halnya dengan kedua anak Surlopo, mereka tidak menunjukkan perangai berlebihan kalau tidak bisa disebut biasa saja. Pertemuan pertama kali yang berarti tidak memiliki ikatan kenangan di masa lalu dengan kakek dan neneknya itu membuat mereka berekspresi datar-datar saja.
“Panas sekali di sini, Nek. Apakah ada air dingin?” tanya anak Surlopo yang kedua melihat neneknya menyodori teh panas. Udara di tengah musim penghujan memang cenderung panas, membuat dahaga seringkali mencuat.
Mbah Nem pun menyahut pertanyaan cucunya itu disertai dengan deraian tawa, “Nenek nggak punya kulkas, Nduk. Biar dibelikan kakekmu di toko sebelah musala. Di sana semua ada,” tukas Mbah Nem yang ternyata ditanggapi cucunya dengan suara berdecih penuh kekesalan.
Demi menyenangkan cucunya, Mbah Setu berangkat ke toko untuk membeli minuman dingin. Melihat minuman yang dibeli kakeknya tak lebih seperti minuman yang biasa ia minum di rumah, bungsu Surlopo itu tak segera meminumnya. Dan justru kelapa muda yang berada di samping rumahlah yang mengundang rasa dahaganya. Mbah Setu pun memanjat pohon kelapa yang tinggi menjulang itu. Tak kurang setandan kelapa muda ia turunkan. Anak cucu dari jauh itu lantas berpesta buah kelapa muda. Di sela-sela kebahagiaan itulah Mbah Setu menyampaikan keinginannya.
“Sekarang ladangnya sudah bisa diairi, Le. Sudah bisa dibuat jadi sawah. Tinggallah di sini. Garaplah sawah itu. Padi atau sayur-sayuran bisa kau tanam di sana,” ucap Mbah Setu menghentikan senda gurau keluarga besarnya. Suasana senyap pun menyergap. Surlopo seperti hendak berkata sesuatu, tapi ternyata dia tak menyahut hingga beberapa lama.
“Begini Pak. Aryo hendak kuliah. Tak tanggung-tanggung kepintaran cucu jenengan ini. Dia diterima di jurusan kedokteran. Nanti kalau lulus dia bisa jadi dokter,” ucap Surlopo setengah berbisik.
Sontak Mbah Setu memeluk cucu lelakinya itu. Tak dinyana, orang sebodoh dirinya akan memiliki cucu seorang dokter. Orang sedesa akan mengelu-elukan dirinya. Rasanya segala lelah dan kegelisahan lantaran berpisah dengan anak-cucu selama ini terobati dengan berita gembira ini.
“Untuk itu kami datang ke mari, Pak. Kami minta doa restu. Doakan cucumu ini nanti lancar kuliahnya,” pinta Surlopo bersungguh-sungguh seraya menyeruput es degan.
Mbah Setu dan Mbah Nem mengangguk-angguk bangga.
“Selain minta doa, kami juga minta dukungannya. Minta bantuannya,” imbuh Surlopo.
Kening penuh keriput kedua orang tua itu semakin berkerut-kerut karena mengernyit untuk memahami ucapan anaknya yang baru pulang dari Kalimantan itu.
“Biaya masuk kuliah kedokteran begitu mahal, Pak, Mak. Butuh uang ratusan juta.”
Dahi kedua orang tua itu semakin tampak keriput.
“Jauh-jauh kami datang ke sini bermaksud meminta sepetak lahan di ladang itu untuk tambahan biaya masuk kuliah,” Surlopo terus berkata-kata.
Mbah Setu dan istrinya saling beradu pandang untuk menyelami pikiran anaknya. Dan seketika itu raut bahagia yang menghiasi wajahnya berangsur-angsur memudar. Ternyata harapan untuk ditemani anaknya di penghujung usia ini semu belaka. Harapan-harapan yang disemai hari demi hari itu ternyata tak lebih dari sekadar harapan senyap. Tiba-tiba langit biru tersaput mendung gelap. Suasana alam semesta berubah muram, semuram suasana hati Mbah Setu dan istrinya.
Bantur, 15/10/20.
Mbah Setu..
anak yang membahagiakan, sukses dirantau atau dekat untuk selalu bisa merawat ortu?*
ya..tapi karena tuntutan profesi, ekonomi, dan lain sebagainya, hidup harus memilih dan berisiko dikeduanya. thats a life..
*kalau bisa, sukses dan dekat dengan ortu, hehehe..bukan begitu, Kang Bisri?
Nggeh leres. Semoga sukses di tanah sendiri….