Revolusi industri media menciptakan budaya baru, termasuk budaya Islam di Nusantara. Sebagai bagian dari generasi milenial, saya merasakan praktik belajar agama di langgar atau musala sepanjang sore hingga malam hari. Tanpa televisi dan gawai, pergi ke musala untuk nderes (tadarus) atau ngaji menjadi kebiasaan.
Banyak anak remaja yang berkompetisi untuk jumlah hafalan surat dengan makhraj dan tajwid yang benar. Saling berebut mikrofon untuk azan dan ikamah. Komparasi budaya beragama cukup jelas saat melihat perilaku anak-anak sekarang yang dimanjakan tontonan televisi dan gawai di waktu prime time.
Berbagai acara favorit televisi sengaja ditempatkan di waktu anak-anak dulu ngaji di musala. Adanya rating acara televisi juga mendorong pengiklan menyuplai anggaran di waktu prime time. Pergeseran budaya rupanya tidak menggelisahkan sebagian atau mungkin banyak orang melihat keturunannya tidak lagi mahir beragama. Minimal bisa baca-tulis Al-Qur’an.
Terlalu jauh menyimpulkan adanya konspirasi mereduksi kualitas kemusliman seseorang akibat dominasi industri media. Sementara memaklumi situasi akan membenarkan klaim bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam hanya karena faktor keturunan (Islam KTP).
Pendidikan keagamaan juga mulai kurang diminati ketika realitas di masyarakat tidak memberikan kesejahteraan hidup di dunia ketika bergelut di bidang keagamaan. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di kejuruan dan sekolah negeri yang dianggap lebih menjamin pekerjaan. Sedangkan waktu di luar jam sekolah malah disibukan dengan bermain gadget.
Hilangnya budaya belajar agama di Indonesia menciptakan pola pikir pragmatis. Mempelajari agama secara instan dan tekstualis yang berdampak pada konflik sosial. Perbedaan pandangan tentang nilai dan sikap saling merendahkan satu sama lain. Perdebatan sesama muslim menjadi konsumsi wajib di media sosial. Agama tidak lagi mengajarkan kebaikan selain egois mempertahankan ideologi.
Kemalasan ngaji namun rajin berdebat perihal hukum syariat menjadi hal yang kontradiktif. Industri media mendorong pertentangan agama yang dulu merupakan praktik persaudaraan dan kebersamaan. Efek dari ketiadaan budaya ngaji sore hingga malam yang digantikan dengan kebiasaan bermedia sosial adalah sikap fanatisme.