Haul dan Harlah ke-76 Nurul Jadid, Kilas Balik Perjalanan Kiai Zaini

44 views

Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, menggelar puncak acara Haul Masyayikh dan Harlah ke-76 pada Minggu, 26 Januari 2025.

Sebelumnya, berbagai kegiatan pra-acara sudah banyak diadakan, seperti Festival al-Banjari (3-4 Januari), Bahtsul Masa’il (23 Januari 2025), Expo Jatim Pendidikan dan UMKM, dan Talk Show (20-25 Januari) bersama Sabrang Mowo Damar Panuluh, Vokalis Band Letto.

Advertisements

Haul dan Harlah merupakan tradisi tahunan yang dijadikan kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi antara santri, wali santri, alumni dengan para kiai. Pelaksanaan Haul dan Harlah bukan sebatas kegiatan seremonial, namun mempunyai makna spiritual yang mendalam.

Konsep acaranya disusun dan dirancang untuk mengenang perjuangan serta menjaga hubungan batin dengan Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH Zaini Mun’im.

Kiai Zuhri Zaini, pengasuh Pesantren Nurul Jadid sekarang, di waktu sambutan acara Haul dan Harlah menceritakan tentang perjalanan Kiai Zaini dan sejarah berdirinya pondok.

Kiai Zaini Hijrah ke Jawa

Hijrah ke Jawa merupakan bentuk dari strategi tentara Indonesia untuk menyelamatkan pasukan beserta senjatanya. Pada waktu itu Belanda telah menguasai Sumenep, begitu juga dengan daerah Madura di belahan lainnya telah ditaklukkan Belanda. Saat itu dikeluarkan surat perintah dari Komandan Resimen 35/COPP 6/35 Madura, yang salah satu isinya agar pasukan kembali ke Jawa.

Sebelum adanya surat edaran, Kiai Zaini dan pasukan lainnya masih melakukan perang grilya. Setelah menerima informasi terkait surat edaran tersebut, Kiai Zaini segera meninggalkan Madura. Apalagi, saat itu Belanda telah membakar rumah dan pondok pesantrennya. Kiai Zaini akhirnya memutuskan hijrah dan melanjutkan perjuangannya ke Jawa.

Kiai Zaini hijrah dari Madura bersama KH Zawawi Mun’im (adik kandungnya), Ustaz Sarodji, keluarga beserta anak-anaknya. Kiai Zaini hijrah ke Sukorejo-l, Situbondo lewat Pelabuhan Prenduan di Sumenep.

Namun, saat berada di pelabuhan, ketika rombongan Kiai Zaini menaiki perahu, tiba-tiba tentara Belanda datang menyerang dan menghujani tembakan. Melalui karamah Kiai Zaini semua peluru dapat ditangkis dengan tangan kosong. Bahkan sebagian peluru dapat diputarbalikkan ke tentara Belanda.

Setelah sampai di Sukorejo, Kiai Zaini beserta rombongan menetap di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo yang diasuh oleh KH Syamsul Arifin, Ayah dari KH As’ad Syamsul Arifin.

Alasan Sukorejo dipilih sebagai tempat persembunyian karena Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah dijadikan sebagai Heilige Zone (daerah suci) yang menjadi daerah terlarang. Belanda tidak akan memasuki daerah Sukorejo, bahkan sekalipun untuk menangkap tokoh pejuang Indonesia. Sehingga Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah dijadikan sebagai tempat pelarian dan persembunyian para pejuang Indonesia.

Heilige Zone sendiri timbul dari rasa ketir dan ketakutan Belanda terhadap Kiai Syamsul Arifin. Belanda pernah menahan dan memenjarakan Kiai Syamsul Arifin. Selama di penjara Kiai Syamsul Arifin selalu rutin melakukan tasbih dan berzikir, rumah tahanan dan bangunan di sekitarnya bergoyang-goyang seperti terkena gempa, bergerak sesuai dengan wiridan Kiai Syamsul Arifin. Akhirnya Belanda ketakutan dan membebaskan Kiai Syamsul Arifin, dan diberi tanah yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah (Heilige Zone).

Menetap di Paiton

Pada tahun 1948, Kiai Zaini pindah ke Paiton, Probolinggo untuk mengungsi sekaligus menghindar dari kejaran Belanda. Pada mulanya pondok ini merupakan hutan belantara. Babi hutan masih sangat mudah dijumpai terutama di musim panen tebu.

Sebelum memutuskan untuk tinggal di desa ini, Kiai Zaini meminta masukan dari Kiai Syamsul Arifin terkait beberapa desa yang akan ditempatinya. Kiai Syamsul Arifin memilih daerah Paiton sebagai lokasi yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Walaupun Indonesia sudah mendeklarasikan kemerdekaan, tapi masih tersisa beberapa tempat yang dikuasai Belanda. Baru tiga bulan menempati Paiton, lokasi Kiai Zaini diketahui oleh Belanda, orang yang dicari dan dikejar-kejar dari Madura. Sehingga pada malam harinya, tanggal 9 Desember 1948, Kiai Zaini ditangkap dan ditahan di penjara Probolinggo.

Setelah hampir tiga bulan dipenjara, Kiai Zaini dibebaskan. Kiai Zaini langsung aktif melakukan pengajian pada masyarakat sekitar. Pada mulanya ada dua orang yang ingin mondok ke Kiai Zaini dan keduanya merupakan santri pertama. Lambat laun santrinya bertambah banyak sampai saat ini.

Tahun 1950, Kiai Zaini mendapat surat dari KH Wahid Hasyim, Menteri Agama Republik Indonesia pada waktu itu. Kiai Zaini diberi kepercayaan untuk memimpin dan merintis jamaah haji Indonesia dalam bentuk rombongan. Kepercayaan yang diberikan langsung dari Menteri Agama RI untuk menyelenggarakan haji dengan mengintegrasikan dengan partisipasi masyarakat. Allahummaghfirlahu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan