Didorong oleh kemajuan teknologi global, hedonisme kian masif dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita hingga merambah dunia pendidikan. Diperlukan ikhtiar semua pihak untuk mengembalikan esensi pendidikan nasional sesuai cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Idealnya, pendidikan menjadi ruang untuk membangun karakter dan menanamkan kebiasaan mindset (habit of mind), serta mengasah kemampuan berpikir peserta didik. Namun, seiring perkembangan teknologi di era globalisasi sekarang, ruang-ruang tersebut telah bergeser, dan hampir menghilangkan esensi Pendidikan.
Dunia pendidikan sekarang semakin bengis jika di analisis lebih dalam, karena munculnya faktor-faktor yang sedang ramai di bicarakan, yaitu hedonisme pendidikan. Fenomena ini menjadi cerminan bagaimana budaya konsumtif telah menyusup ke lingkungan yang seharusnya menjadi pusat pembelajaran.
Budaya ini, perlahan demi perlahan mulai menggrogoti lapisan pendidikan. Mulai dari siswa di tingkat sekolah dasar hingga mahasiswa di perguruan tinggi, yang seharusnya fokus untuk meningkatkan daya berpikir, kini lebih terpikat pada gemerlapnya gaya hidup hedonis dan pencarian kesenangan instan.
Hedonisme dalam Pendidikan
Zygmund Bauman, salah satu ahli sosiologi menjelaskan, bahwa hedonisme itu merupakan salah satu hasil dari masyarakat konsumeris. Dalam masyarakat hedon, konsumsi dan pencapian secara instan lebih dihargai dari pada nilai-nilai moral dan akademis.
Fenomena masyarakat hedon tersebut menyebabkan pendidikan hanya menjadi ladang komoditas. Kaum pelajar dipandang sekadar menjadi “konsumen” yang hanya mengejar produk pendidikan untuk mencapai status ekonomi-sosial yang lebih terjamin.
Secara sederhana, hedonisme adalah pandangan hidup yang menjadikan kesenangan dan kepuasan pribadi sebagai tujuan utama. Mirisnya, lebih dari pada itu, nantinya kaum pelajar akan memamerkan segala hal yang mereka punya melalui sosial media (flexing). Di lingkungan pendidikan, hedonisme kerap kali terlihat dalam bentuk gaya hidup konsumtif, seperti penggunaan barang mewah, kendaraan mewah, yang berfokus pada pencitraan sosial.
Ketimpangan di Sekolah
Budaya hedonistik di sekolah mempertegas jurang sosial antara siswa dari keluarga yang kurang mampu dan keluarga yang mampu. Dalam konsep Marxisme golongan ini dikenal dengan “Proletar” atau kalangan buruh, dan “Kapitalis” atau kalangan pemegang saham. Hal ini menyebabkan kaum pelajar hanya berlomba-lomba menunjukkan eksistensi mereka melalui media sosial.
Kompetisi Gaya Hidup
Menurut Ki Hajar Dewantara, esensi pendidikan adalah membangkitkan potensi anak dalam mencapai pola keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara menelurkan sebuah konsep yang disebut Tri Rahayu. Pertama, HamemayuHayuningSarira. Artinya, pendidikan itu bertujuan untuk mempercantik pribadi seseorang.
Kedua,HamemayuHayuningBonso. Artinya, pendidikan bertujuan untuk mensejahterakan bangsa. Ketiga,HamemayuHayuningBawono. Artinya, pendidikan itu membuat struktur alam semesta ini menjadi tertib.
Saat ini, sasanya hilang sudah konsep yang dibawakan Ki Hajar Dewantara tersebut. Sebab, pendidikan sekarang hanya menjadi ajang kompetisi antarsiswa, yang akibatnya muncul ketimpangan sosial di lingkup sekolah, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Pengaruh media sosial di era sekarang ini menjadi salah satu indikator dan penyebab utama gaya hidup hedonisdi kalangan kaum pelajar. Tugas orang tua di rumah dan guru di sekolah harus lebih memperhatikan anak-anaknya dalam penggunakan gadget di era globalisasi sekarang. Anak-anak yang seharusnya mengkonsumsi hal-hal yang positif, zaman sekarang hal-hal yang belum pantas untuk dikonsumsi, bisa menjadi bahan konsumsi secara legal.
Mengembalikan Esensi Pendidikan
Hedonisme di lingkup pendidikan adalah tantangan yang tidak bisa dibiarkan. Gaya hidup konsumtif telah megaburkan tujuan utama pendidikan dan meruntuhkan sendi-sendi pendidikan kiya. Jika dibiarkan, fenomena ini tidak hanya akan merusak moral generasi muda sebagai agent of change, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial masyarakat.
Namun, perubahan masih mungkin dilakukan. Di antaranya dengan menanamkan pendidikan karakter dimulai dari lingkungan rumah, lingkungan bermain, hingga lingkungan sekolah. Kita dapat mengembalikan esensi pendidikan, jika hal-hal tersebut mulai direvitalisasi kembali. Karena pada akhirnya, pendidikan adalah tentang nilai, dan memanusiakan manusia, bukan tentang gaya hidup apalagi pamer kekayaan.