Hari Antikorupsi: Tanggal untuk Mengingat, Bukan Mengulang

Hari Antikorupsi Sedunia, yang kita peringati tiap 9 Desember, lahir dari rasa malu umat manusia. Tahun 2003 dunia berkumpul—bukan untuk merayakan peradaban, tapi untuk mengakui betapa larisnya dosa bernama korupsi. Dari sana lahirlah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), konvensi PBB yang mencoba menghentikan manusia agar tidak terus memakan masa depan anak-anaknya sendiri.

Kini, setelah dua dekade, dunia menemukan bahwa korupsi tak kunjung menurun: di banyak negara berkembang, ia justru makin rapi, makin sistematis, makin inovatif. Termasuk di negeri kita.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

UNCAC adalah dedikasi global: perjanjian yang dibuat agar negara-negara berhenti memperlakukan uang rakyat seperti camilan sore. Ini bukan ide satu orang bijak, tetapi hasil tekanan moral seluruh dunia—karena semua negara punya koruptor, hanya ukurannya yang berbeda-beda.

Indonesia pun mengalami fenomena serupa: korupsi bukan lagi sekadar “penyelewengan”, tapi ekosistem—menghubungkan pejabat, kontraktor, makelar proyek, bahkan oknum penjaga hukum yang mestinya menjaga moral.

Indonesia menandatangani konvensi itu pada 2003 dan meratifikasinya pada 2006. Sayangnya, tanda tangan sering lebih rajin dari tindakan. Kita mengunci pintu depan korupsi, tetapi meninggalkan jendela, ventilasi, dan atap terbuka lebar.

Faktanya, hampir setiap sektor pernah tercoreng: bansos, pendidikan, kesehatan, tambang, kehutanan, bahkan lembaga agama. Ini menunjukkan betapa korupsi sudah menjadi “cara hidup”, bukan lagi kejahatan biasa.

Hari Antikorupsi Sedunia seharusnya menjadi alarm keras, tapi di negeri ini ia sering terdengar seperti ringtone ponsel yang sudah tak ada baterainya. Kita ramai kampanye, ramai seminar, ramai baliho, tapi sepi kesadaran. Kadang kita sibuk mengutuk koruptor, tapi lupa bahwa sebagian masyarakat masih bangga “punya kenalan orang dalam”.

Fakta di lapangan: survei-survei perilaku sosial menunjukkan hampir 40% responden menganggap “suap kecil” itu wajar. Artinya, penyakitnya bukan hanya di pejabat—tapi sudah berakar dalam mental kolektif.

Padahal akibat korupsi itu bukan hanya kerugian negara; ia memindahkan nyawa-nyawa dari kelayakan ke kelaparan. Di sinilah kata-kata Syekh Mutawalli Asy-Sya‘rawi menggema seperti tamparan yang menembus zaman:

“Jika kamu melihat ada orang miskin di negara orang Islam, maka ketahuilah ada orang kaya yang telah mengambil haknya.”

Dan betapa tepatnya kata itu—seolah beliau sedang bicara langsung kepada kita. Karena, faktanya: setiap rupiah korupsi memproduksi kemiskinan baru.

Bukti bahwa Indonesia tertinggal bukan karena gagal berdoa, tetapi karena gagal jujur. Anggaran untuk mencerdaskan bangsa bocor, anggaran untuk memakmurkan desa disunat, anggaran kesehatan dipreteli.

Dan lebih menyakitkan, nilai korupsi proyek sering melebihi biaya membangun fasilitas publik: kadang “fee gelap” lebih besar daripada harga semen.

Bangsa yang ingin maju harus mengutamakan pendidikan. Tapi bagaimana kita hendak berlari jika uang untuk membangun perpustakaan malah membangun kolam renang pejabat? Bagaimana generasi muda hendak cerdas jika anggaran laptop sekolah tersesat di rekening pribadi seseorang yang bahkan tidak bisa mematikan capslock?

Fenomena paling pahit: program digitalisasi sekolah berkali-kali bocor—bukan gagal teknologi, tapi gagal moralitas.

Banyak sekolah roboh bukan karena badai, tapi karena semennya tinggal setengah dan besinya tinggal doa. Banyak guru honorer hidup tersendat bukan karena tidak kompeten, tapi karena gajinya kalah cepat dengan tangan-tangan rakus di meja anggaran.

Data umum menunjukkan: kebocoran anggaran pendidikan di beberapa daerah mencapai 20–40%. Itu bukan kecelakaan—itu perencanaan kriminal.

Para koruptor tak pernah sadar bahwa setiap rupiah haram yang mereka ambil adalah hak pasien yang tak bisa berobat, hak murid yang harus belajar di lantai, hak petani yang gagal panen, dan hak rakyat kecil yang tak punya suara. Mereka tersenyum saat ditangkap, seakan-akan korupsi hanyalah salah kostum pesta.

Fenomena koruptor tersenyum atau melambaikan tangan saat digelandang menjadi simbol tragis betapa kejahatan ini tidak lagi dianggap memalukan.

Di negara lain, pejabat mundur hanya karena salah bicara. Di negara ini, pejabat tertawa meski salah mengambil uang. Dunia sudah punya dedikasi memberantas korupsi, tapi kita di sini masih berdedikasi membuat alasan. Bahkan setan pun mungkin menggeleng: “Saya tidak sevandal itu.”

Dan yang lebih menyesakkan: banyak kasus besar tak selesai; hilang, mengecil, atau menguap karena pergantian kekuasaan.

Hari Antikorupsi Sedunia adalah cermin besar yang seharusnya memaksa kita melihat diri sendiri. Namun cermin itu sering pecah—bukan karena pecahan kaca, tapi karena kepentingan yang tak mau memantulkan wajah aslinya. Yang tersisa hanyalah serpihan untuk hiasan pidato.

Faktanya, tanpa dorongan moral dari masyarakat sipil, pemberantasan korupsi cenderung melemah, kehilangan taring, dan berubah menjadi slogan.

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan kriminal; ia telah menjadi kisah cinta gelap antara kekuasaan dan kelemahan moral. Setiap kali kita berharap perubahan, selalu saja datang musim baru skandal yang lebih dramatis dari sinetron prime time.

Karena itulah bangsa ini membutuhkan gerakan moral yang radikal, bukan sekadar renungan—sebuah ketok palu kultural yang mengguncang kesadaran publik.

Maka peringatan ini bukan sekadar tanggal. Ia adalah doa yang tertahan di tenggorokan bangsa: semoga hari ketika rakyat tidak lagi dizalimi hartanya benar-benar tiba. Dan semoga kata-kata Syekh Sya‘rawi tidak menjadi kutukan abadi bagi kita. Sebab selama orang kaya terus mengambil hak orang miskin, Indonesia akan tetap berjalan… tapi tidak pernah benar-benar bangkit.

Di sinilah, kekuatan masyarakat sipil (civil society) seperti Nahdlatul Ulama (NU)—dengan wibawa moral, jaringan santri, pesantren, ulama, dan sejarah perjuangannya—perlu menginisiasi Gerakan Nasional Moratorium Korupsi. Sebuah gerakan untuk menghentikan normalisasi suap, pungli, amplop, makelar proyek, dan budaya “asal ada jatah”.

Gerakan untuk membuat anti-korupsi bukan sekadar hukum negara, tapi hukum moral umat. Sebab jika NU tidak memulai, siapa lagi yang cukup dipercaya rakyat untuk mengetuk pintu nurani bangsa?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan