Hari Santri 2025: Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Digital

Hari Santri, 22 Oktober, adalah hari yang melampaui seremoni keagamaan semata. Ia adalah pengingat historis bahwa nasionalisme di tanah air ini “beraroma tembakau dan kibaran sarung”.

Kita tak boleh lupa, semangat kebangsaan ini lahir dari rahim pesantren, dimandati oleh Resolusi Jihad para kiai yang sadar betul: mempertahankan iman berarti mempertahankan tanah air. Santri adalah penjaga gawang pertama keindonesiaan, yang mengawali pertarungan bukan dengan tank atau senapan, melainkan dengan Bismillah dan tekad hubbul wathan minal iman—cinta tanah air adalah bagian dari iman.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Lalu, apa makna warisan luhur ini bagi santri di era 2025?

Tantangan santri hari ini bukan lagi melawan senapan kolonial, melainkan melawan disintegrasi informasi dan fanatisme digital yang mengancam persatuan kita. Arena pengabdian (khidmah) santri telah bergeser: dari balai desa kini meluas ke lini masa media sosial. Santri berdiri di persimpangan: mereka dituntut menjaga tradisi keilmuan yang otentik sambil memahami logistik algoritma. Mereka wajib menanamkan nilai-nilai Wasathiyah (moderasi) yang mereka gali di bilik pesantren, ke dalam ruang-ruang digital yang sering kali panas dan bising.

Kekuatan hakiki pesantren, yang telah teruji zaman, terletak pada tradisi tasawwur (memetakan persoalan)—kemampuan untuk melihat masalah dari segala sisi, menimbang untung-rugi (maslahat dan mafsadat) sebelum mengambil satu putusan. Inilah jantung intelektual yang harus kita pertahankan mati-matian.

Ketika dunia digital dipenuhi klaim absolut, kedangkalan emosi, dan era post-truth yang menyesatkan, santri harus hadir sebagai penyaring kejernihan; yang berani meminta orang “menarik nafas sejenak” di tengah kecepatan scrolling yang menuntut reaksi buta.

Oleh karena itu, Hari Santri adalah panggilan mulia untuk menjadikan kitab kuning sebagai panduan moral untuk membangun peradaban di masa depan. Kita tidak butuh santri yang sekadar hapal tanpa akal. Kita butuh santri yang berani menjadi penyusun narasi sosial-digital yang humanis, yang menggunakan kecerdasan dan keluhuran adab untuk memastikan bahwa Indonesia—sebagai warisan ulama dan syuhada—tetap menjadi rumah damai yang merangkul semua.

Dari sarung di pundak menuju keyboard di tangan, tugas utama santri tetap sama: menjaga Ibu Pertiwi dengan kebijaksanaan ilmu yang bersanad.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan