Haurkuning, Pesantrennya Ilmu Alat

Nama Haurkuning sudah tidak asing lagi di kalangan kaum sarungan Jawa Barat. Ketika nama tersebut disebut, spontan akan langsung terlintas dalam benak, “Oh, yang santrinya pintar-pintar itu, ya,”—selain style-nya yang cukup modis dan berkelas untuk ukuran santi salaf. Maksud kata pintar di sini merujuk pada kepintaran dalam bidang ilmu alat, fan ilmu yang terkenal sulit dipelajari.

Pesantren yang terkenal dengan nama Haurkuning itu sendiri sebenarnya bernama Baitul Hikmah. Haurkuning diambil dari nama kampung tempat pondok itu berdiri.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Secara harfiah, haurkuning berarti  bambu yang berwarna kuning. Saya tidak tahu persis apakah sebelumnya di sana banyak terdapat rimbun bambu yang berwarna kuning atau tidak. Yang jelas, saat ini di beberapa sudut pondok memang ditumbuhi tanaman bambu kuning.

Namun, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Haurkuning diambil dari bahasa Arab حور yang berarti bidadari dan  قنع(qana’ah), yaitu sikap sikap rela menerima dan merasa cukup atas segala pemberian Allah. Makanya, dalam font Arab, huruf K dalam kata Haurkuning ditulis dengan qaf, bukan kaf.

Pondok yang terletak di Dusun Haurkuning, Desa Mandalaguna, Kecamatan Salopa, Kabupaten Tasikmalaya, ini didirikan oleh Almarhum KH Saepudin Zuhri pada tahun 1964. Secara luas, pondok tersebut memang terkenal mumpuni di bidang ilmu alat, atau lebih spesifiknya nahu-saraf.

Terbukti, ketika ada perlombaan di tingkat kabupaten, misalnya, Kecamatan Salopa—yang didominasi santri Haurkuning—selalu menjadi juara umum. Yang menarik dan mungkin perlu diketahui khalayak adalah bagaimana sistem pembelajaran di pesantren tersebut, sampai bisa mencetak santri-santri yang unggul di bidang nahu-saraf? Mari kita bedah satu per satu.

Kurikulum Berbasis Kitab Nahu-Saraf

Bisa dibilang, materi pokok yang diajarkan di Haurkuning adalah kitab Jurumiyah dan Alfiyah. Setiap tahun, kelas yang diikuti santri akan berganti. Akan tetapi, mata pelajaran Jurumiyah tetap menjadi primadona di setiap tingkatan. Baik itu ibtida, mutawasith, maupun mutaqaddim. Bedanya, semakin tinggi kelas, semakin dalam dan komprehensif pembahasan Jurumiyahnya.

Baru di tahun ketiga (untuk santri baru jenjang Aliyah) dan keempat (untuk santri baru jenjang Tsanawiyah) kitab Alfiyah turut ditambahkan dalam materi pelajaran. Meski begitu, santri yang masih tahun pertama atau kedua pun tetap akrab dengan kitab legendaris tersebut. Hal itu karena Alfiyah sejak awal sudah diperkenalkan pada mereka.

Metode pembelajaran yang digunakan masyayikh di sana mau tak mau membuat santri harus menghafal bait-bait penting yang diambil dari berbagai nazam terkenal. Contohnya, ketika dalam kitab yang dibaca terdapat mubtada’, santri akan diminta untuk menyebutkan dasar hukum mubtada’ yang terdapat dalam berbagai kitab. Seperti Jurumiyah, Nazhmil Maqshud, Imrithi, hingga Alfiyah. Jadi, tidak heran, meski belum ngaji Alfiyah secara langsung, santri Haurkuning sudah hafal di luar kepala 30-40% bait-bait yang terdapat dalam kitab tersebut.

Nalar dan Tatalaran sebagai Fondasi

Selain materi pokok, kegiatan penunjang di luar pembelajaran resmi juga sangat ditekankan. Di antaranya —dan ini yang paling krusial—adalah nalar dan tatalaran. Bisa dikatakan, dua kegiatan inilah yang menjadi ruh dari semua kegiatan pembelajaran lainnya. Orang luar mungkin akan mengira dua istilah yang mirip-mirip ini sama saja, padahal realitanya di Haurkuning, keduanya jelas berbeda.

Yang dimaksud dengan nalar adalah menghafal teks-teks kitab (tahfizhul mutun), baik natsar maupun nazam. Kitab yang dihafalkan meliputi Matan Jurumiyyah, Imrithi, Nadzmil Maqshud, Alfiyyah, Tarshif, Sullam Munauraq, Jauhar Maknun, dan lain-lain. Bagi sansus (santri khusus: santri yang sudah lulus sekolah formal Aliyah/sederajat), ada lagi tambahan hafalan lainnya: Nazham Baiquniyyah dan Rahbiyyah.

Kitab-kitab tersebut dihafalkan sesuai jenjangnya. Idealnya, setiap kelas mempunyai target tertentu yang mesti dicapai. Misalnya, kelas ibtida B (santri baru setingkat Aliyah) diharuskan mengkhatamkan hafalan Jurumiyah, Imrithi, Nazhmil Maqshud, dan sekitar 100 bait Alfiyah dalam jangka satu tahun itu. Memang target ini cukup sulit, apalagi untuk pemula. Namun, meskipun tidak mencapai keseluruhan target, setidaknya dua pertiga atau setengahnya bisa terpenuhi. Kegiatan nalar ini dievaluasi sekurang-kurangnya dua kali dalam seminggu, yakni pada malam Rabu dan Jumat pagi.

Sementara, tatalaran adalah istilah untuk kegiatan mempelajari dasar-dasar ilmu saraf yang dilakukan secara berkelompok. Kelompok-kelompok kecil itu sesekali dibentuk berdasarkan kamar, sesekali berdasarkan kelas. Setiap kelompok dibimbing oleh satu tutor dari kakak kelas yang lebih senior.

Dalam sehari, tatalaran ini setidaknya dilakukan sebanyak tiga kali: setelah Subuh, setelah Zuhur, dan malam sebelum tidur. Jadwal ini bisa bertambah sewaktu-waktu. Pokoknya, kalau ada waktu kosong, pasti diisi dengan nalar atau tatalaran.

Materi yang diajarkan dalam kegiatan tatalaran ini adalah menghafal hal-hal mendasar dalam ilmu saraf. Mulai dari nashrif (istilah lainnya: tashrif isthilahi), ngiyas (tashrif lughawi), ngabina’ (mempelajari 7 macam bina’), ngasalkeun (meng-i’lal kalimat-kalimat), ngerab (meng-i’rab matan Jurumiyah), dan kaidah-kaidah dasar sharaf lainnya. Lewat kelompok-kelompok kecil inilah santri Haurkuning diberi dasar yang kuat untuk menjelajahi ilmu-ilmu lain.

Lingkungan yang Akrab dengan Bait-bait

Keseharian santri Haurkuning pun tidak bisa lepas dari nalar dan tatalaran. Selain Al-Kahfi, yang diputar dari speaker masjid setiap hari Jumat adalah lalaran Alfiyah dari awal sampai akhir. Bait-bait tersebut juga lumrah terdengar ketika kelas lain sedang melakukan pembelajaran. Alhasil, telinga kita menjadi tidak asing mendengarnya. Perlahan, mulut pun ikut-ikutan menggumamkannya.

Keunikan lainnya—di lingkungan santri putri—yang selalu saya kenang adalah nalar sambil gelap-gelapan. Jadi, ketika waktunya ngaji malah mati lampu, kita pasti disuruh membaca nazam-nazam tersebut untuk mengisi kekosongan. Dengan kreasi lagu dan nada yang beragam tentunya. Alhasil, alih-alih bubar dan menikmati jamkos, kita terpaksa mengisinya dengan membaca Nazhmil Maqsud atau pun Alfiyah.

Di bidang kompetisi, nalar juga menduduki takhta tertinggi. Di mata para santri, seorang juara nalar lebih hebat daripada juara baca kitab. Bahkan, lomba baca kitab pun, tepatnya kitab dari fan nahu-saraf, pasti dibuka dengan pertanyaan nalar.

Asal tahu saja, lomba nalar ini memang memiliki tingkat kerumitan yang tinggi. Soal yang diberikan tidak hanya seputar bacakan bab ini atau bab itu, tetapi juga mencakup: bacakan syatar awal, syatar akhir, bait lengkap dari … , bab yang mengandung kata …, tiga bab setelah … , lima bab sebelum … , hingga bacakan secara terbalik. Mungkin, hal itulah yang membuat lomba nalar ini lebih bergengsi daripada lomba baca kitab.

Dari beberapa poin tersebut, bisa disimpulkan bahwa nalar dan tatalaran merupakan ruh dari Haurkuning. Keduanya ibarat napas yang tak bisa lepas dari keseharian santri di sana. Wajar, output yang dihasilkan pun dinilai mumpuni dalam ilmu alat. Tentu saja, kemampuan tersebut juga harus diimbangi dengan fan-fan lain. Sehingga, saya sarankan, setelah dirasa cukup punya bekal mondok di Haurkuning, pindahlah ke pondok pesantren lain untuk mendalami cabang ilmu lainnya, seperti fikih, tauhid, dan tasawuf. Dengan begitu, ilmu yang dimiliki akan semakin mantap.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan